KABARBURSA.COM - Implementasi sistem administrasi perpajakan terbaru, Coretax, kembali menjadi sorotan. Konsultan Pajak Harry Anggara menyebutkan adanya ketidaksinkronan data antara sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Coretax, yang diduga disebabkan oleh perbedaan vendor yang menangani kedua sistem tersebut.
“Nah, saya baru dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tadi untuk perubahan data. Jadi, sekarang di kantor pajak pun sudah pakai Coretax. Tapi ketika saya coba sinkronisasi data di DJP, datanya belum terintegrasi,” kata Harry kepada Kabarbursa.com, Senin, 20 Januari 2025.
Menurutnya, vendor yang menangani DJP dan Coretax kemungkinan berbeda, sehingga kedua sistem tersebut tidak saling terhubung dengan baik.
“Mereka jalannya sendiri-sendiri, DJP sendiri, Coretax sendiri. Mungkin ya vendornya beda. Bisa jadi vendor A yang ngejalanin DJP, vendor B ngejalanin Coretax. Tapi mereka enggak ketemu di tengah. Jadi bingung sendiri,” jelas Harry.
Masalah ini menambah beban bagi Wajib Pajak (WP), terutama saat menghadapi kewajiban pelaporan pajak. Harry menyoroti bahwa solusi yang diberikan oleh petugas pajak kerap bersifat sementara.
“Kalau ditanya, orang KPP cuma bilang, Ya sudah, Pak, nanti juga bisa kok secara berkala. Tapi sementara itu, WP tetap dikejar pajak,” tambahnya.
Proyek Ambisius dengan Anggaran Fantastis
Untuk diketahui, sistem Coretax ini dikembangkan oleh LG CNS-Qualysoft Consortium, pemenang tender proyek sistem inti administrasi perpajakan senilai Rp1,2 triliun. Proyek ini diumumkan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.03/2020 pada 1 Desember 2020.
LG CNS-Qualysoft Consortium bertugas menyediakan solusi commercial off the shelf (COTS) untuk sistem inti administrasi perpajakan yang menggantikan sistem lama yang telah digunakan sejak 2002. DJP optimistis sistem baru ini akan lebih modern, terpercaya, andal, dan terintegrasi, sesuai praktik terbaik internasional.
Selain itu, PT Deloitte Consulting juga terlibat dalam pengawasan proyek ini sebagai pemenang tender jasa konsultasi dengan nilai kontrak Rp110 miliar.
Namun, terlepas dari harapan besar pemerintah terhadap sistem Coretax, berbagai permasalahan teknis yang muncul di awal penerapan menjadi pekerjaan rumah besar. Pengguna, terutama WP, berharap ada perbaikan dan penyempurnaan agar sistem ini benar-benar memberikan kemudahan, bukan menambah beban administrasi perpajakan.
Tantangan Sistem Coretax
Pada awal tahun 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperkenalkan Coretax, sistem teknologi informasi terbaru yang bertujuan menyederhanakan dan mengintegrasikan layanan administrasi perpajakan di Indonesia.
Coretax dirancang untuk mempermudah berbagai proses, mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, hingga pembayaran dan penagihan pajak. Sistem ini diharapkan menjadi tonggak baru efisiensi administrasi perpajakan.
Sebelum implementasi penuh pada 1 Januari 2025, DJP melakukan praimplementasi sistem Coretax selama dua pekan terakhir Desember 2024. Langkah ini dimaksudkan agar wajib pajak memiliki waktu beradaptasi dengan sistem baru, mengurangi potensi kendala saat pelaksanaan. Harapannya, transisi ini berjalan mulus, memberikan pengalaman positif kepada pengguna.
Namun, kenyataannya, implementasi Coretax menuai berbagai keluhan sejak hari pertama penerapannya. Wajib pajak melaporkan kesulitan dalam mengakses layanan, terutama dalam pembuatan faktur pajak, yang memicu kekhawatiran atas potensi sanksi akibat keterlambatan administrasi.
Keluhan serupa datang dari berbagai daerah, menunjukkan bahwa masalah ini bersifat sistemik, bukan kasus terisolasi. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) menjadi tujuan banyak pihak yang mencari solusi, menambah beban kerja petugas lapangan.
Merespons keluhan tersebut, DJP mengakui perlunya perbaikan pada layanan Coretax. Pengakuan ini disampaikan melalui unggahan di akun resmi Instagram @ditjenpajakri, yang mengundang lebih dari 800 komentar berisi kritik dan saran. Sebagian besar komentar menuntut solusi konkret, mencerminkan kekecewaan para wajib pajak.
Kondisi ini menarik perhatian Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang segera mengunjungi "dapur" sistem Coretax. Didampingi oleh tiga wakil menteri, beliau memberikan dukungan penuh kepada tim DJP untuk bekerja keras membangun sistem administrasi pajak yang handal.
Melalui akun media sosialnya, ia mengimbau semua pihak tetap semangat menghadapi kendala, sambil terus menyempurnakan sistem yang baru saja diimplementasikan.
DJP kemudian mengambil langkah perbaikan signifikan, termasuk meningkatkan kapasitas jaringan dan bandwidth untuk mengakomodasi tingginya volume pengguna. Permohonan maaf resmi juga disampaikan, disertai kepastian bahwa tidak akan ada sanksi administrasi selama masa transisi.
Hingga pertengahan Januari, lebih dari 126 ribu wajib pajak telah berhasil memperoleh sertifikat elektronik untuk faktur pajak, dan sekitar 34 ribu di antaranya sudah mampu menggunakan layanan Coretax secara efektif.
Menurut DJP, kendala utama yang dialami bukanlah akibat kerusakan pada server, melainkan proses sinkronisasi data antara sistem lama dan baru. Transisi ini melibatkan penyesuaian teknis yang kompleks, sejalan dengan tingginya volume pengguna yang secara bersamaan mengakses sistem.
Tantangan sinkronisasi data ini wajar untuk sebuah sistem berskala besar yang sedang bergerak menuju integrasi penuh.
Ke depan, keberhasilan Coretax tidak hanya bergantung pada perbaikan teknis, tetapi juga pada transparansi dan komunikasi yang efektif antara DJP dan para wajib pajak.
Dengan respons yang proaktif dan komitmen untuk menyelesaikan tantangan awal, Coretax tetap memiliki potensi besar untuk merevolusi administrasi perpajakan di Indonesia, sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan negara.(*)