Logo
>

Industri Alkes Kini Klaim Substitusi Impor 50 Persen

Sejumlah emiten juga tercatat mampu membukukan pertumbuhan yang menjanjikan di tengah dinamika ekonomi global.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Industri Alkes Kini Klaim Substitusi Impor 50 Persen
Ilustrasi industri alat-alat kesehatan di Indonesia.

KABARBURSA.COM - Industri alat kesehatan (alkes) dalam negeri mulai menunjukkan perbaikan. Salah satu indikatornya adalah meningkatnya kemampuan industri lokal dalam menggantikan ketergantungan pada produk impor.

“TKDN adalah penopang utama industri alkes nasional sejak pandemi. Dulu 90 persen alat kesehatan kita impor. Sekarang, sudah bisa substitusi hingga 50 persen untuk teknologi low hingga medium,” kata Presiden Direktur PT Graha Ismaya, Masrizal Syarief, dalam acara KAGAMA (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada), Rabu, 14 Mei 2025.

Namun, capaian itu tak datang tanpa tantangan. Dunia usaha sempat dihantui kekhawatiran setelah isu penghapusan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) mencuat. Isu tersebut semakin menguat usai munculnya tekanan dari kebijakan anti-proteksionisme yang sempat dihembuskan oleh Presiden AS Donald Trump.

Masrizal melihat situasi ini mulai mereda setelah Presiden Indonesia menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025. Regulasi ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah tetap berkomitmen pada kebijakan TKDN.

Seiring dengan itu, sejumlah perusahaan global mulai membuka peluang kemitraan dengan pelaku industri lokal. Bentuk kerja sama tersebut bervariasi, mulai dari lisensi produksi hingga kontrak manufaktur.

“Kami yakin, dengan ekosistem yang tepat, Indonesia bisa mencapai kemandirian sektor alkes,” tambah Masrizal.

Sebagai bagian dari agenda reformasi kebijakan pengadaan barang dan jasa, pemerintah kini diwajibkan untuk membeli produk dengan kandungan TKDN dan Produk Dalam Negeri (PDN). Ketentuan ini tertuang dalam Perpres 46 Tahun 2025, yang mengikat pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, hingga BUMD untuk mengutamakan produk lokal dalam pengadaan mereka.

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, menyatakan bahwa pemerintah tetap konsisten mendukung TKDN, meskipun tekanan dari dinamika perdagangan global terus berlangsung.

“Evaluasi akan dilakukan secara selektif. Tidak dihapus semua. Kita lihat sektornya, lihat komoditasnya,” katanya.

Menurut Anggito, kebijakan TKDN harus menjadi bagian dari strategi yang lebih besar untuk memperkuat konsumsi dalam negeri. Namun ia juga mengingatkan bahwa kebijakan itu perlu dikawal agar tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Saatnya kita dorong reformasi fiskal dan belanja domestik, tanpa mengorbankan stabilitas APBN,” tegasnya.

Dua Emiten Alkes dengan Kinerja Positif di Awal 2025

Industri alat kesehatan nasional menunjukkan geliat positif memasuki tahun 2025. Sejumlah emiten tercatat mampu membukukan pertumbuhan yang menjanjikan di tengah dinamika ekonomi global. Dari sekian banyak, dua nama mencuat berkat kinerja keuangan yang solid dan strategi bisnis yang terukur.

PT Jayamas Medica Industri Tbk (OMED)

PT Jayamas Medica Industri Tbk atau OMED, pemain besar di sektor manufaktur alat kesehatan dalam negeri, melaporkan hasil yang menggembirakan untuk kuartal pertama 2025. Pendapatan perusahaan naik tipis menjadi Rp436,3 miliar, namun yang lebih menonjol adalah lonjakan laba bersih yang mencapai Rp73,1 miliar, tumbuh 15,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Kinerja positif ini tak lepas dari peningkatan volume penjualan, terutama di segmen alat laboratorium dan bioteknologi yang mencatat lonjakan hingga 41 persen, serta produk perawatan luka yang tumbuh 8,6 persen. Selain itu, strategi penyesuaian harga jual terbukti efektif, terlihat dari peningkatan harga rata-rata pada produk furnitur rumah sakit dan alat bantu rehabilitasi.

