KABARBURSA.COM - International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia mengeluarkan serangkaian rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan pendapatan pajak di negara-negara salah satu aspek utama dari rekomendasi ini adalah penerapan pajak properti, yang direncanakan akan memengaruhi sistem perpajakan di berbagai negara.
Menanggapi hal tersebut Direktur PT Metropolitan Land Tbk (MTLA) menyatakan saat ini pengenaan pajak properti sudah sangat banyak baik dari penjual maupun pembeli.
“Kami melihat pengenaan pajak properti saat ini di Indonesia sudah cukup banyak, baik dari penjual maupun pembeli yaitu PPN 11 persen, BPHTB sebesar 5 persen. PPH sebesar 2.5 persen dan PBB,” ujar Olivia kepada Kabar Bursa di Jakarta, Rabu 7 Agustus 2024.
Olivia juga mengatakan nantinya ada kekhawatiran bahwa rumah sebagai kebutuhan primer seharusnya mendapatkan kemudahan dalam kepemilikannya, dan tidak terbebani dengan pajak yang memberatkan.
“Kami perlu lihat dahulu seperti apa sistem pajak properti yang direncanakan oleh IMF tersebut, namun rumah sebagai kebutuhan primer seharusnya diberikan kemudahan dalam memililkinya,” jelasnya.
Lanjutnya, menurut Olivia penerapan pajak properti yang direncanakan mungkin lebih tepat untuk rumah kedua atau seterusnya, bukan rumah pertama. Hal ini bertujuan agar kepemilikan rumah pertama tetap terjangkau bagi masyarakat, sementara rumah kedua dan seterusnya bisa dikenakan pajak sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan pendapatan negara.
“Pembelakuan Pajak Properti yang direncanakan IMF dan Bank Dunia mungkin bisa utk kepemilikan rumah kedua dst, bukan rumah pertama,” sambungnya.
Dihubingi terpisah, pengamat Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta, mengungkap hal tersebut akan memberikan dampak positif yang bertujuan untuk meningkatkan pangsa pasar perusahaan bagi emiten properti.
“Jadi otomatis base mustinya bisa menerapkan pre-emptive, forward looking merangka untuk menerapkan expansion market policy. Ini akan bagus untuk menunjukkan pertumbuhan kredit, baik itu Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Yes, jadi seperti itu ya,” ujar Nafan kepada Kabar Bursa di Jakarta,
Adapun menjelang keputusan kebijakan monter pada bulan September mendatang, pasar keuangan global tengah mengamati dengan cermat perkembangan pasar tenaga kerja Amerika Serikat. Sejalan dengan tren penurunan rata-rata yang terlihat pada invasi AS, ekspektasi pasar menunjukkan potensi penurunan suku bunga acuan sebesar 25 hingga 50 basis poin.
“Ya, itu yang paling penting. Karena kalau kita lihat dari pekembang US labor market, US invasion so far sudah rata-rata pulling down,” jelasnya.
“Jadi ada ekspektasi dari market yang misalnya antara 25 basis point hingga 50 basis point ini benar-benar suku pengacuan, misalnya di bulan September,” pungkasnya.
Pasar Properti Lesu
Sebagaimana diketahui, properti menjadi salah satu sektor yang memiliki multiplier effect yang luas. Alhasil, seretnya penjualan properti di China menyebabkan ekonomi melambat selama dua tahun terakhir.
Di sisi lain, pemerintah enggan memberikan insentif fiskal pada sektor properti lantaran ingin melakukan shifting dan menjadikan sektor teknologi dan manufaktur sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru.
Meski demikian, pemerintah China tidak tinggal diam dengan kondisi sektor properti saat ini. Pada Mei 2024 lalu, China telah meluncurkan paket penyelamatan sektor properti sebesar 300 miliar yuan atau USD42 miliar.
Lewat dana itu, pemerintah China membeli sejumlah rumah yang telah selesai dibangun oleh pengembang dan menjualnya menjadi rumah subsidi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pasok perumahan yang makin melebar.
Akan tetapi, Ekonom Senior RRT di Mizuho Securities Asia Ltd., Serena Zhou menjelaskan bahwa angka yang dikucurkan itu masih jauh dari cukup. Mizuho memproyeksi, setidaknya pemerintah China perlu mengguyur bantuan hingga 5 triliun yuan untuk mengatasi masalah tersebut.
“Pemerintah sangat tidak mungkin mengubah kebijakannya dalam semalam,” kata Serena.
Wacana Kenaikan PPN
Sebagai informasi, dari dalam negeri pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana kembali menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 persen, dari 11 persen menjadi 12 persen, yang mulai berlaku pada tahun depan atau per 1 Januari 2025.
Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 7//2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu sebesar 12 persen (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025,” tulis ayat (1) Pasal 7 Bab IV beleid tersebut.
Sementara itu, dalam kabar terbarunya, Sekretaris Menteri Koordinator bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) Susiwijono Moegiarso menuturkan saat ini pemerintah telah pemerintah membuat beberapa asumsi yang menjadi dasar target penerimaan pajak tahun depan, termasuk soal kenaikan tarif PPN.
Namun demikian, Susi menjelaskan pihaknya belum mengetahui apakah pemerintah selanjutnya akan menerapkan tarif PPN 12 persen atau tidak. Akan tetapi, pemerintah petahana telah membuat target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan pertimbangan tersebut.
“Semua asumsi semua antisipasi apapun sudah dijadikan dasar dalam membuat postur (APBN). Jadi sebenarnya memang sudah dihitung semua,” tuturnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.