KABARBURSA.COM - Harga barang dan jasa di Amerika Serikat kembali merangkak naik pada Januari 2025 dan menambah catatan panjang inflasi awal tahun yang bikin peluang pemangkasan suku bunga oleh The Fed makin tipis.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan harga konsumen bulan lalu naik 0,5 persen dibandingkan Desember, kenaikan bulanan terbesar sejak Agustus 2023. Angka ini jauh melampaui ekspektasi ekonom yang memperkirakan kenaikan hanya 0,3 persen.
[caption id="attachment_119879" align="alignnone" width="1179"] Grafik menunjukkan perubahan indeks harga konsumen (CPI) di AS dibandingkan tahun sebelumnya, berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja AS. Inflasi keseluruhan (garis abu-abu) naik 3 persen, sementara inflasi inti—yang tidak memasukkan harga makanan dan energi—lebih tinggi di 3,3 persen (garis ungu). Sumber: U.S. Labor Departemen via WSJ.[/caption]
Kenaikan tersebut mendorong inflasi tahunan naik ke 3 persen pada Januari, lebih tinggi dari 2,9 persen di bulan sebelumnya. Pasar langsung bereaksi: Dow Jones dan S&P 500 anjlok, sementara imbal hasil obligasi melonjak.
“Inflasi sudah berada di kisaran ini cukup lama dan jelas tidak turun secara meyakinkan,” ujar Kepala Ekonom Amerika Utara di Capital Economics, Paul Ashworth, dikutip dari The Wall Street Journal, Kamis, 13 Februari 2025.
Inflasi jadi momok utama dalam pemilu AS November 2024 lalu. Banyak warga Amerika yang muak dengan harga yang terus melambung dan berharap pergantian pemerintahan bisa jadi solusi. Presiden Donald Trump dalam kampanyenya berjanji bakal menekan harga barang.
Namun, ekonom memperingatkan tarif impor yang mulai diterapkan Trump justru bisa memperparah inflasi. Di sisi lain, kubu Trump mengklaim kebijakan deregulasi dan peningkatan produksi energi bisa menekan dampak kenaikan harga barang.
Menurut pendiri Inflation Insights, Omair Sharif, mengatakan kenaikan harga bulan lalu sebagian besar disebabkan oleh harga mobil bekas dan asuransi kendaraan yang melonjak. Harga inti, yang mengabaikan volatilitas harga pangan dan energi, naik 0,4 persen dari Desember—kenaikan terbesar dalam hampir dua tahun. Inflasi inti tahunan kini mencapai 3,3 persen.
Harga telur melonjak lebih dari 15 persen dari bulan sebelumnya, kenaikan bulanan terbesar sejak Juni 2015. Kenaikan ini menyumbang sekitar dua pertiga dari kenaikan harga bahan makanan secara keseluruhan, dipicu oleh wabah flu burung.
[caption id="attachment_119882" align="alignnone" width="600"] Grafik menunjukkan fluktuasi harga selusin telur grade-A di AS sejak 2015 berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja AS. Harga telur mengalami lonjakan signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dengan puncak tertinggi melebihi USD5 per lusin. Sumber: U.S. Labor Departement via WSJ.[/caption]
Laporan terbaru ini cukup bikin kepala pusing karena kenaikan harga bukan lagi disebabkan oleh sektor perumahan dan sewa yang sebelumnya diprediksi bakal melandai. Justru, tekanan inflasi kini menyebar ke berbagai barang dan jasa yang sebelumnya sudah mulai stabil. “Laporan ini menyakitkan di berbagai lini,” kata ekonom di Navy Federal Credit Union, Robert Frick.
Bagi pejabat The Fed yang sempat optimistis dengan tren pelemahan inflasi di paruh kedua 2024, data ini jadi pukulan telak. “Ini pasti bikin mereka gelisah soal seberapa besar tekanan disinflasi yang masih ada, dan apakah kebijakan saat ini cukup untuk membawa inflasi kembali ke target 2 persen,” kata Kepala Ekonom AS di Deutsche Bank, Matthew Luzzetti.
