Logo
>

Inflasi Masih Terkendali: Waspadai Risiko dari Pelemahan Rupiah

Kondisi pelemahan rupiah bukan lagi sekadar proyeksi, tetapi sudah terlihat dari posisi nilai tukar saat ini.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Inflasi Masih Terkendali: Waspadai Risiko dari Pelemahan Rupiah
Kawasan perkantoran Sudirman, Jakarta Selatan. Foto: KabarBursa.com/Abbas

Poin Penting :

KABARBURSA.COM – Asumsi pelemahan nilai tukar rupiah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEMPPKF) 2026 dinilai bisa memicu kenaikan harga barang impor dan memperbesar tekanan inflasi.

Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai apabila asumsi nilai tukar tersebut benar-benar terjadi, maka dampaknya terhadap perekonomian domestik akan cukup signifikan, khususnya pada daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.

“Dampaknya terhadap daya beli cukup nyata, karena rumah tangga kelas bawah paling rentan terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok,” ujar Syafruddin kepada KabarBursa.com, Rabu 21 Mei 2025.

Menurut Syafruddin, kondisi pelemahan rupiah bukan lagi sekadar proyeksi, tetapi sudah terlihat dari posisi nilai tukar saat ini. Ia mencatat, nilai tukar rupiah saat ini sudah jauh terdepresiasi dibandingkan posisi pada 2023 yang masih berada di level Rp15.281 per dolar AS.

Sebagai catatan, pada perdagangan Rabu 21 Mei 2025, rupiah dibuka menguat tipis ke posisi Rp16.405 per dolar Amerika Serikat (AS), namun masih dalam rentang depresiasi secara tahunan.

Ia menegaskan bahwa strategi pemerintah dalam menjaga pasokan pangan dan memperkuat rantai distribusi akan sangat menentukan arah inflasi. Apabila intervensi tidak dilakukan secara serius, tekanan harga bisa cepat menjalar ke masyarakat luas.

“Kenaikan inflasi akan semakin rentan jika tidak ada stok nasional pangan yang solid maupun strategi stabilisasi energi yang konkret,” tegasnya

Inflasi Bisa Keluar Jalur

Adapun pemerintah mematok asumsi inflasi pada kisaran 1,5 persen hingga 3,5 persen — angka yang disebut Syafruddin masih moderat dan sejalan dengan target Bank Indonesia. 

Namun ia memberi catatan tebal: angka itu sangat bergantung pada keberhasilan pengendalian pangan, energi, dan nilai tukar. “Tanpa kebijakan stok pangan nasional dan stabilisasi harga energi yang andal, inflasi berisiko menembus batas atas target,” tambahnya. 

Ia menyebut tekanan dari sisi permintaan akan meningkat seiring program belanja sosial, sementara sisi suplai akan terganggu oleh iklim ekstrem dan gejolak logistik global. Artinya, jika salah satu sisi goyah, inflasi bisa melebar tak terkendali.

Untuk diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyatakan bahwa laju inflasi Indonesia sejauh ini tetap dalam batas aman. Bahkan, dibandingkan negara-negara lain, stabilitas harga di Tanah Air masih tergolong terjaga, terutama pada saat dunia mengalami tekanan harga pangan global.

Ia mengacu pada data inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan April 2025 yang mencatat level 1,95 persen secara tahunan (year-on-year). Sementara itu, inflasi inti berada di level 2,5 persen, yang menurutnya menunjukkan daya beli masyarakat masih cukup kuat untuk menopang konsumsi.

Adapun inflasi untuk kelompok volatile food tercatat di angka 0,64 persen, sedangkan harga yang diatur pemerintah (administered price) naik 1,25 persen. Menurut Sri Mulyani, pencapaian ini tidak lepas dari koordinasi erat antara pemerintah pusat, daerah, dan Bank Indonesia dalam mengendalikan harga.

"Ke depan, inflasi diperkirakan tetap terkendali dalam rentang sasaran 2,5 plus minus 1 persen pada 2026, merupakan level yang ideal baik dari sisi konsumsi maupun produksi," ujarnya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.