KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia mencatatkan kenaikan pada Rabu, 18 Desember 2024, waktu setempat. Kenaikan ini didukung oleh laporan penurunan stok minyak mentah Amerika Serikat yang dirilis Energy Information Administration (EIA).
Kenaikan harga Minya dunia terjadi di tengah sentimen tersebut, yaitu keputusan Federal Reserve (The Fed) yang memangkas suku bunga sesuai dengan ekspektasi pasar. Namun, kenaikan ini dibatasi oleh sinyal dari The Fed yang mengindikasikan perlambatan pemangkasan suku bunga di masa mendatang.
Pada penutupan perdagangan, harga minyak mentah Brent naik sebesar 20 sen atau 0,27 persen, berada di angka USD73,39 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS juga mencatatkan kenaikan sebesar 50 sen atau 0,71 persen, menjadi USD70,58 per barel.
Meski keduanya berhasil mencatatkan penguatan, sempat terjadi lonjakan harga hingga lebih dari USD1 per barel selama sesi perdagangan sebelum akhirnya mengalami penurunan menuju akhir perdagangan.
Laporan mingguan EIA menunjukkan stok minyak mentah dan distilat AS mengalami penurunan selama pekan yang berakhir pada 13 Desember 2024. Sebaliknya, stok bensin justru mencatatkan kenaikan.
Total produk minyak yang disuplai ke pasar, yang kerap digunakan sebagai indikator permintaan energi, mencapai rata-rata 20,8 juta barel per hari. Angka ini mencerminkan kenaikan sebesar 662 ribu barel per hari dibandingkan pekan sebelumnya, memperkuat sinyal adanya perbaikan permintaan di pasar energi global.
Menurut Phil Flynn, analis senior dari Price Futures Group, pasar minyak menunjukkan pemulihan yang signifikan setelah periode tekanan dan pesimisme beberapa pekan terakhir. Optimisme mengenai peningkatan permintaan di tengah laporan penurunan stok minyak menjadi faktor kunci yang menggerakkan pasar.
Flynn juga menilai bahwa ini menandakan adanya perubahan sikap pelaku pasar terhadap prospek ekonomi dan energi global.
Meskipun laporan penurunan stok minyak mentah memberikan dukungan pada harga, keputusan The Fed tetap menjadi elemen penghambat yang tidak dapat diabaikan. Bank sentral AS tersebut, meskipun telah menurunkan suku bunga, menekankan bahwa langkah-langkah kebijakan moneter di masa depan akan berjalan lebih hati-hati. Hal ini menciptakan sedikit ketidakpastian di pasar, membatasi kenaikan harga minyak yang lebih besar.
Secara keseluruhan, kenaikan harga minyak yang terbatas ini mencerminkan dinamika kompleks antara data fundamental pasar energi dan keputusan kebijakan moneter. Dalam jangka pendek, sentimen optimisme terkait permintaan dan berkurangnya tekanan pada pasar energi diharapkan menjadi pendorong utama.
Namun, arah kebijakan The Fed ke depan akan tetap menjadi faktor yang perlu dicermati oleh para pelaku pasar global.
Sentimen Negatif China dan Jerman
Sehari kemarin, harga minyak dunia turun tajam, merosot hingga 1 persen ke level terendah dalam sepekan terakhir. Pelemahan ini dipicu oleh data ekonomi negatif dari China dan Jerman yang memicu kekhawatiran akan lemahnya permintaan global.
Di saat yang sama, pelaku pasar bersikap waspada menjelang keputusan kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed) pekan ini.
Mengutip Reuters di Jakarta, Rabu, harga minyak Brent turun 72 sen atau 1 persen menjadi USD73,19 per barel, sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS melemah 63 sen atau 0,9 persen ke USD70,08 per barel. Penutupan ini menjadi yang terendah untuk Brent sejak 10 Desember 2024, dengan selisih harga Brent terhadap WTI menyempit ke USD3,54 per barel, terendah dalam tiga bulan terakhir berdasarkan kontrak Februari.
Analis menyatakan penyempitan selisih harga tersebut membuat pengiriman minyak mentah AS ke pasar global menjadi kurang ekonomis. Situasi ini berpotensi menekan ekspor minyak AS di tengah ketidakpastian pasar.
Dari China, data menunjukkan pertumbuhan output industri pada November sedikit membaik. Namun, penjualan ritel justru melemah, mengindikasikan lesunya konsumsi domestik. Kondisi ini memperkuat ekspektasi bahwa Beijing perlu menggulirkan stimulus tambahan untuk menggenjot perekonomian.
Dari China, data menunjukkan pertumbuhan output industri pada November sedikit membaik. Namun, penjualan ritel justru melemah, mengindikasikan lesunya konsumsi domestik. Kondisi ini memperkuat ekspektasi bahwa Beijing perlu menggulirkan stimulus tambahan untuk menggenjot perekonomian.
Ketidakpastian semakin bertambah dengan ancaman tarif perdagangan AS yang lebih tinggi pasca terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden.
Sementara itu di Jerman, sentimen bisnis pada Desember jatuh lebih dalam dari perkiraan, berdasarkan survei Institut Ifo. Survei ini mencerminkan pesimisme perusahaan terhadap prospek ekonomi beberapa bulan mendatang, dipicu oleh penurunan kinerja industri dan meningkatnya ketidakpastian geopolitik di ekonomi terbesar Eropa.
Di tengah tekanan global, ekonomi AS justru menunjukkan ketahanan. Data penjualan ritel untuk November mencatat kenaikan yang melampaui ekspektasi, ditopang oleh peningkatan penjualan kendaraan bermotor dan belanja daring.
Namun, laporan ini tidak banyak mengubah ekspektasi bahwa The Fed akan kembali memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada Rabu hari ini. Pemangkasan ini diperkirakan menjadi yang ketiga sejak The Fed memulai siklus pelonggaran kebijakan moneter pada September lalu.
Investor kini mencermati proyeksi kebijakan The Fed untuk 2025 guna melihat apakah bank sentral AS akan mengambil sikap lebih hati-hati, mengingat data ekonomi yang masih menunjukkan ketahanan dan inflasi yang persisten.(*)