Logo
>

Harga Minyak Naik Tajam, Pasar Terjebak Risiko Hormuz

Harga minyak dunia melonjak akibat ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Selat Hormuz kembali jadi titik rawan yang menghantui pasar energi global.

Ditulis oleh Dian Finka
Harga Minyak Naik Tajam, Pasar Terjebak Risiko Hormuz
Ilustrasi: Ketegangan Iran-Israel picu lonjakan harga minyak, pasar waspada risiko gangguan pasokan lewat Selat Hormuz. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Selat Hormuz kembali jadi titik nyeri pasar energi global. Ketegangan Iran-Israel membuat harga minyak melonjak tajam hingga memicu reaksi berantai di pasar komoditas. Pengamat pasar modal Wahyu Laksono menilai, lonjakan harga minyak yang terjadi saat ini merupakan respons pasar yang wajar dalam menghadapi potensi gangguan pasokan dari kawasan produsen minyak terbesar dunia.

"Pasar bereaksi sangat cepat terhadap risiko geopolitik. Begitu ada sinyal potensi gangguan pasokan, harga langsung naik tajam. Ini tipikal respons jangka pendek yang dipicu ketakutan akan kelangkaan," ujar Wahyu kepada KabarBursa.com, di Jakarta, Senin, 16 Juni 2025.

Berdasarkan data Trading Economics, harga kontrak berjangka minyak mentah WTI sempat menyentuh USD73 per barel pada awal pekan ini, setelah reli lebih dari 7 persen pada Jumat dan sempat melesat 5,5 persen di sesi sebelumnya. Namun penguatan itu mulai terkoreksi seiring meredanya kekhawatiran pasar terhadap potensi eskalasi konflik Iran-Israel.

Per sore ini, harga minyak mentah jenis WTI kembali bergerak melemah. Berdasarkan pantauan di TradingView pukul 16.22 WIB, kontrak berjangka WTI di NYMEX berada di posisi USD72,39 per barel, terkoreksi 0,81 persen atau turun USD0,59 dari harga sebelumnya. Pola grafik menunjukkan tekanan jual masih mendominasi sejak sesi pagi. Setelah sempat diperdagangkan di kisaran USD77, harga terus tergerus hingga mendekati level support USD72.

Menurut Wahyu, sentimen minyak yang mendominasi saat ini sangat bergantung pada perkembangan di lapangan, terutama terkait hubungan Iran dan Israel. Jalur distribusi strategis seperti Selat Hormuz menjadi perhatian utama pasar karena hampir 20 persen pasokan minyak global melewati titik tersebut.

Pasar Volatil, Prospek Minyak Masih Bullish?

Wahyu menjelaskan, untuk jangka pendek, tren kenaikan harga minyak berpeluang masih berlanjut jika ketegangan terus meningkat. Namun arah harga dalam jangka menengah dan panjang sangat ditentukan oleh eskalasi atau de-eskalasi konflik.

“Kalau konflik meluas dan ada serangan ke fasilitas minyak atau blokade Hormuz benar-benar terjadi, harga bisa melonjak lebih tinggi dan bertahan lama. Tapi kalau eskalasi berhenti tanpa gangguan fisik terhadap pasokan, maka harga akan terkoreksi kembali,” jelasnya.

Wahyu mengatakan pasar saat ini berada dalam mode "headlines-driven", di mana setiap perkembangan berita bisa langsung mengayunkan harga dalam hitungan jam, bahkan menit.

Selain faktor geopolitik, Wahyu juga menyebut produksi OPEC+ dan tren shale oil dari Amerika Serikat sebagai dua variabel kunci dalam neraca pasokan global.

"OPEC+ punya kendali terhadap volume pasokan. Kalau mereka kompak memangkas produksi, pasokan akan ketat dan harga bisa naik. Tapi kalau AS meningkatkan produksi shale, itu bisa jadi penyeimbang,” ujarnya.

Pasar juga mencermati bagaimana kebijakan energi jangka panjang, seperti transisi ke energi terbarukan, serta outlook ekonomi global akan memengaruhi permintaan. “Kalau ekonomi dunia tumbuh lambat atau transisi energi lebih cepat, maka permintaan minyak bisa tertahan, dan itu menahan harga juga,” kata Wahyu.

Ketidakpastian Harga Minyak Masih Tinggi

Saat ini, pasokan minyak global disebut Wahyu masih dalam kondisi relatif stabil, namun berada “di bawah awan ketidakpastian”. Risiko terbesar tetap datang dari konflik di kawasan Teluk Persia.

“Jika Iran benar-benar memblokir Selat Hormuz atau terjadi serangan ke kilang strategis, itu akan jadi game-changer. Harga bisa meledak. Tapi selama itu belum terjadi, pasar hanya bermain dengan spekulasi,” katanya.

Beberapa analis bahkan memperkirakan skenario ekstrem, di mana harga bisa menembus level psikologis tertentu jika jalur maritim utama ditutup Iran. Namun skenario ini, kata Wahyu, masih tergolong risiko ekor (tail risk) yang belum terealisasi.

Di tengah volatilitas ini, Wahyu menyarankan investor tetap berhati-hati, khususnya mereka yang bermain di sektor komoditas.

“Tren saat ini memang bullish, tapi cepat berubah. Jangan ambil posisi terlalu agresif tanpa memperhitungkan headline geopolitik yang sangat dinamis,” katanya.

Untuk pemerintah, ia mengingatkan pentingnya memantau pergerakan harga sebagai dasar penyesuaian kebijakan fiskal, terutama subsidi energi.

“APBN bisa tertekan kalau harga terus naik dan pemerintah tidak ubah skema subsidi. Jadi harus ada kalkulasi ulang secara berkala, sambil tetap menjaga daya beli masyarakat,” katanya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.