Logo
>

INDEF: Ekonomi Global 2025 Hadapi Tantangan Besar

Ditulis oleh Dian Finka
INDEF: Ekonomi Global 2025 Hadapi Tantangan Besar

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Penasihat Center of Sharia Economic Development (CSED) Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Hakam Naja, menegaskan bahwa perekonomian global di tahun 2025 akan menghadapi tantangan yang cukup berat.

    Menurutnya, pertumbuhan ekonomi dunia, baik di negara berkembang maupun maju, diperkirakan akan mengalami hambatan signifikan yang berpotensi mempengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia.

    Dalam sebuah diskusi yang digelar oleh Indef, Hakam menyampaikan bahwa gejolak politik global, seperti ketegangan antara Ukraina dan Rusia, serta konflik di Timur Tengah, dapat memperburuk kondisi ekonomi global. Tidak hanya itu, ancaman perang dagang antara Amerika Serikat dan Rusia turut menjadi faktor yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi dunia.

    "Ke depan, kita akan menghadapi perjalanan yang penuh tantangan, seperti berlayar di tengah ombak yang besar dan angin yang kencang," ujar Hakam, dalam diskusi publik 'outlook ekonomi syariah 2025' di Jakarta, Minggu, 29 Desember 2024.

    Meskipun Indonesia memiliki target optimis untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2028, ia menilai tantangan yang ada sangat besar, terutama di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian.

    Hakam juga mengungkapkan bahwa tingkat pengangguran global menunjukkan tren penurunan, dengan banyak negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) berhasil menurunkan angka pengangguran mereka, setelah lonjakan signifikan pasca-pandemi COVID-19. Meskipun ada perkembangan positif ini, di Indonesia, pengangguran diprediksi mengalami kenaikan pada akhir tahun 2024.

    Selain itu, Hakam mencatat adanya penurunan inflasi global pasca-pandemi, yang sebelumnya melonjak tinggi pada puncak COVID-19. Inflasi Indonesia sendiri diperkirakan akan turun menjadi sekitar 5,9 persen pada 2024, meskipun angka ini masih cukup tinggi dibandingkan dengan rata-rata negara OKI, yang berada di angka 4,3 persen dari 2013 hingga 2024.

    Tantangan Perdagangan Internasional 

    Hakam juga mencatat bahwa perdagangan internasional mengalami fluktuasi yang signifikan sejak pandemi COVID-19. Setelah penurunan tajam, ada sedikit peningkatan pada tahun 2022, namun diperkirakan akan terus menurun pada 2023.

    Negara-negara OKI diharapkan bisa mengatasi tantangan ini dengan mencatatkan kenaikan 3,4 persen dalam perdagangan barang dan jasa internasional pada 2025.

    Dalam menghadapi semua tantangan ini, Hakam menekankan pentingnya adaptasi kebijakan ekonomi dan fokus pada pengembangan sektor-sektor yang dapat memperkuat daya saing Indonesia, khususnya di dunia perbankan syariah dan ekonomi berbasis halal yang semakin berkembang.

    Pemerintah diharapkan dapat merumuskan langkah strategis untuk mendukung perekonomian Indonesia agar tetap bertumbuh meskipun dalam situasi global yang penuh ketidakpastian.

    "Indonesia harus bisa menjaga stabilitas ekonomi di tengah gejolak global dan memanfaatkan potensi besar yang ada, baik dalam sektor keuangan syariah maupun ekonomi hijau yang berkelanjutan," pungkas Hakam.

    Berisiko Menurunkan Pertumbuhan

    Peneliti Ekonomi dari Celios, Bakhrul Fikri, menyuarakan kekhawatirannya terkait dampak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang direncanakan pemerintah pada 2025. Menurut Fikri, kebijakan ini berisiko menurunkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan.

    “Jika tarif PPN dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen, saya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 hanya akan mencapai 4,09 persen. Ini sangat berbahaya karena dapat memicu resesi dan memperburuk kondisi ekonomi secara keseluruhan,” ujar Fikri saat dihubungi Kabarbursa.com, Sabtu, 28 Desember 2024.

    Fikri menambahkan bahwa sektor konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 53 persen terhadap PDB Indonesia, mengalami penurunan signifikan pada kuartal ketiga 2024. Penurunan ini mencerminkan daya beli masyarakat yang terus melemah dan memerlukan perhatian serius dari pemerintah.

    Sebagai solusi, Fikri mengusulkan penurunan tarif PPN dari 11 persen menjadi 8 persen. Menurutnya, langkah ini dapat memberikan dampak positif bagi konsumen dan dunia usaha. “Dengan menurunkan tarif PPN, permintaan akan meningkat, dan dunia usaha, khususnya sektor UMKM, dapat terhindar dari potensi kerugian besar,” jelasnya.

    Kena Pajak Regresif

    Selain itu, Fikri menyarankan pemerintah mencari alternatif pendapatan negara yang lebih progresif. “Alih-alih mengenakan pajak regresif seperti PPN, pemerintah bisa menerapkan pajak progresif pada kelompok terkaya di Indonesia. Pajak sebesar 2 persen dari 50 orang terkaya dapat menghasilkan tambahan pendapatan negara hingga Rp81,6 triliun per tahun—jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan penerimaan dari kenaikan tarif PPN,” tegasnya.

    Ia menekankan bahwa kebijakan fiskal yang lebih progresif akan memberikan dampak yang lebih adil dan berkelanjutan, serta membantu menjaga daya beli masyarakat yang saat ini semakin tertekan.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.