Logo
>

Harga Minyak Mentah Terjun Bebas Tersulut Aksi Arab Saudi

Harga minyak mentah Indonesia atau ICP juga semakin anjlok hingga Maret 2025. Apa penyebabnya?

Ditulis oleh Yunila Wati
Harga Minyak Mentah Terjun Bebas Tersulut Aksi Arab Saudi
Ilustrasi. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia mengalami tekanan besar pada akhir April 2025, mencatatkan penurunan bulanan terdalam dalam hampir tiga setengah tahun terakhir. Sentimen negatif pasar dipicu oleh sikap Arab Saudi yang mengisyaratkan keengganan untuk memangkas produksi lebih lanjut.

    Selain itu, meningkatnya ketegangan perdagangan global yang memukul prospek permintaan bahan bakar ikut menjadi penyebab. Dua elemen utama ini memunculkan kekhawatiran investor atas potensi kelebihan pasokan dan lemahnya pertumbuhan ekonomi dunia.

    Minyak mentah berjangka Brent, yang menjadi acuan internasional, ditutup melemah sebesar USD1,13 atau 1,76 persen, ke level USD63,12 per barel. Ini adalah salah satu level terendah dalam beberapa bulan terakhir, memperkuat tren bearish yang menguasai pasar. 

    Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), patokan utama untuk pasar Amerika Serikat, terpuruk lebih dalam dengan koreksi USD2,21 atau 3,66 persen, berakhir di angka USD58,21 per barel. 

    Ini merupakan posisi penutupan terendah sejak Maret 2021. Selama bulan April saja, Brent kehilangan nilainya hingga 15 persen dan WTI ambles 18 persen, menandai penurunan bulanan paling signifikan sejak November 2021.

    Tekanan tajam ini tak lepas dari pernyataan Arab Saudi yang menolak opsi pemangkasan pasokan tambahan. Negara pengekspor minyak terbesar dunia tersebut justru menyatakan kesiapannya menghadapi periode harga rendah berkepanjangan demi merebut kembali pangsa pasar global. 

    Analis Price Futures Group Phil Flynn, menggarisbawahi bahwa sinyal ini bisa memicu kembali perang produksi seperti yang pernah terjadi sebelumnya. 

    Langkah ini diperkuat oleh dorongan Arab Saudi pada awal April yang meminta peningkatan produksi OPEC+ lebih besar dari rencana semula untuk bulan Mei, dengan indikasi lanjutan peningkatan output pada Juni mendatang. Kelompok produsen minyak terbesar dunia ini dijadwalkan bertemu pada 5 Mei guna memfinalisasi kebijakan produksinya.

    Di sisi lain, tekanan permintaan juga turut menekan harga minyak. Perang dagang yang semakin memanas antara Amerika Serikat dan China—dua negara konsumen minyak terbesar dunia—mengancam penurunan tajam dalam aktivitas ekonomi global. 

    Kebijakan tarif yang diumumkan Presiden AS Donald Trump pada 2 April terhadap seluruh impor, disambut dengan balasan tarif oleh Beijing, memicu kecemasan luas tentang risiko perlambatan global. Tekanan ini diperparah dengan data terbaru yang menunjukkan kontraksi ekonomi AS pada kuartal pertama, sebagian akibat lonjakan impor sebagai upaya bisnis dalam menghindari beban tarif yang lebih tinggi. Survei yang dilakukan Reuters bahkan memperkirakan bahwa kebijakan tarif tersebut dapat mendorong dunia masuk ke jurang resesi tahun ini.

    Kepercayaan konsumen di Amerika juga menunjukkan sinyal melemah, jatuh ke titik terendah dalam hampir lima tahun. Data ini dirilis Selasa, dan memperkuat kekhawatiran akan melambatnya belanja masyarakat, yang selama ini menjadi pilar utama ekonomi AS. 