Margin keuntungan perusahaan juga menunjukkan efisiensi yang membaik. Margin laba kotor pada beberapa lini produk andalan, seperti alat medis sekali pakai dan perawatan luka, tercatat di atas 30 persen. Hal ini mengindikasikan posisi daya tawar perusahaan yang kuat di pasar domestik.

PT Medela Potentia Tbk (MDLA)

Sementara itu, PT Medela Potentia Tbk, emiten yang bergerak di bidang distribusi alat kesehatan, memulai debutnya di Bursa Efek Indonesia dengan target ambisius. Manajemen menargetkan pendapatan lebih dari Rp16 triliun dan laba bersih sekitar Rp370 miliar sepanjang tahun ini. Hal ini menggambarkan ekspektasi pertumbuhan lebih dari 11 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

MDLA menempatkan optimisme mereka pada tren peningkatan kebutuhan alat kesehatan pascapandemi, serta jaringan distribusi yang terus diperkuat untuk menjangkau lebih banyak fasilitas medis di berbagai daerah. Dengan dukungan strategi bisnis yang terstruktur dan ekspansi yang agresif, perusahaan ini diperkirakan akan menjadi salah satu kekuatan baru di sektor alat kesehatan Indonesia.

Pelaku Industri Kena Prank Momentum Ramadan-Lebaran

Industri dalam negeri tengah menghadapi setumpuk tantangan. Mulai dari melemahnya daya beli dan konsumsi masyarakat, kontraksi belanja pemerintah, pelemahan investasi, gejolak perdagangan global, sampai hambatan struktural, seperti regulasi usaha yang rumit.

Ekonom Senior Fithra Faisal menyoroti bahwa perlambatan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 tak hanya dipicu oleh sikap hati-hati konsumen, tetapi juga karena kesalahan perhitungan dari pelaku industri. 

Ia menyebut banyak produsen terjebak dalam ekspektasi berlebihan terhadap lonjakan permintaan jelang Ramadan, yang nyatanya tak terjadi.

"Mereka overbought, karena over expectation bahwa demand-nya Februari menjelang Maret itu akan tinggi. Ternyata banyak yang tidak belanja," kata Fithra dalam siara YouTube, Selasa 13 Mei 2025.

Hal ini kata Fithra menandakan penumpukan stok akibat barang yang tidak terserap pasar. “Artinya mayoritas ekonom dan juga dalam hal ini produsen, itu kecele (ketipu)  terhadap proyeksi demand di kuartal pertama,” tambahnya

Fithra juga menyoroti tren Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur yang sempat menunjukkan optimisme di awal tahun. Pada Januari dan Februari 2025, PMI masih berada di zona ekspansi. 

Bahkan, pada Februari, PMI Manufaktur Indonesia naik ke level 53,6 dari 51,9 di Januari—angka tertinggi dalam 11 bulan terakhir. Meskipun menurun, ekspansi masih berlanjut di Maret dengan angka 52,4. Namun kondisi tersebut berubah drastis di bulan April.

Sebagai informasi, berdasarkan data yang dirilis S&P Global pada Jumat, 2 Mei 2025, PMI manufaktur Indonesia berada di level 46,7. Ini menandakan kontraksi aktivitas manufaktur dan menjadi yang pertama kali sejak November 2024 atau dalam lima bulan terakhir.

"Di bulan April, PMI manufacturing anjlok ke 46. Jadi banyak yang di gudang itu yang nggak kejual," tegas Fithra.

Situasi ini menurut Fithra memperparah tekanan di sektor industri yang sudah dibayangi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan ketidakpastian ekonomi.

"Year-to-date saja sudah 24.000 PHK dari industri, dan mereka takut mungkin bulan depan saya yang di PHK," tambahnya.

Lebih jauh, Fithra juga menyoroti kekhawatiran masyarakat terhadap gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang turut memengaruhi perilaku konsumsi, termasuk keputusan untuk mudik.

Ia mencatat adanya penurunan jumlah pemudik secara signifikan, yakni mencapai 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Menurutnya, angka tersebut menjadi indikator kehati-hatian konsumen dalam membelanjakan uang di tengah ketidakpastian ekonomi.

"Sebagai pemudik saya happy, tapi sebagai ekonom saya khawatir," ucap Fithra.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.