KABARBURSA.COM - Inflasi Indonesia meningkat secara bulanan pada November 2024, terutama didorong oleh kenaikan harga makanan, minuman, dan tembakau. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan ini mencapai 0,30 persen, naik dari 0,08 persen pada Oktober 2024. Indeks IHK tercatat naik dari 106,01 pada Oktober menjadi 106,33 pada November 2024.
Pelaksana tugas Kepala BPS Amalia A. Widyasanti menyebut inflasi November ini lebih tinggi dibandingkan Oktober namun tetap lebih rendah dibandingkan November tahun lalu. Kontributor terbesar inflasi bulan ini adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang mencatat kenaikan 0,78 persen dengan andil 0,22 persen terhadap inflasi.
Komoditas utama penyumbang inflasi adalah bawang merah dan tomat, masing-masing memberi andil 0,10 persen. Selain itu, emas dan perhiasan menyumbang 0,04 persen, sedangkan daging ayam ras dan minyak goreng masing-masing memberikan andil inflasi 0,03 persen.
Komoditas lain yang turut memengaruhi inflasi adalah bawang putih, ikan segar, sigaret kretek mesin, tarif angkutan udara, dan kopi bubuk, masing-masing menyumbang 0,01 persen.
Inflasi Tahunan Menurun
Secara tahunan, inflasi pada November 2024 tercatat turun menjadi 1,55 persen dari 1,71 persen pada Oktober. Tingkat inflasi ini mendekati batas bawah target yang ditetapkan pemerintah.
Inflasi inti pada November naik 0,17 persen dengan andil 0,11 persen. Komoditas yang dominan menyumbang inflasi inti adalah emas, perhiasan, minyak goreng, dan kopi bubuk. Komponen harga yang diatur pemerintah mencatat inflasi sebesar 0,12 persen dengan andil 0,02 persen, didorong oleh kenaikan tarif sigaret kretek mesin dan angkutan udara.
Komponen bergejolak mencatat inflasi 1,07 persen dengan andil 0,17 persen. Bawang merah, tomat, daging ayam ras, bawang putih, dan ikan segar menjadi penyumbang utama inflasi bergejolak.
Proyeksi Ekonom
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memproyeksikan inflasi IHK bulanan mencapai 0,30 persen pada November, naik dari 0,08 persen pada Oktober. Lonjakan ini disebabkan peningkatan permintaan musiman menjelang akhir tahun, terutama karena liburan Natal dan tahun baru.
Harga pangan, yang sebelumnya turun saat musim panen, kembali meningkat. Indeks harga bergejolak diproyeksikan mencatat inflasi bulanan sebesar 0,95 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan deflasi 0,11 persen pada Oktober. Kenaikan harga bawang merah, daging ayam, dan minyak goreng menjadi pendorong utama.
Indeks harga yang diatur pemerintah juga diperkirakan mencatat inflasi bulanan 0,12 persen, berbalik dari deflasi 0,25 persen pada Oktober. Kenaikan harga bahan bakar nonsubsidi menjadi faktor utama.
Inflasi inti diproyeksikan stabil pada 0,20 persen, sedikit lebih rendah dari 0,22 persen pada Oktober, didukung pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan harga emas.
“Inflasi kumulatif Januari-November 2024 diperkirakan mencapai 1,12 persen, jauh lebih rendah dibandingkan 2,35 persen pada periode yang sama tahun lalu,” kata Josua.
Secara tahunan, inflasi diperkirakan turun ke 1,55 persen pada November dari 1,71 persen pada Oktober. Sebaliknya, inflasi inti tahunan diproyeksikan naik tipis menjadi 2,26 persen dari 2,21 persen pada bulan sebelumnya. Indeks harga yang diatur pemerintah diperkirakan mencatat inflasi 0,92 persen secara tahunan, sedangkan indeks harga bergejolak diproyeksikan mengalami deflasi 0,61 persen.
Inflasi Oktober 0,08 Persen
Inflasi Indonesia pada Oktober 2024 tercatat sebesar 0,08 persen secara bulanan, mengakhiri tren deflasi yang terjadi sejak Mei 2024. Indeks Harga Konsumen (IHK) meningkat dari 105,93 pada September menjadi 106,01 pada Oktober 2024.
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyebutkan kelompok pengeluaran terbesar penyumbang inflasi adalah perawatan pribadi dan jasa lainnya. Kelompok ini mencatat inflasi 0,94 persen dan memberikan andil inflasi 0,06 persen. Emas perhiasan menjadi kontributor utama dengan andil 0,06 persen.
Komoditas lain yang turut mendorong inflasi adalah daging ayam ras (0,04 persen), bawang merah (0,03 persen), serta tomat dan nasi dengan lauk masing-masing sebesar 0,02 persen. Kopi bubuk, minyak goreng, sigaret kretek mesin, dan telur ayam ras juga menyumbang inflasi, masing-masing sebesar 0,01 persen. Dari sembilan komoditas tersebut, tujuh termasuk dalam kelompok makanan, minuman, dan tembakau.
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau kembali mengalami inflasi sebesar 0,03 persen setelah sebelumnya mengalami deflasi sejak April 2024. Komoditas seperti bawang merah, daging ayam ras, dan telur ayam ras yang sebelumnya menjadi penyumbang utama deflasi kini mencatat inflasi.
Amalia menjelaskan, kenaikan harga emas perhiasan sebagai pendorong utama inflasi dipengaruhi tren kenaikan harga emas di pasar internasional. Fenomena ini tercermin pada harga emas perhiasan dalam negeri. Emas perhiasan, yang sempat mencatat deflasi lima kali di tahun 2022 dan tiga kali di tahun 2023, terus mengalami inflasi sejak September 2023 hingga Oktober 2024.
Kelompok transportasi justru mencatat deflasi 0,52 persen dengan andil deflasi 0,06 persen pada Oktober 2024. Penurunan harga bensin dan tarif angkutan udara menjadi pendorong utama, masing-masing memberikan andil deflasi 0,06 persen dan 0,01 persen.
Deflasi bensin telah berlangsung selama dua bulan berturut-turut, seiring penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi oleh Pertamina yang mengikuti tren penurunan harga minyak global.
Inflasi Oktober 2024 juga didorong oleh komponen inti yang mencatat inflasi sebesar 0,22 persen dengan andil 0,14 persen. Emas perhiasan, nasi dengan lauk, kopi bubuk, dan minyak goreng menjadi kontributor utama.
Komponen harga yang diatur pemerintah mencatat deflasi 0,25 persen dengan andil deflasi 0,05 persen. Penurunan harga bensin dan tarif angkutan udara menjadi penyebab utama.
Komponen harga bergejolak juga mencatat deflasi sebesar 0,11 persen, menandai tujuh bulan berturut-turut deflasi. Meski demikian, tekanan deflasi pada Oktober mulai berkurang. Cabai merah, cabai rawit, kentang, dan ikan segar menjadi komoditas utama penyumbang deflasi pada kelompok ini.
Sebanyak 28 dari 38 provinsi di Indonesia mencatat inflasi, sementara 10 provinsi lainnya mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Maluku dengan angka 0,65 persen, sedangkan deflasi terdalam tercatat di Maluku Utara sebesar 1,05 persen.
“Emas perhiasan menjadi pendorong inflasi utama, sementara harga BBM dan tarif angkutan udara menekan kelompok transportasi,” kata Amalia.(*)