    Namun demikian, ada sedikit harapan dari sisi suplai: stok minyak mentah AS ternyata turun secara tak terduga sebesar 2,7 juta barel menjadi 440,4 juta barel dalam pekan yang berakhir pada 25 April. Penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya ekspor dan aktivitas kilang, dan sedikit meredam sentimen negatif pasar yang sempat sangat dalam.

    Meski demikian, secara keseluruhan, tekanan dari kombinasi faktor geopolitik, strategi produksi Saudi, hingga melambatnya ekonomi global menjadi beban besar bagi pasar minyak dunia. Selama kondisi ini berlangsung, volatilitas harga kemungkinan akan tetap tinggi, sementara arah jangka menengah akan sangat bergantung pada keputusan OPEC+ di awal Mei serta dinamika lanjutan dari perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia.

    Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP) Terus Menurun

    Di dalam negeri, harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) mengalami penurunan berturut-turut sepanjang kuartal pertama 2025. Tren ini menjadi sorotan utama dalam dinamika energi nasional karena sangat memengaruhi pendapatan negara dari sektor migas serta kinerja sejumlah emiten energi di Bursa Efek Indonesia. 

    Data resmi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa ICP kembali melemah pada bulan Maret 2025 setelah dua bulan sebelumnya menunjukkan volatilitas tinggi.

    Pada Januari 2025, harga ICP ditetapkan sebesar USD 76,81 per barel, naik dari USD 71,61 per barel pada Desember 2024. Kenaikan ini terjadi seiring dengan meningkatnya optimisme pasar global, terutama didorong oleh kebijakan stimulus ekonomi dari Tiongkok, termasuk penurunan suku bunga untuk mendorong konsumsi dan pertumbuhan.

    Namun, memasuki Februari 2025, ICP turun menjadi USD 74,29 per barel. Penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya kekhawatiran terhadap kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat yang berpotensi menurunkan permintaan global atas minyak mentah. Sentimen negatif ini mulai membebani harga komoditas energi secara keseluruhan.

    Tren penurunan berlanjut pada Maret 2025. ICP resmi Indonesia ditetapkan sebesar USD 71,11 per barel, mengalami koreksi sebesar USD 3,18 dibanding bulan sebelumnya. 

    Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan penurunan ini. Pertama, kekhawatiran pasar terhadap keputusan pemerintah Amerika Serikat untuk menaikkan tarif perdagangan, yang berdampak langsung pada ekspektasi pertumbuhan ekonomi dunia. 

    Kedua, sinyal dari OPEC+ mengenai rencana peningkatan produksi minyak pada April 2025 turut menambah tekanan terhadap harga. 

    Ketiga, stok minyak mentah komersial Amerika Serikat meningkat sebesar 3,2 juta barel menjadi 437 juta barel pada pertengahan Maret, menandakan potensi kelebihan pasokan yang signifikan di pasar global.

    Dalam konteks perencanaan fiskal, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM telah mengusulkan asumsi harga ICP dalam RAPBN 2025 sebesar USD 75 hingga USD 85 per barel. Estimasi ini mengacu pada realisasi rata-rata ICP hingga Mei 2024 yang tercatat di angka USD 81,67 per barel. Angka tersebut digunakan sebagai dasar dalam perhitungan pendapatan negara, subsidi energi, serta komponen belanja negara yang berkaitan dengan sektor minyak dan gas.

    ICP merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan harga jual minyak mentah Indonesia ke pasar internasional. Oleh karena itu, penurunan harga ini tidak hanya berdampak pada penerimaan negara dari sektor hulu migas, tetapi juga dapat mempengaruhi nilai ekspor, daya saing emiten energi nasional, dan stabilitas harga energi domestik.

    Dengan kondisi saat ini, pemerintah dan pelaku industri migas terus mencermati perkembangan harga minyak mentah global serta dampaknya terhadap kebijakan energi nasional. Data per Maret 2025 menunjukkan bahwa Indonesia, seperti negara penghasil minyak lainnya, menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara pendapatan migas dan stabilitas pasokan energi nasional.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79