KABARBURSA.COM – Kepercayaan investor terhadap Danantara mengalami penurunan seiring dengan munculnya pertanyaan terkait kredibilitas pengelolanya. Minimnya transparansi dan profesionalisme menjadi faktor utama yang membuat pasar ragu untuk menaruh kepercayaan penuh pada entitas ini.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Bakhrul Fikri, menyoroti bahwa pasar hanya akan memberikan kepercayaan jika suatu lembaga investasi dikelola secara kredibel dan profesional.
"Gimana caranya pasar bisa trust ke Danantara kalau pengelolanya saja masih dipertanyakan? Struktur pengelolanya harus kredibel agar investor merasa aman," ujar Bakhrul kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Rabu, 2 April 2025.
Menurutnya, pasar modal memiliki karakteristik yang tegas dan transparan. Pelaku pasar tidak sekadar melakukan jual-beli aset, tetapi juga menganalisis secara mendalam sebelum memutuskan investasi.
"Market itu clean and clear. Bahkan, pasar sangat kejam dan realistis. Kalau ada indikasi bahwa sebuah investasi berpotensi buruk, pelaku pasar akan cepat menyadarinya dan mengambil keputusan," jelasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa tanpa tata kelola yang baik, Danantara berisiko kehilangan kepercayaan dari investor. Jika masalah transparansi dan kredibilitas tidak segera dibenahi, pelemahan kepercayaan ini dikhawatirkan akan semakin dalam.
Sorotan Bakhrul sejalan dengan pandangan Amin Ak, Anggota Komisi VI DPR RI, yang menyoroti potensi celah dalam pengawasan publik terhadap BUMN yang kini berada di bawah pengelolaan Danantara. Ia mengingatkan bahwa penguatan transparansi dan akuntabilitas sangat penting untuk memastikan tata kelola yang sehat dan bebas dari penyalahgunaan kewenangan.
“Ada potensi celah dalam pengawasan, terutama jika transparansi tidak diperkuat. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, ada kekhawatiran bahwa potensi penyalahgunaan wewenang bisa meningkat, bahkan berujung pada praktik korupsi,” ujar Amin kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Sabtu, 29 Maret 2025.
Amin mengingatkan bahwa meskipun prinsip business judgment rule memberikan keleluasaan bagi manajemen BUMN dalam pengambilan keputusan bisnis, aturan ini bisa menjadi celah bagi penyalahgunaan wewenang jika tidak diawasi dengan baik. Untuk itu, ia menekankan pentingnya pengawasan yang lebih ketat, termasuk audit yang transparan dan independen serta evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi VI DPR.
“DPR akan memastikan mekanisme pengawasan terhadap Danantara tetap berjalan optimal,” ujar Amin. Pengawasan yang efektif, menurutnya, sangat penting untuk mencegah potensi penyalahgunaan dan memastikan bahwa kebijakan pengelolaan BUMN dapat berpihak pada kepentingan nasional.
Sebagai bagian dari upaya ini, Amin juga menekankan perlunya keterlibatan publik dalam pengawasan kebijakan Danantara agar transparansi dan akuntabilitas tetap terjaga. Dengan pengawasan yang ketat dari DPR serta partisipasi aktif masyarakat, diharapkan tata kelola BUMN dapat semakin terjamin dan memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional.
BUMN Masuk Danantara: Privatisasi?
Selain persoalan kredibilitas, masuknya BUMN ke dalam Danantara juga menuai polemik. Ekonom Yanuar Rizky menyoroti implikasi dari Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2025, khususnya Pasal 3X ayat 1 yang menyebutkan bahwa organ dan pegawai Danantara bukan merupakan penyelenggara negara.
Menurutnya, ketentuan ini membuka peluang bagi privatisasi penuh BUMN yang masuk ke dalam Danantara, menjadikannya entitas swasta yang tidak lagi berstatus sebagai bagian dari negara.
“Dengan masuknya seluruh BUMN ke Danantara dengan dalih leverage untuk mengundang investor asing, sama artinya dengan privatisasi BUMN 100 persen. Ini karena Danantara hakikatnya diperlakukan sebagai entitas swasta,” ujar Yanuar kepada KabarBursa.com, Senin, 31 Maret 2025.
Yanuar membandingkan model Danantara dengan State-owned Assets Supervision and Administration Commission (SASAC) di China. Meski seluruh BUMN China berada di bawah SASAC, badan tersebut tetap berstatus sebagai penyelenggara negara, berbeda dengan Danantara yang justru dipisahkan dari struktur negara.
“China membuat Sovereign Wealth Fund (SWF) yang terpisah dari SASAC. China Investment Corporation (CIC) dibentuk pada 2008 dari surplus laba moneter bank sentralnya, yang berasal dari keuntungan valuta asing akibat krisis Wall Street 2008,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yanuar mempertanyakan alasan di balik keputusan pemerintah yang secara tegas mendefinisikan Danantara sebagai entitas di luar penyelenggara negara.
“Kalau kita, idenya dari mana untuk dengan tegas menyatakan bukan penyelenggara negara, padahal mengendalikan harta negara?” tanyanya.
Ia menilai bahwa kebijakan ini justru melemahkan negara, bukan memperkuatnya. Sebagai perbandingan, model pengelolaan BUMN di China melalui SASAC atau di Malaysia dengan Petronas dan Khazanah tetap memiliki keterkaitan erat dengan keuangan negara.
“Kita malah pelemahan negara, yang nggak ada hubungan lagi ke keuangan negara. Jadi inbreng sama dengan hibah ke Danantara, bukan pemindahan antar lembaga negara. Ini bukan semata menghindari KPK dan BPK, tetapi sudah menyentuh aspek filosofi dalam konstitusi soal aset negara,” tegasnya.
Dengan ketidakpastian mengenai status dan pengelolaan Danantara, investor menjadi semakin ragu untuk berpartisipasi dalam skema investasi ini. Jika kejelasan regulasi dan transparansi tidak segera ditingkatkan, kepercayaan pasar terhadap Danantara berpotensi merosot lebih dalam. (
Ini yang bikin Kepercayaan Investor ke Danantara Merosot
Kepercayaan investor terhadap Danantara mengalami penurunan seiring dengan munculnya pertanyaan terkait kredibilitas pengelolanya
Ditulis oleh
Dian Finka
•
