KABARBURSA.COM - Harga minyak global kembali mengalami tekanan hebat pada Rabu waktu setempat, 23 April 2025, dengan penurunan hampir 2 persen. Hal ini terjadi akibat munculnya wacana dari internal OPEC+ untuk mempercepat peningkatan produksi minyak.
Rencana percepatan tersebut rupanya memicu kekhawatiran pasar terkait keseimbangan pasokan global dan kekompakan internal kartel minyak tersebut. Belum lagi sentimen pasar yang sedikit berubah menjelang akhir sesi perdagangan, terutama setelah kabar bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump, mungkin akan melonggarkan kebijakan tarif impor terhadap China.
Minyak mentah Brent, yang menjadi tolok ukur internasional, turun USD1,32 atau 1,96 persen menjadi USD66,12 per barel. Sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dari Amerika Serikat anjlok lebih dalam sebesar USD1,40 atau 2,2 persen menjadi USD62,27 per barel.
Padahal, sebelumnya Brent sempat melonjak hingga USD68,65, level tertinggi sejak awal April, sebelum adanya kabar mengenai potensi perubahan kebijakan produksi oleh OPEC+ ini mencuat.
Sumber internal yang mengetahui dinamika OPEC+ tersebut mengungkapkan, sejumlah negara anggota saat ini tengah mempertimbangkan opsi untuk meningkatkan produksi minyak dalam pertemuan pada bulan Juni mendatang. Jika benar terjadi. ini akan menjadi peningkatan dua bulan berturut-turut serta menjadi sebuah langkah yang mencerminkan keresahan beberapa negara terhadap penahanan produksi yang terlalu lama, terutama ketika permintaan global mulai menunjukkan pemulihan.
Ketegangan juga mengemuka di antara anggota kartel terkait tingkat kepatuhan masing-masing negara terhadap kuota produksi yang telah disepakati.
Analis energi Phil Flynn dari Price Futures Group menyatakan, ada kemungkinan besar bahwa OPEC merasa jenuh menahan laju produksinya. Menurutnya, jika beberapa anggota memutuskan untuk menaikkan produksi tanpa koordinasi yang jelas, maka itu bisa menjadi ancaman bagi kekompakan kartel dan mengganggu kestabilan harga global.
Sementara itu, Kazakhstan, yang merupakan sekutu OPEC+ namun bukan anggota resmi, menjadi sorotan setelah diketahui memproduksi minyak melebihi batas kuota. Kritik terhadap negara Asia Tengah itu mendorong Kementerian Energinya untuk mengeluarkan pernyataan resmi, menekankan komitmen terhadap stabilitas energi global dan keseimbangan pasar.
Menteri Energi Erlan Akkenzhenov menegaskan, partisipasi Kazakhstan dalam kesepakatan OPEC+ adalah bagian penting dari strategi nasional untuk menarik investasi dan menjaga keseimbangan pasar, meskipun sebelumnya ia sempat menyebutkan bahwa negaranya akan tetap mengutamakan kepentingan nasional dalam menentukan tingkat produksi minyaknya.
Di sisi lain, laporan dari pemerintahan Amerika Serikat menunjukkan bahwa stok minyak mentah secara tak terduga mengalami peningkatan, meskipun terjadi penurunan yang signifikan pada persediaan bensin dan bahan bakar sulingan.
Kondisi ini dinilai sebagai indikasi positif dalam masa produksi, karena mencerminkan adanya pengurangan produk jadi, sebuah sinyal yang bisa menandakan kestabilan permintaan jangka pendek. Namun, kekhawatiran tetap ada bahwa ketegangan perdagangan yang masih membayangi antara AS dan Tiongkok bisa berdampak negatif terhadap permintaan global dalam waktu dekat.
Dengan kombinasi ketidakpastian geopolitik dan tekanan internal dalam kelompok produsen minyak, pasar energi global menghadapi tantangan besar untuk menjaga stabilitas harga. Para pelaku pasar akan terus mencermati perkembangan di dalam OPEC+, arah kebijakan AS terhadap perdagangan Tiongkok, dan data fundamental seperti persediaan dan permintaan untuk menentukan arah pergerakan harga selanjutnya.
Tergerus Prospek Pelonggaran Tarif AS-China
Harga minyak yang sempat tertekan pada perdagangan Rabu waktu setempat mendapatkan sedikit penyangga dari perkembangan terbaru di ranah kebijakan perdagangan Amerika Serikat. Sinyal bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump tengah mempertimbangkan pengurangan tarif terhadap impor asal China memberikan harapan kepada pelaku pasar bahwa ketegangan dagang antara dua ekonomi terbesar dunia itu dapat mereda dalam waktu dekat.
Menurut laporan yang bersumber dari beberapa narasumber internal, pemerintah AS tidak akan bertindak secara sepihak. Setiap langkah untuk menurunkan beban tarif akan menunggu perkembangan dari diskusi lanjutan dengan Beijing.
Wall Street Journal mengutip seorang pejabat Gedung Putih yang menyebutkan bahwa potongan tarif yang sedang dipertimbangkan dapat mengurangi tingkat tarif dari sebelumnya menjadi antara 50 persen hingga 65 persen. Langkah ini dipandang sebagai bagian dari upaya membuka kembali jalur negosiasi perdagangan yang sebelumnya tertunda.
Menteri Keuangan Amerika Serikat Scott Bessent, menyatakan bahwa tingginya tarif yang diberlakukan selama masa konflik dagang harus dikurangi sebelum perundingan dapat berlanjut secara konstruktif. Menurutnya, peringanan hambatan perdagangan akan membuka ruang dialog yang lebih produktif antara kedua negara.
Hal ini dinilai penting oleh pelaku pasar, mengingat ketegangan dagang AS-China selama beberapa tahun terakhir telah menciptakan ketidakpastian terhadap prospek permintaan global, termasuk untuk komoditas energi seperti minyak.
Selain dari perkembangan kebijakan perdagangan, situasi pasar juga mendapat kejelasan setelah Presiden Trump membatalkan niatnya untuk memecat Ketua Federal Reserve Jerome Powell. Hal ini terjadi setelah beberapa hari kritik publik yang dilayangkan kepada bank sentral terkait keputusan suku bunga.
Keputusan Trump untuk meredam ketegangan dengan otoritas moneter membantu menenangkan kekhawatiran pelaku pasar atas potensi instabilitas kebijakan ekonomi AS.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Washington juga mengumumkan sanksi baru terhadap seorang tokoh pelayaran asal Iran. Sanksi tersebut menyasar jaringan yang dituduh terlibat dalam distribusi gas cair (LPG) dan minyak mentah asal Iran dengan nilai transaksi yang mencapai ratusan juta dolar.
Tindakan ini mempertegas sikap tegas AS terhadap entitas yang terlibat dalam ekspor energi Iran, yang sebelumnya telah mendapat sorotan dari komunitas internasional akibat pelanggaran terhadap rezim sanksi global.
Rangkaian kebijakan ini mencerminkan dinamika geopolitik dan ekonomi yang saling berkaitan erat, serta menjadi penentu arah pergerakan pasar energi. Isu tarif dagang dan kebijakan moneter, yang terjadi bersamaan dengan perkembangan di sektor energi global, menjadi faktor penting dalam membentuk ekspektasi pelaku pasar terhadap prospek harga minyak dalam jangka pendek hingga menengah.(*)