KABARBURSA.COM - Harga minyak melonjak lebih dari 1 persen pada Jumat, 23 Agustus 2024 pagi, karena ekspektasi bahwa Federal Reserve akan menurunkan suku bunga dalam beberapa minggu mendatang, yang memicu rebound setelah harga minyak turun selama empat hari berturut-turut.
Minyak mentah berjangka Brent, yang merupakan patokan internasional, ditutup dengan kenaikan sebesar USD1,17 atau 1,54 persen, menjadi USD77,22 per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) dari Amerika Serikat naik USD1,08 atau 1,5 persen, menjadi USD73,01 per barel.
Faktor utama yang mendorong kenaikan harga minyak ini adalah risalah rapat Federal Reserve periode Juli yang menunjukkan bahwa sebagian besar pejabat Fed percaya bahwa bank sentral berada di jalur yang tepat untuk menurunkan suku bunga pada bulan depan. Penurunan suku bunga dapat meningkatkan permintaan minyak karena dolar AS yang melemah membuat minyak yang berdenominasi dalam dolar menjadi lebih murah bagi pembeli yang menggunakan mata uang lainnya.
Selain itu, laporan Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan bahwa klaim pengangguran meningkat pekan lalu, tetapi tetap berada pada level yang menunjukkan pendinginan pasar tenaga kerja secara bertahap. Kondisi ini semakin memperkuat ekspektasi pemotongan suku bunga oleh Fed, yang juga berkontribusi pada kenaikan harga minyak.
Di sisi lain, laporan pemerintah AS yang dirilis pada hari Rabu menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah, bensin, dan sulingan turun lebih dari yang diharapkan minggu lalu, menunjukkan adanya peningkatan permintaan.
Situasi geopolitik di Timur Tengah juga memengaruhi harga minyak. Serangan militan Houthi yang didukung Iran terhadap kapal tanker minyak berbendera Yunani di Laut Merah, sebagai bentuk solidaritas dengan Palestina dalam konflik antara Israel dan Hamas, menambah kekhawatiran pasar. Kapal tersebut kini menimbulkan ancaman lingkungan, yang dapat mempengaruhi pasokan minyak di wilayah tersebut.
Investor juga terus memantau kebijakan OPEC+ terkait rencana untuk meningkatkan produksi minyak. OPEC+ menyatakan bahwa mereka dapat mempertimbangkan kembali rencana tersebut atau bahkan menghentikannya jika situasi pasar memerlukan tindakan tersebut.
Sehari sebelumnya, harga minyak sempat turun 1 persen dipicu oleh revisi besar-besaran data ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) yang menjadi sorotan para investor.
Menurut laporan dari Reuters, harga minyak Brent untuk pengiriman Oktober merosot USD1,15 (1,49 persen) menjadi USD76,05 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) AS turun USD1,24 (1,69 persen) menjadi USD71,93 per barel. Revisi dari Departemen Tenaga Kerja AS mengungkapkan bahwa penambahan lapangan pekerjaan di AS selama setahun hingga Maret 2024 jauh lebih sedikit dari yang dilaporkan sebelumnya. Perkiraan total lapangan kerja untuk periode April 2023 hingga Maret 2024 dikurangi sebanyak 818 ribu pekerjaan.
“Pasar kini beralih dari mengantisipasi ekonomi yang lebih kuat ke kemungkinan pendaratan keras, yang membuat harga minyak sulit untuk bergerak naik,” kata Phil Flynn, analis dari Price Futures Group.
Revisi data ini juga membayangi dukungan dari penurunan persediaan minyak AS dan rilis risalah pertemuan The Fed yang menunjukkan kemungkinan pemangkasan suku bunga pada September mendatang.
Persediaan minyak mentah AS, bensin, dan distilat mencatat penurunan pada minggu yang berakhir 16 Agustus, menurut Administrasi Informasi Energi (EIA) pada Rabu. Persediaan minyak mentah turun sebesar 4,6 juta barel menjadi 426 juta barel, melampaui ekspektasi analis dalam jajak pendapat Reuters yang memperkirakan penurunan sebesar 2,7 juta barel.
Pejabat The Fed pada pertemuan bulan lalu lebih condong mendukung pemangkasan suku bunga pada pertemuan kebijakan September mereka. Beberapa bahkan siap untuk segera mengurangi biaya pinjaman, sebagaimana diungkapkan dalam risalah pertemuan 30-31 Juli lalu.
Suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan biaya pinjaman, yang dapat memperlambat aktivitas ekonomi dan, pada gilirannya, mengurangi permintaan minyak.
Kekhawatiran tentang ekonomi China terus menjadi perhatian utama investor karena potensi melemahnya ekonomi negara tersebut dapat berdampak signifikan pada permintaan minyak mentah global. Masalah ekonomi di China telah menyebabkan marjin pemrosesan yang lemah dan permintaan bahan bakar yang rendah, sehingga memengaruhi operasi kilang minyak, baik milik negara maupun independen. Hal ini menambah tekanan pada harga minyak, yang sudah dipengaruhi oleh berbagai faktor global.
Tim Snyder, kepala ekonom di Matador Economics, menekankan bahwa ekonomi China saat ini menjadi barometer utama bagi pasar energi. Setiap tanda negatif dari China cenderung memberikan tekanan pada pasar energi global.
Di sisi lain, ketegangan di Timur Tengah juga berkontribusi pada volatilitas pasar minyak. Sebuah kapal tanker minyak berbendera Yunani menjadi sasaran serangan di Laut Merah, yang merupakan jalur penting bagi pengiriman minyak global. Serangan ini dilakukan oleh militan Houthi yang bersekutu dengan Iran dan telah mengganggu pengiriman internasional di wilayah tersebut sejak November lalu. Kejadian ini menambah kekhawatiran tentang stabilitas aliran minyak mentah melalui jalur yang strategis ini.(*)