KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia kembali tertekan pada perdagangan Rabu waktu New York, 1 Oktober 2025. Tekanan ini memperpanjang pelemahan hingga tiga hari berturut-turut dan menyentuh level terendah dalam 16 minggu.
Penurunan harga dipicu oleh kombinasi sentimen negative, yaitu kekhawatiran atas dampak shutdown pemerintah Amerika Serikat terhadap ekonomi global, ekspektasi kenaikan pasokan dari OPEC+, serta lonjakan persediaan minyak mentah AS yang melebihi perkiraan.
Kontrak berjangka Brent crude ditutup melemah 68 sen atau 1,0 persen ke level USD65,35 per barel, yang merupakan penutupan terendah sejak 5 Juni. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) turun 59 sen atau 0,9 persen ke USD61,78 per barel, posisi terlemah sejak 30 Mei.
Pelemahan konsisten ini menandai tekanan serius pada pasar energi, terutama di tengah ketidakpastian makroekonomi yang makin dalam.
Salah satu faktor yang menekan harga adalah meningkatnya kekhawatiran terhadap prospek permintaan energi global setelah pemerintahan AS resmi menghentikan sebagian besar operasionalnya akibat kebuntuan politik anggaran.
Shutdown ini memicu risiko perlambatan ekonomi lebih lanjut, sekaligus menunda publikasi data ekonomi penting seperti laporan ketenagakerjaan bulanan, yang biasanya menjadi acuan pasar energi.
OPEC+ Berencana Naikkan Produksi, Pasokan AS Luber
Dari sisi pasokan, investor juga dibayangi kabar bahwa OPEC+ tengah mempertimbangkan untuk kembali menaikkan produksi pada November hingga 500.000 barel per hari (bph), tiga kali lipat dari kenaikan yang diputuskan untuk Oktober.
Meski organisasi tersebut kemudian membantah laporan media yang menyebut adanya rencana penambahan pasokan agresif, pasar tetap gelisah. Analis menilai, langkah Arab Saudi yang ingin merebut kembali pangsa pasar bisa menjadi sinyal bahwa suplai global akan terus melimpah dalam beberapa bulan ke depan.
Tekanan tambahan datang dari Amerika Serikat, di mana Energy Information Administration (EIA) melaporkan kenaikan stok minyak mentah sebesar 1,8 juta barel pada pekan yang berakhir 26 September, jauh lebih tinggi dibanding perkiraan pasar di kisaran 1 juta barel.
Kenaikan stok ini, yang didorong turunnya ekspor, menambah tanda lemahnya permintaan. Sebelumnya, American Petroleum Institute sempat melaporkan penurunan persediaan sebesar 3,7 juta barel, sehingga perbedaan data memperkuat volatilitas di pasar.
Permintaan Asia Menurun, Industri Terkontraksi
Sementara itu, di Asia, data manufaktur September juga memberi tekanan tambahan. Aktivitas pabrik di sebagian besar ekonomi besar mengalami kontraksi, menandakan melemahnya konsumsi energi di kawasan dengan tingkat permintaan minyak terbesar dunia.
Kondisi serupa terlihat di AS, di mana aktivitas manufaktur memang naik tipis, tetapi pesanan baru dan perekrutan pekerja tetap lesu, memperlihatkan dampak lanjutan dari kebijakan tarif Presiden Donald Trump.
Di sisi geopolitik, pasar juga menyoroti dinamika di Rusia dan Venezuela. Meski ada gangguan pasokan akibat serangan drone Ukraina, ekspor minyak Rusia dari tiga pelabuhan barat utama justru melonjak 25 persen pada September dibanding Agustus, karena gangguan kilang domestik justru membuat lebih banyak minyak siap diekspor.
Venezuela, anggota OPEC yang masih di bawah sanksi AS, mencatat ekspor rata-rata 1,09 juta barel per hari pada September, tertinggi sejak Februari 2020.
Kombinasi dari semua faktor ini membuat harga minyak global sulit keluar dari tekanan. Jika WTI terus bertahan di sekitar USD60 per barel, sejumlah produsen besar AS diperkirakan akan mulai menekan aktivitas pengeboran karena profitabilitas semakin rendah.
Hal ini sudah diingatkan CEO Diamondback Energy yang menilai produksi AS tidak akan tumbuh jika harga tetap berada di level saat ini.
Secara keseluruhan, perdagangan Rabu menandai fase rentan bagi pasar energi dunia. Dengan permintaan yang melemah, pasokan yang berpotensi membengkak, serta ketidakpastian politik dan ekonomi yang meningkat, harga minyak berisiko tetap terjebak di jalur pelemahan dalam jangka pendek.
Untuk sementara, pasar masih menunggu kejelasan arah kebijakan OPEC+ pada November, sekaligus perkembangan politik di Washington yang bisa menentukan arah ekonomi global.(*)