KABARBURSA.COM - Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) diperkirakan akan terus mengalami peningkatan, dengan kemungkinan menembus level 7 persen untuk tenor 10 tahun pada pekan ini. Kenaikan imbal hasil ini dipandang sebagai peluang menarik bagi investor asing untuk kembali memasuki pasar obligasi Indonesia, terutama di tengah kondisi politik yang sedang bergejolak.
Ahmad Nasrudin, Analis Pendapatan Tetap di PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), menjelaskan bahwa imbal hasil SUN telah menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa pekan terakhir.
"Imbal hasil cenderung naik sedikit, melanjutkan rebound dari pekan sebelumnya. Harga surat utang saat ini relatif mahal setelah aliran dana asing yang signifikan masuk ke pasar domestik," ungkap Ahmad.
Ahmad mencatat bahwa selama pekan lalu, investor asing mencatatkan pembelian bersih sebesar Rp11,45 triliun di pasar surat utang pemerintah, setelah sebelumnya melakukan pembelian sebesar Rp17,02 triliun dalam periode 12-21 Agustus 2024.
Gelombang pembelian ini sempat menekan imbal hasil hingga 6,611 persen pada 21 Agustus dari 6,90 persen pada akhir Juli 2024. Namun, karena harga surat utang yang sudah cukup tinggi, imbal hasil berangsur naik ke level 6,67 persen pada Jumat, 23 Agustus 2024.
"Ini menunjukkan adanya potensi koreksi harga yang menarik bagi investor untuk kembali masuk ke pasar," tegas Ahmad.
Meskipun imbal hasil SUN bertenor 10 tahun menawarkan peluang keuntungan, beberapa investor asing mungkin memilih strategi spekulatif dengan menjual sebagian portofolio SUN mereka untuk mengamankan keuntungan jangka pendek.
Salah satu alternatif yang dipertimbangkan adalah beralih ke Sertifikat Ritel Bank Indonesia (SRBI), yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi sekitar 7,195 persen untuk tenor 1 tahun, yang lebih menarik dibandingkan SUN tenor 10 tahun.
"Investor asing mungkin memanfaatkan situasi politik yang tidak stabil saat ini untuk meraih keuntungan, sambil beralih ke SRBI yang memberikan imbal hasil lebih tinggi tetapi tetap bebas risiko," jelasnya.
Ke depan, imbal hasil SUN bertenor 10 tahun diperkirakan akan bergerak di kisaran 6,5-7 persen, dengan kecenderungan sedikit naik. Imbal hasil ini diproyeksikan bisa mencapai sekitar 6,7 persen pada pekan depan. Jika kondisi pasar tetap stabil, imbal hasil pada level ini juga diperkirakan akan bertahan hingga akhir tahun 2024.
"Seperti yang telah dijelaskan, harga surat utang pemerintah saat ini sudah cukup mahal setelah dibeli oleh investor asing dalam beberapa pekan terakhir. Ketika harga surat utang tinggi dan imbal hasil menurun, spekulan biasanya memanfaatkan sentimen negatif jangka pendek, seperti ketidakstabilan politik, untuk meraih keuntungan," tutup Ahmad.
Angin Segar The Fed
Pasar keuangan domestik saat ini sedang menikmati euforia besar yang dipicu oleh harapan bahwa Federal Reserve (The Fed) akan segera menurunkan suku bunga acuan. Harapan ini menjadi angin segar bagi pasar setelah mengalami masa-masa sulit akibat kebijakan pengetatan moneter agresif yang diterapkan oleh The Fed sejak 2022. Antusiasme ini telah meningkatkan optimisme di kalangan pelaku pasar, yang tercermin dalam pergerakan positif di berbagai sektor.
Rupiah, mata uang domestik Indonesia, telah mencapai level tertinggi dalam hampir satu tahun terakhir. Dalam perdagangan terakhir, Rupiah mencapai Rp15.310 per USD, posisi terkuat sejak September tahun lalu. Bahkan, pada akhir sesi pertama di pasar modal, Rupiah tetap kuat di Rp15.425 per USD, mencatatkan kenaikan 0,43 persen dibandingkan dengan posisi akhir pekan sebelumnya. Pencapaian ini menjadikan Rupiah sebagai mata uang Asia dengan penguatan terbesar kedua setelah Ringgit Malaysia.
Optimisme juga terlihat di pasar obligasi, dengan harga obligasi negara melonjak yang mengakibatkan penurunan yield di berbagai tenor. Yield Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun turun sebesar 2,7 basis poin (bps) menjadi 6,598 persen. Untuk tenor 5 tahun, yield turun 2,8 bps menjadi 6,477 persen. Sementara itu, tenor yang lebih pendek seperti 2 tahun hanya sedikit terkoreksi, turun 0,5 bps. Namun, untuk tenor 1 tahun, yield malah naik 2,5 bps menjadi 6,465 persen.
Penurunan yield juga terjadi pada obligasi dengan tenor lebih panjang. Yield untuk tenor 15 tahun dan 20 tahun masing-masing turun sebesar 5,6 bps dan 4,4 bps menjadi 6,683 persen dan 6,795 persen. Situasi ini menunjukkan optimisme kuat dari pelaku pasar terhadap prospek ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Pidato Jerome Powell, Ketua The Fed, yang disampaikan pada Jumat sebelumnya menjadi salah satu faktor utama yang memicu euforia ini. Powell secara jelas menyatakan bahwa saatnya telah tiba bagi The Fed untuk menurunkan suku bunga setelah pasar mengalami tekanan akibat kebijakan moneter yang sangat ketat dalam beberapa tahun terakhir. Pernyataan ini langsung disambut positif oleh pasar global, termasuk Indonesia, yang merespons dengan antusiasme tinggi.
Menariknya, euforia di pasar Indonesia sebenarnya sudah mulai tampak bahkan sebelum pernyataan Powell. Di tengah ketidakpastian politik yang ditandai oleh demonstrasi besar akibat RUU Pilkada, investor asing tetap menunjukkan minat yang tinggi untuk membeli obligasi Indonesia. Pada Kamis, 22 Agustus 2023, investor asing mencatatkan pembelian obligasi sebesar USD610 juta atau sekitar Rp9,6 triliun hanya dalam satu hari, menjadi pembelian bersih terbesar dalam lima tahun terakhir di pasar obligasi Indonesia.
Meskipun situasi politik domestik memanas karena demonstrasi yang berpotensi menimbulkan kerusuhan sosial, minat investor asing terhadap obligasi Indonesia tetap kuat. Salah satu alasan utama adalah kenaikan yield obligasi Amerika Serikat (AS) atau Treasury, yang memperlebar selisih imbal hasil antara obligasi negara Asia berdenominasi mata uang lokal, termasuk Indonesia, dengan Treasury AS. Frances Cheung, Kepala Strategi Valas dan Suku Bunga di OCBC Singapura, menyebutkan bahwa penguatan Rupiah juga menurunkan biaya lindung nilai bagi investor asing, sehingga obligasi Indonesia menjadi semakin menarik.
Saat ini, selisih imbal hasil antara obligasi Indonesia dan Treasury AS berada di level 281 bps, lebih tinggi dibandingkan dengan 260 bps pada awal kuartal ketiga tahun ini. Hal ini memperlihatkan daya tarik yang semakin besar dari obligasi Indonesia di mata investor global. (*)