KABARBURSA.COM - Upaya menurunkan tingkat inflasi di Amerika Serikat masih menemui hambatan. Laporan ekonomi yang akan dirilis pada Rabu, 18 Desember 2024 diperkirakan menunjukkan hal demikian. Walau begitu, stagnasi ini diperkirakan tidak akan menghalangi Federal Reserve untuk menurunkan suku bunga acuannya.
Indeks Harga Konsumen (CPI), yang mencakup pengukuran luas terhadap harga barang dan jasa di seluruh perekonomian AS, diprediksi menunjukkan tingkat inflasi tahunan sebesar 2,7 persen untuk bulan November.
Menurut konsensus Dow Jones, angka ini sedikit meningkat sebesar 0,1 poin persentase dibandingkan bulan sebelumnya. Inflasi inti, yang tidak memasukkan komponen makanan dan energi, diperkirakan berada pada level 3,3 persen, tetap stabil dari Oktober. Secara bulanan, kedua ukuran inflasi ini diprediksi naik 0,3 persen.
Dengan target inflasi tahunan Federal Reserve yang ditetapkan pada 2 persen, laporan ini akan memberikan bukti lebih lanjut bahwa biaya hidup yang tinggi masih menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh banyak rumah tangga di Amerika Serikat.
Ekonom senior di Allianz Trade Americas Dan North, menekankan bahwa meskipun inflasi sudah menurun dari puncaknya yang mencapai sekitar 9 persen pada Juni 2022, laju penurunan tersebut belum cukup signifikan untuk memastikan bahwa inflasi sepenuhnya cukup terkendali.
Meski begitu, pasar tampaknya optimistis bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuan sebesar 0,25 persen poin saat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) menyelesaikan pertemuannya pada 18 Desember. Menurut alat ukur FedWatch dari CME Group, probabilitas pemangkasan ini bahkan mencapai 88 persen.
Kenaikan CPI untuk bulan November diperkirakan didorong oleh beberapa sektor utama, salah satunya harga mobil yang naik 2 persen secara bulanan dan tarif penerbangan yang meningkat 1 persen. Selain itu, premi asuransi mobil yang terus merangkak naik diperkirakan ikut terkerek sebesar 0,5 persen pada November, setelah mencatat kenaikan tahunan sebesar 14 persen pada tahun lalu.
Meskipun ada harapan untuk disinflasi di beberapa sektor seperti otomotif, perumahan, dan pasar tenaga kerja pada tahun mendatang, kebijakan tarif yang direncanakan oleh Presiden terpilih Donald Trump diperkirakan dapat menjaga inflasi tetap tinggi hingga 2025.
Goldman Sachs memproyeksikan inflasi inti CPI akan melunak menjadi 2,7 persen pada tahun depan, sementara indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE), yang menjadi indikator utama inflasi The Fed, diperkirakan turun menjadi 2,4 persen dari level saat ini sebesar 2,8 persen.
Di tengah situasi ini, para pelaku pasar memperkirakan The Fed akan melewatkan pertemuan Januari dan mungkin memangkas suku bunga kembali pada Maret. Setelah itu, hanya satu atau dua kali pemangkasan suku bunga lagi yang diantisipasi hingga akhir 2025.
Namun, menurut North, kondisi ini belum cukup ideal untuk memulai siklus penurunan suku bunga, terutama jika tingkat inflasi belum mencapai target 2 persen secara konsisten dan berkelanjutan.
Dengan perekonomian AS yang masih tumbuh sekitar 3 persen dan inflasi yang diproyeksikan tetap berada di atas target, The Fed menghadapi tantangan besar untuk menyeimbangkan antara menjaga stabilitas ekonomi dan menekan biaya hidup masyarakat.
Perdebatan Panas di Fed
Laporan ketenagakerjaan yang dirilis beberapa hari lalu hampir memastikan bahwa Federal Reserve (Fed) akan memangkas suku bunga ketika mereka menggelar rapat bulan ini. Namun, apakah langkah tersebut benar-benar tepat dan apa yang akan dilakukan oleh Fed setelahnya, masih menjadi perdebatan.
