Logo
>

Indonesia cuma Andalkan SDA: Ekonomi Bisa Tumbuh 8 Persen?

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Indonesia cuma Andalkan SDA: Ekonomi Bisa Tumbuh 8 Persen?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Muliadi Widjaja mengungkapkan, kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari kesiapan untuk melompat dari pertumbuhan ekonomi 5 persen ke angka yang lebih tinggi.

    “Kesannya dari 5 persen ke 8 persen itu hanya 3 persen, tapi pada praktiknya ini bukan hal mudah,” ujar Muliadi dalam diskusi publik yang diselenggarakan IKAL Strategic Centre (ISC) secara hybrid, Selasa, 14 Januari 2025.

    Muliadi menyoroti terkait perekonomian Indonesia masih terjebak pada tahap pertama pembangunan, yakni mengandalkan sumber daya alam seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Menurutnya, menjadi hambatan utama untuk beranjak ke tahap berikutnya yang lebih berbasis teknologi dan inovasi.

    Ia mencontohkan, negara-negara seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, atau Israel tidak hanya bergantung pada sumber daya alam. Negara-negara tersebut, kata dia, menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, seperti komputer atau smartphone.

    “Di Indonesia, kita belum sampai pada tahap itu,” tegasnya.

    Salah satu persoalan mendasar yang menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi 8 persen adalah stagnasi di sektor manufaktur. Banyaknya pabrik yang tutup, kata dia, membuat Indonesia gagal naik ke tahap ketiga, yaitu pengembangan industri manufaktur dan teknologi tinggi.

    “Kita belum mampu membangun industri manufaktur yang benar-benar kompetitif. Apalagi jika bicara tahap ke empat, yaitu inovasi berbasis riset dan pengembangan, kita masih jauh,” ungkapnya.

    Dalam hal investasi penelitian dan pengembangan (R&D), Indonesia berada di posisi yang sangat rendah, hanya 0,28 persen dari PDB. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju seperti Israel (5,56 persen) atau Korea Selatan (4,93 persen).

    “Empat pilar pertumbuhan ekonomi itu adalah sumber daya alam, tenaga kerja, teknologi, dan inovasi. Kita baru bergantung pada pilar pertama dan kedua, sedangkan pilar ketiga dan keempat masih jauh dari harapan,” paparnya.

    Investasi Masih Rendah

    Indonesia juga menghadapi tantangan dalam hal efisiensi investasi. Hal ini diukur dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Dengan ICOR di angka 6,3 pada 2023, Indonesia termasuk tidak efisien dalam memanfaatkan investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

    “Makin tinggi ICOR, makin tidak efisien perekonomian kita. Turunnya ICOR ke angka 4, seperti yang ditargetkan pemerintah, masih menjadi tanda tanya besar,” tambah Muliadi.

    Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen, pemerintah harus meningkatkan investasi dalam R&D, mendorong efisiensi investasi, dan mempercepat pembangunan sektor manufaktur.

    “Kita harus memperbaiki semua roda perekonomian, dari mesin, bodi, hingga kecepatannya. Kalau tidak, target ini hanya akan menjadi wacana,” tutupnya.

    Kunci Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

    Sebelumnya, Wakil Rektor Universitas Paramadina Handi Risza Idris, menyoroti tantangan besar di balik target ambisius ini, terutama terkait investasi sebagai kunci utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

    Menurut Handi, investasi tidak hanya menjadi sumber daya penting dalam meningkatkan permintaan agregat dan pendapatan nasional, tetapi juga menjadi faktor kritis untuk mendorong produktivitas melalui ekspansi kapasitas produksi dan penciptaan lapangan kerja.

    Pengeluaran pada barang modal, seperti mesin-mesin baru atau pembangunan infrastruktur, merupakan langkah strategis yang dapat memperbesar kapasitas ekonomi dan memastikan daya saing di tingkat global.

    Namun, potret ekonomi Indonesia menunjukkan sejumlah tantangan struktural yang perlu segera diatasi. Salah satu persoalan mendasar adalah kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), yang merupakan indikator utama investasi dalam sektor riil, masih tertinggal dibanding konsumsi rumah tangga.

    Pada 2023, kontribusi PMTB terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di angka 29 persen, mencerminkan pertumbuhan investasi sebesar 5,15 persen. Angka ini jauh dari cukup untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

    Tren penurunan kontribusi investasi terhadap PDB telah terjadi sejak 2015, di mana angka tertinggi yang pernah dicapai adalah 32,81 persen. Kini, angkanya turun menjadi 29,33 persen, sejalan dengan stagnansi kontribusi sektor manufaktur yang berada di kisaran 18-19 persen.

    Stagnansi ini menggarisbawahi perlunya upaya nyata untuk menghidupkan kembali daya tarik investasi, memperkuat sektor manufaktur, dan mendorong diversifikasi ekonomi.

    Handi menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan investasi yang sangat besar untuk memenuhi ambisi tersebut. Dalam lima tahun ke depan, diperlukan suntikan dana sebesar Rp13.528 triliun, di mana setidaknya 30 persen dari jumlah ini harus berasal dari investasi langsung.

    Hal ini hanya akan mungkin tercapai jika pemerintah mampu meningkatkan kualitas iklim investasi secara menyeluruh. Transparansi birokrasi, pelayanan publik yang proaktif, serta penguatan kualitas sumber daya manusia merupakan elemen fundamental untuk memastikan lingkungan yang kondusif bagi investasi, baik domestik maupun asing.

    Lebih jauh, indikator efisiensi investasi atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) juga menjadi perhatian penting. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, rasio ICOR harus diturunkan ke kisaran 3 hingga 4. Ini memerlukan strategi peningkatan produktivitas melalui adopsi teknologi modern, inovasi berkelanjutan, dan fokus pada riset serta pengembangan yang mendalam.

    Dengan penguatan kualitas sumber daya manusia dan teknologi sebagai tulang punggung, Indonesia dapat mendorong produktivitas total sebagai fondasi pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

    Rencana besar ini, meski penuh tantangan, memberikan peluang bagi Indonesia untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, tanpa implementasi kebijakan yang tepat dan konsisten, cita-cita tersebut dapat dengan mudah berubah menjadi sekadar retorika belaka. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.