KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah global kembali menguat pada perdagangan hari Rabu, 13 November 2024 waktu setempat atau Kamis, 14 November dini hari WIB.
Penguatan didorong oleh aksi short-covering dari para investor setelah harga minyak mendekati level terendah dua minggu. Meski demikian, penguatan minyak masih terbatas karena nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) mencapai level tertinggi dalam tujuh bulan, yang berpotensi mengurangi permintaan minyak dari luar negeri.
Pada penutupan, minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, naik 39 sen atau 0,54 persen menjadi USD72,28 per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), patokan minyak AS, menguat 31 sen atau 0,46 persen menjadi USD68,43 per barel.
Kenaikan ini terjadi setelah hari sebelumnya kedua patokan tersebut mencapai level terendah dalam dua minggu akibat prospek permintaan yang lebih rendah dari Organisasi Negara Eksportir Minyak (OPEC).
Penurunan permintaan minyak yang diproyeksikan oleh OPEC ini menjadi faktor utama pelemahan harga minyak sebelumnya. OPEC secara berturut-turut telah memangkas prediksi pertumbuhan permintaan minyak global untuk tahun 2024 dan 2025, lantara melemahnya permintaan dari negara-negara besar seperti China dan India.
Revisi tersebut merupakan yang keempat dalam beberapa bulan terakhir dan mencerminkan ketidakpastian serta tantangan dalam ekonomi global, termasuk perlambatan pertumbuhan di pasar-pasar utama.
"Proyeksi dari OPEC ini tidak diragukan lagi memiliki sentimen bearish dan pasar masih mencernanya," kata Direktur Mizuho Bob Yawger.
Ia menambahkan, bahwa rebound harga minyak kali ini lebih disebabkan oleh aksi spekulatif beberapa investor yang menutupi kerugian dengan melakukan short-covering.
Produksi Minyak AS dan Global Mencapai Rekor Tertinggi
Di tengah prospek permintaan yang lemah, produksi minyak justru diperkirakan meningkat.
Badan Informasi Energi AS (EIA) melaporkan bahwa produksi minyak AS diprediksi mencapai rata-rata 13,23 juta barel per hari (bph) pada tahun ini. Rata-rata tersebut merupakan level tertinggi yang pernah dicapai. Sementara itu, produksi minyak global diproyeksikan menembus 102,6 juta bph.
Namun, prospek permintaan yang lebih rendah dari OPEC kontras dengan proyeksi pertumbuhan permintaan dari IEA. Estimasi terbaru dari IEA akan dirilis pada sore hari ini, akan memberikan gambaran lebih jelas mengenai tren permintaan minyak di masa depan.
Di sisi lain, pasar minyak juga mendapat dukungan dari perkembangan geopolitik, terutama ketegangan di Timur Tengah.
Dalam sebuat percakapan lewat telepon pada Rabu, 13 November 2024 waktu setempat, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman menegaskan pentingnya menjaga koordinasi yang erat dalam OPEC+. Ini menunjukkan bahwa OPEC+ akan terus bekerja sama untuk menjaga keseimbangan pasar minyak, meskipun ada penurunan permintaan global.
Selain itu, risiko gangguan pasokan dari Iran akibat konflik dengan Israel juga menjadi perhatian pasar.
Menurut analis independen Clay Seigle, jika konflik berlanjut, Israel dapat mengambil langkah drastis dengan menyerang aset minyak Iran, termasuk kilang minyak, fasilitas produksi, dan ekspor.
Potensi ancaman terhadap pasokan minyak Iran ini bisa memberikan dukungan terhadap harga minyak dalam jangka menengah.
Pengaruh Kebijakan AS dan Sanksi terhadap Iran
Faktor lain yang dapat mempengaruhi harga minyak adalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Iran. Jika penunjukan Presiden Donald Trump terhadap Senator Marco Rubio untuk jabatan Menteri Luar Negeri terealisasi, pandangannya yang agresif terhadap Iran bisa mengarah pada pemberlakuan kembali sanksi yang lebih ketat.
Menurut analis di Panmure Liberum Ashley Kelty, hal ini berpotensi menghilangkan 1,3 juta bph minyak dari pasokan global. Akibatnya, harga minya berpotensi bullish.
Untuk itu, Menteri Perminyakan Iran menyatakan bahwa Teheran telah mempersiapkan diri guna menghadapi kemungkinan sanksi baru dari AS, termasuk strategi mempertahankan produksi dan ekspor minyaknya.
Di sisi lain, penguatan dolar AS menjadi faktor penahan kenaikan harga minyak.
Indeks Dolar (DXY) mendekati level tertinggi selama tujuh bulan setelah data menunjukkan inflasi AS untuk periode Oktober meningkat sesuai dengan ekspektasi. Ini mengindikasikan bahwa Federal Reserve akan tetap melanjutkan kebijakan suku bunga yang relatif ketat, yang pada gilirannya mendukung penguatan dolar.
Nilai tukar dolar yang lebih kuat membuat minyak yang dihargai dalam dolar menjadi lebih mahal bagi negara-negara yang menggunakan mata uang lain. Itulah mengapa permintaan minyak global diprediksi tertekan, terutama di negara-negara berkembang yang sensitif terhadap fluktuasi nilai tukar.
Selanjutnya, pasar minyak akan mengalihkan fokus pada laporan inventaris minyak mentah mingguan dari American Petroleum Institute (API) dan data resmi pemerintah AS yang akan dirilis pada hari Kamis waktu setempat.
Analis yang disurvei oleh Reuters memperkirakan kenaikan stok minyak mentah sebesar 100.000 barel dalam laporan terakhir, kemungkinan dapat memberikan gambaran lebih lanjut mengenai keseimbangan pasokan dan permintaan di pasar.
Rebound harga minyak global pada hari dini hari ini mencerminkan reaksi pasar terhadap aksi spekulatif short-covering, di tengah proyeksi permintaan minyak yang lebih lemah dari OPEC.
Namun, penguatan dolar AS dan prospek kenaikan produksi minyak global membatasi kenaikan harga minyak. Ketegangan geopolitik di Timur Tengah, kebijakan AS terhadap Iran, serta data inventaris mingguan akan terus menjadi faktor penting yang mempengaruhi pergerakan harga minyak dalam waktu dekat.(*)