KABARBURSA.COM - Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengumumkan bahwa nilai ekspor industri pengolahan nonmigas mencapai angka yang menggembirakan, yaitu USD125,91 miliar pada periode Januari hingga Agustus 2024. Angka ini berkontribusi sebesar 73,68 persen terhadap total ekspor nasional.
Sektor industri pengolahan nonmigas tidak hanya menjadi tulang punggung ekspor, tetapi juga merupakan kontributor terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Sektor ini mencatatkan pertumbuhan sebesar 16,70 persen, jauh di atas pertumbuhan PDB nasional yang mencapai 4,63 persen.
"Meskipun menghadapi berbagai tantangan global seperti pandemi, krisis ekonomi, dan geopolitik, industri manufaktur Indonesia telah membuktikan ketangguhannya," ujar Agus dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 19 September 2024.
Selain berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi, industri pengolahan nonmigas juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan. Pada triwulan II tahun 2024, sektor ini menyerap investasi sebesar Rp169,18 triliun dan mempekerjakan 18,82 juta orang.
"Indonesia tidak hanya unggul di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga menduduki peringkat ke-12 sebagai negara dengan industri manufaktur terkemuka di dunia pada tahun 2023, mengungguli negara-negara seperti Rusia dan Turki," tambah Agus.
Nilai tambah manufaktur (Manufacturing Value Added/MVA) Indonesia juga terus meningkat, mencapai USD255 miliar pada tahun ini, tumbuh 5,83 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini menunjukkan bahwa industri manufaktur Indonesia semakin produktif dan berdaya saing.
"Kami berkomitmen untuk mengembangkan industri manufaktur yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2050," tegas Agus.
Kebijakan Emisi Transisi Ekonomi Hijau
Kemenperin tengah mempersiapkan kebijakan komprehensif untuk mendorong transisi menuju industri hijau. Kebijakan ini mencakup penetapan Batas Atas Emisi (BAE) dan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang merupakan mekanisme untuk membatasi emisi dan memberikan insentif bagi perusahaan untuk berinvestasi dalam teknologi bersih.
Salah satu kendala utama dalam transisi ke teknologi hijau adalah tingginya biaya investasi awal. Untuk mengatasi hal ini, Kemenperin akan mengembangkan ekosistem hijau yang mendukung perusahaan dalam mengadopsi teknologi berkelanjutan. Salah satu pilar ekosistem ini adalah Green Industry Service Company (GISCO), yang akan berperan sebagai fasilitator dalam hal pendanaan, perancangan, dan implementasi teknologi hijau.
"Pemerintah tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator dalam mendorong industri untuk bertransformasi," ujar Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perindustrian. "Melalui GISCO, kami berharap dapat mempercepat adopsi teknologi hijau di kalangan industri."
Selain kebijakan BAE, NEK, dan GISCO, Kemenperin juga tengah mengembangkan kebijakan lain seperti ekonomi sirkular, Standar Kawasan Industri Berkelanjutan, dan standar untuk Industri Kecil dan Menengah (IKM) hijau. Pengembangan sumber daya manusia yang kompeten di bidang keberlanjutan juga menjadi prioritas.
Melalui serangkaian kebijakan ini, Kemenperin bertujuan menciptakan ekosistem industri hijau yang holistik dan saling mendukung. Ekosistem ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan daya saing industri Indonesia di pasar global, serta berkontribusi pada upaya mitigasi perubahan iklim.
Kemenperin mengapresiasi dukungan dari berbagai pihak, termasuk BSKJI, World Resources Institute (WRI) Indonesia, Institute for Essential Service Reform (IESR), Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, United Nations Office for Project Services (UNOPS), Indonesian Institute for Energy Economics (IIEE), dan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai negara industri hijau.
Targetkan Kurangi Emisi Karbon
Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan. Melalui Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC), pemerintah telah menetapkan target pengurangan emisi karbon sebesar 32 persen atau sekitar 912 juta ton CO2 pada tahun 2030. Sektor energi, sebagai penyumbang emisi terbesar, ditargetkan untuk mengurangi emisi hingga 358 juta ton CO2 pada tahun yang sama.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah strategis. Salah satunya adalah melalui perdagangan karbon di sektor energi. "Indonesia telah menjadi pelopor di kawasan ASEAN dengan memulai perdagangan karbon sejak awal tahun ini," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana. Perdagangan karbon ini diharapkan dapat memberikan insentif bagi perusahaan untuk mengurangi emisi.
Selain itu, pemerintah juga fokus pada pengembangan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS). CCS adalah teknologi yang menangkap karbon dioksida dari sumber emisi dan menyimpannya di bawah tanah, sedangkan CCUS juga memanfaatkan karbon yang ditangkap untuk berbagai keperluan. Saat ini, terdapat 15 proyek CCS/CCUS yang sedang dalam tahap persiapan di Indonesia. "Dengan potensi penyimpanan CO2 mencapai 570 gigaton, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam pengelolaan karbon di kawasan Asia Tenggara," tambah Dadan.
Sebagai bagian dari upaya transisi energi, pemerintah juga tengah mengembangkan industri blue ammonia. Ammonia yang dihasilkan dari hidrogen hijau ini memiliki potensi sebagai bahan bakar bersih untuk berbagai sektor, termasuk industri dan transportasi. Uji coba pemanfaatan ammonia sebagai cofiring di PLTU dan produksi hidrogen di PLTGU Muara Karang merupakan langkah awal yang penting dalam mengembangkan industri ini. (*)