KABARBRUSA.COM - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyoroti biaya dan dampak pada implikasi soal target pemerintah Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar minyak (BBM), khususnya solar, dengan meningkatkan penggunaan biodiesel menjadi 50 persen pada tahun 2026.
Fabby menilai dengan peningkatan blending biodiesel, impor solar yang sebelumnya mencapai angka besar dapat ditekan. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah harus lebih terbuka dalam mengungkapkan biaya yang diperlukan untuk mencapai target tersebut.
“Memang, untuk mencapai target tersebut cukup mudah, yaitu dengan meningkatkan blending biofuel. Namun, yang perlu diperhatikan adalah biayanya. Pemerintah harus terbuka soal implikasi biaya dari kebijakan ini,” kata Fabby kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Rabu, 8 Januari 2025.
Lanjutnya, salah satu perhatian utama Fabby adalah soal subsidi yang semakin besar seiring dengan peningkatan volume biodiesel yang digunakan. Sebagaimana diketahui, subsidi untuk biodiesel selama ini berasal dari dana yang dikumpulkan melalui pajak ekspor CPO (Crude Palm Oil).
Dengan meningkatnya penggunaan biodiesel, kebutuhan CPO untuk campuran biofuel pun akan semakin besar, yang dapat mengurangi jumlah CPO yang diekspor.
“Semakin besar blending biofuel, berarti subsidi yang diberikan pemerintah akan semakin besar juga. Saat ini, subsidi untuk biofuel didanai oleh pajak ekspor CPO. Tetapi, jika ekspor CPO berkurang karena lebih banyak dipakai untuk biodiesel domestik, maka perlu dipertanyakan apakah dana tersebut cukup untuk mendukung subsidi yang lebih besar,” ujar Fabby.
Fabby juga mengungkapkan bahwa produksi CPO Indonesia dalam beberapa tahun terakhir stagnan, dengan jumlahnya berada di kisaran 43 juta hingga 47 juta ton per tahun. Dengan adanya rencana peningkatan blending menjadi B50, ia khawatir produksi CPO domestik akan lebih banyak terserap untuk kebutuhan biodiesel, yang dapat berdampak pada ekspor dan harga CPO.
“Jika blendingnya naik, lebih banyak CPO yang digunakan untuk biodiesel. Bahkan bisa mencapai hampir 20 juta ton jika B50 terlaksana. Sebagian besar CPO kita diekspor, jadi ada potensi penurunan ekspor yang mengarah pada harga CPO yang lebih mahal di pasar domestik,” lanjut Fabby.
Selain itu, ia mengingatkan pemerintah akan dampak dari kenaikan harga CPO terhadap barang-barang lain yang bergantung pada CPO, seperti minyak goreng dan produk oleochemical (bahan kimia nabati). Menurut Fabby, jika harga CPO naik akibat berkurangnya pasokan untuk ekspor, maka bisa terjadi lonjakan harga minyak goreng dan produk turunan CPO lainnya di pasar domestik.
“Kalau harga CPO naik, tentu saja akan berpengaruh pada harga minyak goreng, oleochemical, dan produk berbasis sawit lainnya. Ini bisa meningkatkan biaya hidup masyarakat dan mengarah pada inflasi yang lebih tinggi,” jelasnya.
“Dampaknya bisa terasa pada daya beli masyarakat yang berkurang, serta kenaikan biaya produksi barang-barang yang menggunakan bahan baku sawit.” tegasnya
Fabby juga menyoroti potensi dampak lingkungan dari kebijakan peningkatan produksi CPO, yang bisa mendorong pembukaan lahan baru. Menurutnya, jika ekspansi CPO dilakukan dengan membuka lahan di kawasan hutan, maka ada risiko kerusakan biodiversitas dan peningkatan emisi gas rumah kaca yang perlu dipertimbangkan dengan hati-hati.
“Jika pemerintah memutuskan untuk membuka lahan baru untuk memenuhi kebutuhan CPO, kita harus waspada terhadap dampak lingkungan. Pembukaan lahan di kawasan hutan dapat merusak biodiversitas dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Ini adalah konsekuensi yang harus diperhitungkan dengan baik,” ujarnya.
Fabby menyimpulkan bahwa meskipun target untuk bebas impor solar pada tahun 2026 merupakan langkah positif, pemerintah harus mempertimbangkan trade-off dari kebijakan ini, mulai dari biaya subsidi yang lebih besar hingga potensi dampak terhadap sektor pangan dan lingkungan.
Ia menegaskan pentingnya perencanaan yang lebih matang dan transparansi dalam penghitungan biaya agar kebijakan tersebut bisa diterima tanpa menimbulkan dampak negatif yang terlalu besar bagi masyarakat dan ekonomi Indonesia.
“Kebijakan ini bisa sangat menguntungkan, tetapi harus dihitung dengan matang. Jangan sampai biaya yang timbul justru lebih besar daripada manfaatnya,” tutup Fabby.
Permintaan Minyak Sawit Domestik
Rencana pemerintah Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor solar dengan mendorong penggunaan biodiesel hingga mencapai 50 persen pada tahun 2026 menyisakan sejumlah pertanyaan. Fahmy Radhi, seorang pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai kebijakan ini perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, mengingat implikasi yang ditimbulkan baik dari sisi harga maupun permintaan minyak sawit domestik.
Karena sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, telah memproyeksikan bahwa Indonesia akan terbebas dari impor bahan bakar minyak, khususnya jenis solar, berkat peningkatan penggunaan biodiesel. Namun, Fahmy Radhi menyarankan bahwa pencapaian target ini belum sepenuhnya efektif, terutama terkait dengan kandungan energi fosil dalam biodiesel.
“Pencapaian B40 sebagai energi bersih masih terbilang belum efektif, karena sekitar 60 persen dari kandungan biodiesel masih mengandalkan energi fosil. Jika kita bisa mencapai B100, barulah itu bisa menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang efektif,” ujar Fahmy saat dihubungi oleh Kabarbursa.com di Jakarta, Senin, 6 Januari 2025.
Fahmy menambahkan bahwa kebijakan untuk meningkatkan penggunaan biodiesel menjadi B40 dan seterusnya berpotensi menimbulkan ketegangan dalam sektor kelapa sawit. Pasalnya, jika permintaan biodiesel terus meningkat, minyak sawit yang biasanya digunakan untuk kebutuhan pangan atau produk turunannya, seperti oleokimia, akan lebih banyak dialihkan untuk energi.
“Peningkatan konsumsi biodiesel tentu berhubungan langsung dengan permintaan minyak sawit. Jika ini tidak dikelola dengan baik, kita bisa menghadapi trade-off antara penggunaan kelapa sawit untuk energi atau pangan. Jika terjadi ketidakseimbangan, ini bisa memicu krisis pangan dan meningkatkan harga produk-produk yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku,” ungkap Fahmy.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.