The Fed sendiri menggunakan ukuran inflasi berbeda yang berada di angka 2,6 persen pada Desember. “Kita sudah dekat, tapi belum sampai. Jadi, kami ingin tetap menahan kebijakan moneter ketat untuk sementara,” ujar Ketua The Fed Jerome Powell dalam sidang kongres, tepat setelah laporan inflasi terbaru dirilis.
The Fed Makin Ragu Pangkas Suku Bunga
The Fed memangkas suku bunga tiga kali antara September hingga Desember tahun lalu, total sebesar satu poin persentase, sebelum akhirnya memilih sikap wait-and-see untuk pemangkasan berikutnya. Namun, dengan tren inflasi yang masih membandel, peluang pemangkasan suku bunga tahun ini makin tipis.
Matthew Luzzetti dari Deutsche Bank memperkirakan The Fed tak akan memangkas suku bunga pada 2025. Tarif impor tinggi yang diberlakukan Trump bisa makin mendorong harga barang impor dalam beberapa bulan ke depan, membuat The Fed kian sulit menjinakkan inflasi. Laporan inflasi terbaru justru memperkuat argumen bahwa suku bunga sebaiknya tetap ditahan.
Ia menambahkan, skenario di mana The Fed justru menaikkan suku bunga lagi kemungkinan baru muncul pada semester kedua tahun ini. Itu pun hanya jika inflasi kembali melonjak signifikan dan permintaan tenaga kerja melebihi jumlah pencari kerja.
Sementara itu, terpilihnya Trump sempat memicu optimisme di kalangan dunia usaha. Para eksekutif berharap akan ada pemotongan pajak dan deregulasi yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi. Kepercayaan konsumen juga ikut naik, terutama dari kalangan Republikan—sebutan untuk simpatisan Partai Republik.
Namun, tanda-tanda kekhawatiran mulai muncul akibat kebijakan Trump yang agresif—mulai dari ancaman tarif impor, razia imigrasi besar-besaran, hingga sederet perintah eksekutif. Survei bisnis kecil yang dilakukan Vistage Worldwide untuk The Wall Street Journal menunjukkan lonjakan kepercayaan pascapemilu langsung berbalik turun pada Februari.
Dalam unggahan di media sosialnya pada Rabu, 13 Februari 2025, sebelum laporan inflasi dirilis, Trump kembali mendesak The Fed untuk menurunkan suku bunga. Namun, beberapa penasihat ekonominya justru mengambil sikap berbeda. Hal ini menunjukkan The Fed harus benar-benar memastikan inflasi terkendali sebelum memangkas suku bunga.
Trump baru-baru ini menaikkan tarif impor tambahan 10 persen untuk barang-barang dari China. Omair Sharif dari Inflation Insights memperkirakan kebijakan ini akan mulai berdampak pada harga konsumen sekitar Maret atau April mendatang. Ia mencontohkan kejadian pada 2018, saat Trump memberlakukan tarif 20 persen untuk mesin cuci impor. Dalam waktu tiga bulan, harga mesin cuci melonjak 18,2 persen—hampir setara dengan besaran tarifnya.
Banyak perusahaan biasanya menyesuaikan harga di awal tahun untuk mencerminkan kenaikan biaya produksi di tahun sebelumnya. Fenomena ini sudah terjadi dalam tiga tahun terakhir sejak inflasi mulai meroket pada 2021.
[caption id="attachment_119886" align="alignnone" width="600"] Grafik menunjukkan perubahan tahunan indeks harga konsumen (CPI) dibandingkan dengan kenaikan upah per jam dan mingguan di AS sejak 2022. Meskipun inflasi telah melambat dari puncaknya di atas 8 persen, kenaikan gaji belum sepenuhnya mengimbangi lonjakan harga barang dan jasa. Sumber: U.S. Labor Departement via WSJ.[/caption]
“Setiap awal tahun selalu dimulai dengan kenaikan harga yang cukup besar, dan itu membuat sisa bulan dalam setahun semakin sulit untuk menurunkan inflasi,” ujar Sharif.
Presiden The Fed Dallas, Lorie Logan, dalam pidatonya pekan lalu menegaskan lonjakan harga di awal tahun bisa menjadi sinyal bahwa kebijakan moneter masih perlu bekerja lebih keras. Jika harga terus naik, peluang pemangkasan suku bunga makin jauh dari kenyataan.(*)