KABARBURSA.COM - PT Hutama Karya (Persero) telah menyelesaikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Tambak Blok 3 pada Juni 2024.
Pembangkit listrik ini, yang memiliki kapasitas 779 Megawatt (MW) ini diharapkan dapat berperan penting dalam memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Jawa dan Bali.
Executive Vice President (EVP) Sekretaris Hutama Karya, Adjib Al Hakim mengatakan rampungnya proyek ini memperkuat portofolio perusahaan dalam proyek Engineering, Procurement & Construction (EPC).
“Penyelesaian proyek ini menambah rekam jejak Hutama Karya dalam menggarap proyek-proyek EPC,” kata Adjib dalam keterangannya, Jumat, 30 Agustus 2024.
Sebagai informasi, PLTGU Tambak Lorok Blok 3 adalah proyek yang dimiliki oleh anak perusahaan PT PLN (Persero), yaitu PT PLN Indonesia Power. Proyek ini merupakan hasil kerja sama operasi antara Hutama Karya dengan General Electric (GE) dan Marubeni Corporation (MC).
Dikerjakan sejak 2017 dengan investasi sebesar Rp4,8 triliun, PLTGU Tambak Lorok Blok 3 menjadi pembangkit listrik pertama di Asia Pasifik yang menggunakan teknologi turbin gas HA (High efficiency Air cooled).
Adjib menjelaskan, bahwa teknologi ini memungkinkan efisiensi energi yang optimal dengan kombinasi pembangkit tenaga gas dan uap yang sudah sesuai dengan standar manajemen kualitas lingkungan internasional. Namun, penyelesaian proyek ini tidak lepas dari tantangan, terutama karena area proyek yang berada di Pelabuhan Tanjung Emas yang sering kali mengalami banjir rob. Selain itu, proyek ini juga harus melewati masa sulit akibat di masa pandemi COVID-19.
Sebelum dioperasikan, pembangkit listrik ini rencananya akan diresmikan oleh Direktur Utama PLN.
Selain PLTGU Tambak Lorok Blok 3, Hutama Karya juga telah mengantongi portofolio proyek pembangkit listrik lainnya sejak tahun 2010. Beberapa proyek tersebut antara lain PLTM Parmonangan 2 dengan kapasitas 2x5 MW di Sumatera Utara, PLTM Gunung Wugul dengan kapasitas 2x1,5 MW di Jawa Barat, dan PLTM Harjosari dengan kapasitas 3x3,3 MW di Jawa Tengah.
Tak hanya itu, Hutama Karya juga terlibat dalam beberapa proyek besar pembangkit listrik lainnya, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya dengan kapasitas 2x1000 MW di Cilegon (Banten), PLTGU Muara Tawar dengan kapasitas Add on 650 MW di Bekasi (Jawa Barat), dan PLTU Grati di Pasuruan, Jawa Timur.
13 PLTU Terancam Disuntik Mati
Sementara itu, pemerintah, melalui Kementerian ESDM sedang menyusun peta jalan ‘suntik mati’ Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengungkap, saat ini tercatat 13 PLTU yang direncanakan pensiun dini dengan mempertimbangkan keekonomian dan gejolak kekurangan pasokan, hingga kenaikan harga listrik.
“Ada beberapa kriteria yang diatur misalkan umurnya, kemudian kinerjanya, efisiensinya, produktivitas. Jadi itu dilihat kita mendaftar dari umur, dari kinerja, dari emisinya semua, jadi kita udah ada daftarnya tuh yang 13 PLTU itu,” kata Dadan dalam keterangannya, Kamis, 22 Agustus 2024.
Dadan menuturkan, pemerintah terus mencari dukungan untuk memensiunkan dini PLTU yang sesuai kriteria agar tidak menimbulkan gejolak seperti kenaikan biaya pokok penyediaan listrik (BPP) dan kekurangan pasokan listrik.
“Kita sampai sekarang terus mencari dukungan. Dukungan karena untuk istirahat dini, untuk pesiun dini itu kita tidak mau tuh ada nanti BPP naik, nanti kekurangan listrik, atau uang pemerintah-nya keluar. Jadi kira-kira tiga hal itu yang kita jaga,” jelasnya.
