Logo
>

Investasi AI Google Dongkrak Kepercayaan Pasar

Laporan keuangan Alphabet kuartal I 2025 bikin pasar lega. Investasi AI tetap digenjot, saham naik, dan iklan digital masih jadi mesin utama pendapatan Google.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Investasi AI Google Dongkrak Kepercayaan Pasar
Laporan keuangan Alphabet kuartal I 2025 bikin pasar lega. Investasi AI tetap digenjot, saham naik, dan iklan digital masih jadi mesin utama pendapatan Google. Gambar oleh AI untuk KabarBursa.com.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Induk usaha Google, Alphabet, bikin napas investor teknologi kembali lega. Lewat laporan keuangan kuartal pertama 2025, perusahaan ini menegaskan bahwa investasi besar-besaran mereka di bidang kecerdasan buatan (AI) bukan cuma strategi jangka panjang, tapi juga mulai berbuah manis—khususnya di lini bisnis andalan mereka: iklan digital.

    Dilansir dari Reuters di Jakarta, Jumat, 25 April 2025, Pendapatan dan laba Alphabet berhasil melampaui ekspektasi analis. Tak cuma itu, perusahaan juga mengumumkan rencana pembelian kembali saham (buyback) senilai USD70 miliar (sekitar Rp1.168 triliun), yang langsung bikin sahamnya melonjak 4 persen setelah bursa tutup. Kapitalisasi pasarnya pun ikut naik sekitar USD75 miliar (Rp1.252 triliun).

    Alphabet juga tetap yakin dengan arah investasinya. Perusahaan menegaskan kembali target belanja modal (capex) tahun ini sebesar USD75 miliar (Rp1.252 triliun), memberi sinyal positif bagi investor raksasa teknologi lainnya seperti Meta dan Amazon, yang sahamnya ikut menguat di perdagangan after-market.

    Namun di sisi lain, ada kekhawatiran yang mengintai. Kebijakan tarif impor dari Presiden Donald Trump bikin pelaku pasar waswas terhadap potensi perlambatan ekonomi global. Banyak perusahaan mempertimbangkan ulang belanja iklannya. Biaya logistik dan produksi juga naik gara-gara perang tarif antara AS dan Tiongkok, yang bisa berdampak ke investasi infrastruktur AI yang mahal.

    Meski begitu, perusahaan-perusahaan teknologi besar tetap bersikukuh. Mereka menganggap belanja besar-besaran di sektor AI adalah keharusan untuk bertahan di puncak persaingan. Tapi beberapa analis mencium sinyal dini: komitmen pembangunan pusat data (data center) baru mulai melambat.

    “Ada narasi yang berkembang di pasar bahwa belanja infrastruktur sudah mencapai puncaknya, dan itu pertanda gelembung AI mulai kempes. Tapi yang disampaikan Google hari ini justru sebaliknya,” kata Will Rhind, CEO GraniteShares, penerbit ETF global.

    Dari sisi pendapatan, lini bisnis iklan—yang menyumbang hampir tiga perempat total pendapatan Alphabet—naik 8,5 persen jadi USD66,89 miliar (sekitar Rp1.117 triliun). Angka ini memang sedikit melambat dibanding kuartal sebelumnya yang tumbuh 10,6 persen, tapi masih lebih tinggi dari ekspektasi pasar yang memperkirakan hanya naik 7,7 persen.

    Meski tampil solid, Chief Business Officer Google, Philipp Schindler, tetap mengingatkan bahwa perusahaan tidak kebal terhadap ketidakpastian ekonomi global.

    Ia menyinggung kebijakan Trump yang menghapus aturan de minimis—sebuah celah bea masuk yang selama ini memungkinkan paket kecil dari Tiongkok dan Hong Kong masuk ke AS tanpa pajak. “Perubahan aturan ini jelas akan jadi angin sakal kecil bagi bisnis iklan kami di 2025, terutama dari pengecer asal Asia Pasifik,” ujar Schindler.

    Data industri juga menunjukkan bahwa pemain besar iklan digital seperti Temu dan Shein mulai memangkas anggaran iklannya di AS secara drastis. Langkah itu berpotensi menggerus pendapatan iklan Google dan Meta, yang selama ini mengandalkan belanja dari e-commerce China.

    Pendapatan Mesin Pencari Masih Ngebut

    Salah satu senjata utama Google dalam mempertahankan dominasinya di dunia iklan digital adalah integrasi kecerdasan buatan (AI) ke dalam mesin pencarinya. AI bikin iklan jadi lebih presisi dan efisien—iklan nyasar lebih tepat, pengiklan pun lebih puas karena nilai per dolarnya terasa.

    CEO Sundar Pichai menyebut fitur AI Overviews, yakni ringkasan jawaban yang muncul di atas hyperlink biasa, kini digunakan oleh 1,5 miliar pengguna tiap bulan. Google juga telah menambahkan mode pencarian khusus AI-only sejak Maret lalu.

    Analis Edward Jones, David Heger, bilang: “Pendapatan dari search engine masih tumbuh kuat, meski ada kekhawatiran soal platform AI generatif seperti ChatGPT yang disebut-sebut bakal menggerus bisnis search.”

    Di sisi lain, Google Cloud mencatat pertumbuhan pendapatan sebesar 28 persen menjadi USD12,26 miliar (sekitar Rp204,7 triliun)—sedikit melambat dibanding kuartal sebelumnya yang tumbuh 30,1 persen. Meski begitu, angka ini cuma tipis di bawah ekspektasi analis yang memproyeksikan USD12,27 miliar.

