KABARBURSA.COM - Ekonom Senior INDEF Aviliani, mewanti-wanti soal kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dianggap masih bisa tumbuh di atas 5 persen. Sebabnya, perang dagang yang dilancarkan Presiden AS Donald Trump berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Mengutip dari Reuters, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa turun hingga 0,5 persen imbas penetapan tarif resiprokal sebesar 32 persen.
Dari pernyataan tersebut, Aviliani merasa jika ekonomi RI tetap tumbuh di atas 5 persen maka angka pertumbuhan tersebut belum tentu mencerminkan pemerataan kesejahteraan, apalagi jika kebijakan fiskal tidak berpihak pada kelompok yang paling rentan.
“Pertumbuhan ekonomi sih bisa saja 5 persen, tapi persoalannya adalah pertumbuhan itu menjadi tidak berkualitas karena tidak merata kepada semua masyarakat,” kata Aviliani dalam diskusi yang bertajuk Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia, Jumat 11 April 2025.
Ia menjelaskan, saat ini konsumsi domestik masih didominasi oleh kelas menengah atas dan kelas atas—yang menyumbang hingga 65 persen dari total konsumsi nasional. Namun, justru dalam kondisi sulit seperti sekarang, kelompok tersebut masih memiliki dana besar karena memanfaatkan kondisi suku bunga tinggi.
“Harusnya kontribusi belanja mereka itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelas menengah bawah dan juga orang miskin. Karena kalau miskin itu dapat Bantuan Langsung Tunai (BLT), tapi menengah bawah ini yang cenderung tidak mendapat BLT, mereka harus bertahan hidup sendiri. Nah, inilah PR pemerintah itu sebenarnya ada di sini,” ujarnya.
Menurut Aviliani, kebijakan subsidi negara seperti subsidi BBM harus lebih diarahkan kepada kelompok menengah bawah yang justru tidak banyak mendapat perlindungan fiskal.
“Kita sudah tahu dari zaman dulu yang menikmati (subsidi) siapa sih. Nah ini mungkin perlu realokasi di dalam subsidi, realokasi dalam menciptakan lapangan pekerjaan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak terlalu bergantung pada bantuan sosial tanpa disertai pemberdayaan ekonomi. “Kalau kita arahnya lebih banyak ke sosial tapi tidak ada pemberdayaan, ini akan berbahaya juga. Karena otomatis orang yang harusnya bisa menciptakan demand jadi tidak menambah demand,” tambahnya.
Masalah lain yang disoroti adalah lambannya penyerapan belanja negara, yang bisa berdampak langsung terhadap pencapaian pertumbuhan.
“Kalau efisiensi atau pengalihan anggaran ini lambat di dalam belanja, itu bisa menurunkan tingkat pertumbuhan sampai 0,2 persen,” kata Aviliani.
Lebih lanjut, Aviliani menyoroti pentingnya peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai katalisator pertumbuhan, terutama di wilayah luar kota besar.
“Kalau di kota-kota besar mungkin tidak terlalu terasa. Tapi kalau di daerah-daerah, kabupaten terutama ya, itu kecenderungannya APBD itu menjadi katalisator dalam ekonomi,” kata Aviliani.
Maka ketika terjadi efisiensi dan penahanan belanja, lanjutnya, dampaknya sangat terasa dan bisa mengganggu perputaran ekonomi daerah.
Dengan berbagai tantangan tersebut, Aviliani tetap optimistis bahwa jika pemerintah mampu melakukan realokasi anggaran secara tepat, pertumbuhan ekonomi nasional bisa mencapai bahkan melampaui target.
“Saya sih masih yakin kalau ini bisa dijalankan, 5,2 persen saja sih mampu,” tutupnya.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Di awal tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diproyeksikan bergerak di kisaran moderat, dengan estimasi berkisar antara 4,9 persen hingga 5,2 persen. Meski tidak melambat drastis, angka tersebut mencerminkan tantangan yang cukup signifikan di tengah kondisi global yang penuh ketidakpastian.
Sejumlah lembaga internasional turut memberikan proyeksi masing-masing terhadap kinerja ekonomi Indonesia di tahun tersebut.
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) sama-sama memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,1 persen. Proyeksi ini menunjukkan optimisme yang hati-hati, terutama dengan mempertimbangkan fondasi ekonomi domestik yang relatif stabil.
Di sisi lain, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menurunkan proyeksi pertumbuhannya menjadi 4,9 persen, sedangkan Asian Development Bank (ADB) menempatkan prediksinya di angka 5 persen.
Perbedaan angka proyeksi ini mencerminkan kompleksitas faktor yang memengaruhi ekonomi Indonesia. Salah satu tantangan terbesar berasal dari luar negeri. Melemahnya permintaan global, khususnya dari negara-negara mitra dagang utama, menjadi faktor penekan utama terhadap ekspor Indonesia.
Kondisi ini diperparah oleh potensi ketegangan perdagangan global, menyusul terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Kebijakan tarif proteksionis yang pernah ia terapkan sebelumnya dikhawatirkan akan kembali memicu perang dagang yang lebih luas, memberikan tekanan tambahan pada rantai pasok dan iklim perdagangan global.
Di dalam negeri, konsumsi rumah tangga—yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia—masih menunjukkan kelemahan, khususnya di kalangan menengah ke bawah. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan ketidakpastian ekonomi memengaruhi daya beli kelompok ini, sehingga laju konsumsi tidak sekuat yang diharapkan.
Selain itu, investasi swasta belum menunjukkan dorongan yang cukup kuat untuk menjadi motor utama pertumbuhan, meskipun pemerintah terus mendorong kemudahan berusaha dan memperbaiki iklim investasi.
Menghadapi situasi tersebut, strategi yang adaptif dan menyeluruh diperlukan. Pemerintah Indonesia diharapkan dapat melanjutkan dan mempercepat agenda reformasi kebijakan untuk menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif, termasuk penyederhanaan regulasi dan birokrasi.
Selain itu, adopsi digitalisasi menjadi kunci dalam meningkatkan efisiensi berbagai sektor, sekaligus membuka peluang baru di sektor teknologi dan ekonomi digital. Investasi pada sektor-sektor strategis seperti infrastruktur, energi terbarukan, dan manufaktur bernilai tambah tinggi juga perlu ditingkatkan guna menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Stabilitas makroekonomi tetap menjadi fondasi utama, dan karena itu, bauran kebijakan fiskal dan moneter harus terus dioptimalkan. Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dituntut untuk menjaga keseimbangan antara mendukung pertumbuhan dan menjaga stabilitas nilai tukar, inflasi, serta keberlanjutan fiskal.
Dengan sinergi kebijakan yang solid dan keterbukaan terhadap perubahan global, Indonesia memiliki peluang untuk menjaga momentum pertumbuhan meskipun di tengah situasi global yang menantang.(*)