Data nonfarm payrolls untuk bulan November menunjukkan hasil yang cukup baik - peningkatan 227.000 pekerjaan - yang memberi Fed ruang untuk mengambil keputusan tersebut. Berdasarkan pengukuran dari CME Group, pasar bereaksi positif dengan probabilitas pemotongan suku bunga yang diperkirakan hampir mencapai 90 persen.
Namun, beberapa ekonom terkemuka menilai bahwa keputusan untuk menurunkan suku bunga saat ini bisa menimbulkan risiko baru, terutama terkait dengan kemungkinan menciptakan gelembung spekulatif.
Kepala Ekonom di SMBC Nikko Securities Joseph LaVorgna, berpendapat bahwa kondisi finansial saat ini sudah sangat longgar dan tidak ada alasan untuk memangkas suku bunga lebih jauh, mengingat situasi lapangan pekerjaan yang masih solid.
Pandangan serupa disuarakan oleh ekonom senior di FWDBONDS Chris Rupkey, yang menilai bahwa ekonomi tidak membutuhkan stimulus lebih lanjut karena lapangan pekerjaan masih banyak dan inflasi belum terkendali sepenuhnya.
Selain itu, inflasi mulai menunjukkan tanda-tanda kenaikan, dengan pengukuran utama inflasi yang dipakai Fed, yaitu Personal Consumption Expenditures (PCE), mencatatkan angka 2,3 persen di bulan Oktober.
Di sisi lain, kenaikan upah juga terus berlanjut, dengan rata-rata kenaikan upah per jam yang saat ini mencapai 4 persen, lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi COVID-19. Ini mengindikasikan bahwa meskipun lapangan pekerjaan masih tersedia, tekanan inflasi masih menjadi masalah yang belum selesai.
Namun, meskipun ada kecemasan tentang inflasi dan kebijakan fiskal Presiden terpilih Donald Trump yang berpotensi memperburuk keadaan dengan tarif yang lebih tinggi, perekonomian secara keseluruhan masih tumbuh dengan solid. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan akan mencapai angka 3,3 persen untuk kuartal keempat tahun ini, yang menunjukkan bahwa ekonomi masih berjalan kuat.
Selain itu, kondisi keuangan secara umum sangat longgar. Banyak indikator yang menunjukkan bahwa kondisi keuangan berada pada tingkat paling longgar sejak Januari lalu. Ini artinya, meskipun Fed menganggap suku bunga saat ini sudah cukup restriktif, pasar justru menganggapnya tidak cukup ketat untuk menahan laju inflasi yang terus mengemuka.
Beberapa anggota Fed, seperti Presiden Cleveland Fed Beth Hammack, menilai bahwa meskipun perekonomian tumbuh dengan baik, mereka membutuhkan lebih banyak bukti bahwa inflasi sudah bergerak dengan meyakinkan menuju target 2 persen.
Hammack menyarankan agar Fed memperlambat laju pemotongan suku bunga. Jika Fed mengikuti rencana pemotongan di bulan Desember, itu akan menjadi penurunan sebesar satu poin persentase sejak September kemarin.
Satu faktor lagi yang bisa mempengaruhi keputusan Fed adalah laporan harga konsumen dan harga produsen yang akan dirilis minggu depan. Laporan ini akan memberikan gambaran lebih lanjut mengenai sejauh mana inflasi bergerak, dan ini bisa menjadi penentu apakah Fed benar-benar akan melanjutkan rencana pemotongan suku bunga pada bulan Desember.
Kunci dari kebijakan yang diambil Fed adalah mencari "tingkat netral" suku bunga, yang tidak terlalu menekan pertumbuhan ekonomi tetapi juga tidak terlalu longgar sehingga inflasi kembali melonjak. Ada indikasi bahwa tingkat netral ini mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi ekonomi sebelumnya.
Meskipun banyak pihak yang skeptis terhadap pemotongan lebih lanjut, pasar masih memperkirakan bahwa Fed kemungkinan akan melanjutkan penurunan suku bunga, setidaknya sekali lagi pada awal 2025, sebelum mengambil jeda untuk mengevaluasi dampaknya terhadap ekonomi dan inflasi.(*)