Dalam upaya menjalankan peta jalan pensiun dini PLTU, Dadan mengaku dukungan negara-negara internasional juga diperlukan, di mana pengurangan emisi karbon menjadi komitmen bersama.
Kendati begitu, Dadan tak mengungkap secara spesifik 13 PLTU yang ditargetkan pensiun dini. Adapun 13 PLTU itu memiliki kapasitas 4,8 GW yang dimiliki oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
“13 PLTU dengan total kapasitas 4,8 GW seluruhnya milik PLN, saat ini kita belum menentukan ini harus dipensiun dininya kapan? Itu belum. Karena itu nanti basisnya kepada keekonomian,” tutup Dadan.
Urgensi Suntik Mati PLTU
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mengungkap, rencana pensiun dini PLTU menjadi urgensi yang perlu segera diterapkan pemerintah. Menurutnya, ada dua poin urgensi pensiun dini PLTU.
Pertama, kata Bondan, fakta bahwa PLTU menjadi salah satu sumber dari pencemaran udara. Hal tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyebut, PLTU menyumbang 34 persen polusi udara, khususnya di DKI Jakarta.
Pada tahun 2019 lalu, Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara dan Koalisi Semesta (Ibukota) juga berhasil memenangkan gugatannya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, terkait pelanggaran HAM yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta karena melakukan pembiarkan atas perburukan kualitas udara di DKI Jakarta.
Bondan menilai, rencana pemerintah yang hendak menutup PLTU Suralaya, menjadi langkah yang sesuai dengan rencana aksi pemerintah terkait dengan pengendalian pencemaran udara. Begitu juga dengan gugatan yang dimenangkan di PN Jakarta Pusat.
“Jika memang ada rencana untuk menutup PLTU batubara di Suralaya, berarti sudah sesuai dengan rencana aksi pemerintah soal pengendalian pencemaran udara sesuai dengan perintah hakim dalam putusan gugatan polusi udara yang dimenangkan 3 kali (setelah banding dan kasasi) dan mengingat dampak dari PLTU,” kata Bondan kepada Kabar Bursa.
Meski begitu, Bondan menekankan bahwa pengendalian polusi udara mesti tetap sasaran dan berdasar pada data akademik. Jika data menunjukkan penyebab polusi udara, kata dia, pemerintah perlu segera melakukan upaya pengendalian dan mempertimbangkan dampak kesehatan publik.
“Tentunya rencana penutupan PLTU ini sudah sejalan dengan rencanan dan janji pemerintah dalam upaya transisi energi. Tentunya harus diiringi dengan peningkatan porsi energi terbarukannya dan memberi ruang untuk itu lebih besar ketimbang solusi palsu,” tegasnya.
Kendati begitu, kata Bondan, alih-alih mengurangi PLTU, pemerintah dinilai melakukan langkah yang kontra poduktif. Pasalnya, penggunaan PLTU batu bara masih diperbolehkan untuk industri, seperti smelter untuk nikel.
Berdasarkan data dari rencana PLTU industri, Bondan menyebut kapasitas energi dari batubara di industri mencapai 10.8 GW dan akan ada penambahan sekitar 14.4 GW. Hal itu kembali diperkuat melalui Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022.
Di sisi lain, Bondan juga mempertanyakan transparansi data PLN terkait emisi yang dihasilkan dari PLTU batubara. Bahkan, kata dia, Greenpeace sendiri sempat menerima penolakan kala menagih data tersebut.
“Bahkan Greenpeace pernah meminta melalui keterbukaan informasi publik, di jawab oleh PLN bahwa data emisi PLTU batubara adalah rahsia dagang,” ungkapnya.
Lebih jauh, Bondan berharap rencana pensiun dini PLTU juga diiringi kebijakan yang menguatkan dengan data sebagai basis argumentasi pembentukan regulasi transisi energi.
“Menjadikan data sebagai basis argumen untuk pengambilan kebijakan khususnya mengenai transisi energi dan menjadikan dampak kesehatan dari penggunaan PLTU batubara sebagai pertimbangan agar Indonesia memiliki generasi emas seperti yang di harapkan nantinya,” tutupnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.