KABARBURSA.COM — Harga minyak dunia kembali turun tipis pada Jumat, 13 Juni 2025, seiring aksi ambil untung oleh investor setelah reli tajam sehari sebelumnya.
Penurunan ini juga mencerminkan kehati-hatian pasar di tengah ketegangan geopolitik yang kian meningkat di kawasan Timur Tengah.
Minyak mentah Brent, yang menjadi acuan global, ditutup melemah 41 sen atau 0,6 persen ke posisi USD69,36 per barel. Sementara patokan Amerika Serikat, West Texas Intermediate (WTI), turun 11 sen atau 0,2 persen ke level USD67,97 per barel.
Koreksi datang setelah lonjakan harga pada Rabu, 11 Juni 2025, yang mencapai lebih dari 4 persen. Kenaikan sebelumnya dipicu oleh langkah pemerintah AS memindahkan personel dari Timur Tengah dan kekhawatiran akan potensi konflik bersenjata antara Israel dan Iran. Sentimen itu sempat mendorong harga ke level tertinggi sejak awal April.
Namun, para trader kini mulai menahan diri.
“Pasar memasuki wilayah jenuh beli secara teknikal, sehingga wajar terjadi koreksi,” ujar analis energi dari StoneX Alex Hodes.
Rencana Perundingan Nuklir Iran-AS Picu Ketagangan
Sementara itu, pernyataan terbaru Presiden AS Donald Trump kembali jadi sorotan. Trump menyebut serangan militer Israel ke Iran “sangat mungkin terjadi”, meski menekankan bahwa pihaknya masih menghindari konfrontasi langsung. Pernyataan ini memperkuat sinyal bahwa situasi di kawasan Teluk belum stabil.
Ketegangan diperparah dengan rencana perundingan nuklir putaran keenam antara Iran dan Amerika Serikat yang akan digelar di Oman akhir pekan ini.
Dalam pertemuan tersebut, utusan khusus AS Steve Witkoff dijadwalkan bertemu Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi guna membahas kelanjutan proposal nuklir dari Washington.
Namun, jalan diplomasi masih jauh dari pasti. Trump kembali memperingatkan bahwa AS siap mengambil tindakan militer jika perundingan menemui jalan buntu.
Di sisi lain, Iran menegaskan bahwa program nuklirnya bertujuan damai, namun siap melakukan serangan balik bila diserang—termasuk menarget pangkalan militer AS di Timur Tengah.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pelaku pasar, khususnya terkait potensi terganggunya jalur distribusi energi dunia.
Badan maritim Inggris dalam peringatannya menyebut meningkatnya risiko aktivitas militer di kawasan dapat mengganggu pelayaran di Selat Hormuz, jalur laut vital yang mengangkut hampir 20 persen pasokan minyak global.
“Jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, ini akan menjadi mimpi buruk bagi pasar energi global,” kata analis dari Global Risk Management Arne Rasmussen.
JPMorgan bahkan memperkirakan harga minyak bisa melonjak ke kisaran USD120–130 per barel dalam skenario ekstrem tersebut. Meski kemungkinannya dinilai kecil, bank investasi itu menilai risikonya tetap perlu diperhitungkan.
Di tengah ketidakpastian itu, sejumlah investor lebih memilih bersikap hati-hati.
“Harga minyak saat ini memang masih lebih tinggi dibanding dua hari lalu, tetapi banyak investor yang menahan posisi short sambil menunggu arah perkembangan,” ujar Giovanni Staunovo dari UBS.
Iran Berpotensi Dilaporkan ke PBB
Sementara dari ranah diplomatik internasional, tekanan terhadap Iran semakin kuat. Dewan Gubernur Badan Energi Atom Internasional (IAEA) secara resmi menyatakan Iran telah melanggar kewajiban nonproliferasi.
Ini adalah kali pertama dalam hampir dua dekade lembaga PBB itu mengambil langkah setegas ini terhadap Teheran. Pernyataan ini membuka peluang dilaporkannya Iran ke Dewan Keamanan PBB, menambah dimensi baru dalam eskalasi diplomatik yang sedang berlangsung.
Dengan ketegangan yang terus meningkat dan pembicaraan diplomatik yang belum tentu menghasilkan solusi, pasar energi global kini menanti arah kebijakan yang akan diambil dalam beberapa hari mendatang. Dan hingga saat itu tiba, harga minyak kemungkinan masih akan bergerak di bawah bayang-bayang geopolitik kawasan.(*)