    Secara keseluruhan, Alphabet membukukan pendapatan total USD90,23 miliar (sekitar Rp1.506 triliun) untuk kuartal pertama 2025. Angka ini lebih tinggi dari konsensus analis yang memperkirakan USD89,12 miliar.

    Untuk laba, Alphabet mencetak USD2,81 per saham (Rp46.927), jauh di atas ekspektasi analis yang hanya mematok USD2,01 per saham. Perusahaan juga mengumumkan akan menaikkan dividen kuartalan sebesar 5 persen menjadi 21 sen per saham (sekitar Rp3.510).

    Satu hal yang juga jadi sorotan: belanja modal (capex) mereka. Alphabet menggelontorkan USD17,2 miliar (sekitar Rp287,2 triliun) untuk capex sepanjang kuartal ini—naik 43 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

    Efek Domino Investasi AI Google: Investor Lokal Diuntungkan, Emiten Tertantang

    Kinerja solid Alphabet dan keyakinannya untuk terus menggelontorkan dana jumbo ke sektor AI tak hanya mengangkat indeks Nasdaq atau saham-saham teknologi global. Di luar itu, ada efek domino yang nantinya bisa terasa hingga ke Indonesia, baik bagi investor pasar modal maupun perusahaan-perusahaan teknologi lokal yang kini menghadapi standar baru dalam transformasi digital.

    Di kalangan investor, sinyal paling kuat datang dari kepercayaan pasar yang mulai pulih terhadap sektor teknologi, setelah sempat ragu bahwa ledakan AI hanyalah gelembung sementara. Ketika Google—perusahaan teknologi paling konservatif dalam pengumuman belanja—memastikan capex senilai USD75 miliar (Rp1.252 triliun) tetap jalan, pasar membaca itu sebagai komitmen jangka panjang terhadap monetisasi AI, terutama di lini bisnis utama mereka, yakni periklanan dan layanan pencarian.

    Bagi investor lokal, sentimen ini bisa menular ke pasar domestik. Saham-saham teknologi yang masuk dalam indeks IDX Techno seperti PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK), PT Metrodata Elektronics Tbk (MTDL), PT Indointernet Tbk (EDGE) hingga PT DCI Indonesia Tbk (DCII) berpotensi memperoleh limpahan sentimen positif, meskipun dari sisi fundamental belum semua mampu menunjukkan kesiapan AI yang konkret. Namun dalam pasar yang sering bergerak berdasarkan narasi, keyakinan bahwa AI adalah masa depan sudah cukup untuk menggerakkan modal jangka pendek.

    Di sektor manajer investasi, laporan Alphabet ini juga bisa jadi pemicu untuk menata ulang bobot portofolio mereka. Reksadana saham berbasis sektor teknologi atau global equity fund yang memiliki eksposur ke perusahaan-perusahaan seperti Alphabet, Meta, dan Amazon kemungkinan akan mengalami net inflow jika tren optimisme ini berlanjut. Ini menjadi catatan penting bagi investor ritel di Indonesia yang ikut berinvestasi lewat reksadana atau ETF luar negeri.

    Sementara itu, di sisi emiten lokal, tantangannya tidak kalah besar. Ketika perusahaan seperti Google berhasil mengintegrasikan AI ke dalam mesin pencari, cloud computing, dan layanan periklanannya, perusahaan teknologi Indonesia akan dihadapkan pada ekspektasi yang sama—meski dengan kapasitas yang sangat berbeda. Investor tidak hanya mencari emiten yang menjual mimpi digital, tetapi juga mampu menunjukan kesiapan infrastruktur dan roadmap yang jelas dalam mengadopsi AI, baik untuk efisiensi internal maupun inovasi produk.

    TLKM, DCII dan EDGE menjadi tiga emiten yang paling mungkin mendapat angin positif dari narasi ini, karena keduanya sudah bermain di bisnis pusat data (data center). Jika pertumbuhan cloud seperti yang dicatat Google Cloud (28 persen YoY) terus berlanjut secara global, permintaan infrastruktur lokal di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diperkirakan akan meningkat. Di sinilah peluang terbuka lebar bagi pemain infrastruktur digital untuk menyerap limpahan permintaan dan menjalin kemitraan strategis dengan raksasa teknologi global.

    Namun di luar itu, mayoritas emiten teknologi Indonesia masih berkutat pada isu-isu fundamental, antara lain arus kas, margin tipis, dan skala pengguna. Jika narasi AI terus mendominasi peta kompetisi teknologi global, maka mereka harus bergegas melakukan rekalibrasi arah bisnisnya. Tanpa kesiapan adopsi teknologi atau dukungan talenta digital, banyak perusahaan akan sulit bersaing dalam ekosistem baru yang makin didorong oleh data, machine learning, dan otomatisasi.

    Dalam hal ini, teori spillover effect atau efek rambatan ekonomi sangat relevan. Keputusan korporasi global untuk investasi besar-besaran di satu sektor akan menciptakan getaran ke seluruh dunia, termasuk negara berkembang seperti Indonesia. Jika perusahaan lokal gagal menangkap momentum ini sebagai peluang inovasi dan restrukturisasi, maka mereka hanya akan menjadi penonton dalam panggung transisi digital.

    Bagi investor, berita baik dari Alphabet adalah pengingat bahwa teknologi bukan sekadar cerita spekulatif. Di tangan perusahaan dengan strategi dan fondasi kuat, AI bukan hanya tren, tapi bisa menjadi motor profit. Namun bagi emiten, kabar ini adalah cermin bahwa standar global makin tinggi dan waktu untuk ikut dalam perlombaan tidak lagi banyak.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).