KABARBURSA.COM - Dalam tiga tahun terakhir, minat investor terhadap eksplorasi minyak dan gas (migas) di Indonesia terus meningkat. Hal tersebut terungkap dalam Indonesia Exploration Forum (IEF) bertema "Framing the Future of Indonesia’s Oil and Gas: Massive Exploration for Indonesia Energy Security.”, Senin, 14 Oktober 2024. Pemerintah menyatakan minat investor untuk berinvestasi di sektor eksplorasi migas semakin tinggi dalam kurun waktu tersebut.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ariana Soemanto, yang menjadi narasumber pada diskusi panel IEF, mengungkapkan selama tiga tahun terakhir, terdapat 23 kontrak migas baru yang ditandatangani, termasuk dua kontrak yang disepakati hari ini, yaitu blok Amanah dan Melati. "Saat ini, ada cadangan eksplorasi sekitar Rp4,3 triliun dan Rp11 triliun untuk pengembangan," kata Ariana, dikutip dari siaran pers Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas, Senin, 14 Oktober 2024.
Ariana menambahkan, fokus eksplorasi ke depan akan diarahkan ke wilayah timur Indonesia, yaitu di lima area: Buton, Timor, Seram, Aru, dan Papua. Sedangkan di wilayah barat, fokus akan berada di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur. "Di wilayah timur, sudah ada sekitar lima studi bersama (joint study), dan satu di antaranya telah menjadi blok migas baru. Sementara di wilayah barat, satu blok sudah mulai mengarah ke joint study," jelasnya.
Secara keseluruhan, ada 34 joint study yang tersebar dari Barat hingga Timur Indonesia berkat adanya Tim Kepmen Eksplorasi. Ariana juga memaparkan berbagai upaya pemerintah untuk mempercepat eksplorasi hulu migas, termasuk fleksibilitas dalam skema Production Sharing Contract (PSC), bagi hasil (split) hingga 50 persen, garansi bank yang lebih murah, serta penawaran langsung tanpa joint study. Pemerintah, kata dia, memberikan perubahan komitmen eksplorasi ke area terbuka, perpanjangan periode eksplorasi, dan tambahan waktu setelah Plan of Development (POD) tahap pertama.
Deputi Eksplorasi, Pengembangan, dan Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas, Benny Lubiantara, mengatakan eksplorasi yang lebih masif memerlukan dukungan regulasi yang lebih kuat. Menurutnya, banyak proyek yang ada di rencana jangka panjang (LTP) tidak ekonomis, sehingga diperlukan payung hukum yang lebih jelas, seperti penyelesaian RUU Migas.
“Industri hulu migas butuh terobosan agar ada split yang lebih baik. Kalau ada kegiatan di area terbuka, kenapa tidak diberikan kemudahan?,” ujarnya.
Benny menjelaskan tantangan terbesar dalam mempercepat penemuan hingga produksi migas adalah faktor nonteknis. "Dari sisi teknis, banyak hal bisa dipercepat, seperti penyelesaian POD yang hanya memakan waktu beberapa bulan. Namun, faktor nonteknis seperti perizinan, amdal, dan pengadaan sering kali memperlambat proyek," kata Benny.
Menurutnya, proyek yang sudah disetujui POD-nya sering mengalami keterlambatan karena masalah perizinan, yang pada akhirnya menghambat pencapaian target LTP.
Sementara itu, Direktur Eksplorasi Pertamina Hulu Energi, Muharram Jaya Panguriseng, menyatakan Pertamina terus meningkatkan eksplorasi migas secara agresif. Dia menegaskan kontribusi dari eksplorasi tetap menjadi faktor utama dalam peningkatan produksi. "Pertamina telah meningkatkan target penemuan migas. Untuk lokasi yang masuk kategori mature, dari statistik 10 tahun terakhir, hanya sekitar 10 MMBOE, tetapi dalam dua tahun terakhir, PHE telah meningkatkannya menjadi 15 MMBOE di tahun ini," jelas Muharram.
Muharram menambahkan, Pertamina menerapkan strategi bertumbuh dengan melakukan eksplorasi di wilayah-wilayah frontier yang potensial, seperti Sulawesi. "Saat ini, Pertamina agresif di wilayah kerja baru dan akan terus melakukan eksplorasi di area-area frontier lainnya yang memiliki potensi besar," katanya.
Regulasi Penarik Investasi
Meningkatnya minat eksplorasi migas di Indonesia dalam tiga tahun terakhir sejalan dengan upaya pemerintah untuk terus mendorong investasi di sektor ini. Pemerintah tidak hanya menawarkan insentif dalam bentuk fleksibilitas kontrak dan garansi, tetapi juga memperkuat regulasi untuk menjamin kepastian bagi investor. Salah satu langkah strategis yang diambil adalah penerbitan aturan baru mengenai kontrak bagi hasil di sektor migas, yang bertujuan untuk menarik lebih banyak investasi dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum lama ini merilis regulasi baru perihal kontrak bagi hasil migas demi menciptakan iklim investasi yang lebih kompetitif dan adil bagi para kontraktor. Regulasi terbaru ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, Permen ini menggantikan Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Selain itu, ditetapkan pula Kepmen ESDM Nomor 230.K/MG.01.MEM.M/2024 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Komponen Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Pembaruan aturan ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan kontraktor dan Pemerintah. Salah satu Poin penting pada aturan ini adalah kepastian bagi hasil yang diterima kontraktor, dapat mencapai 75-95 persen. Pada kontrak gross split lama, bagi hasil kontraktor sangat variatif, bisa sangat rendah, hingga nol persen pada kondisi tertentu.
“Kepastian 75-95 persen bagi hasil punya kontraktor. Kalau yang dulu bisa rendah sekali, bahkan bisa sampai 0 persen, itu kita koreksi. Selain itu, bagi hasil tidak kompetitif, buktinya dari 15 dari 26 KKKS mengajukan insentif atau diskresi,” jelas Direktur Pembinaan Hulu Minyak dan Gas Bumi Ariana Soemanto, dilansir laman resmi Kementerian ESDM.
Selain itu, Ariana menyampaikan, aturan gross split baru ini juga membuat Wilayah Kerja Migas Non Konvensional lebih menarik, karena bagi hasil untuk kontraktor dapat mencapai 93-95 persen di awal. Hal ini dapat segera diterapkan pada WK GMB Tanjung Enim dan MNK Rokan.
Kemudian, sebut Ariana, parameter-parameter yang menentukan besaran angka bagi hasil untuk kontraktor disederhanakan dari 13 parameter menjadi hanya 5 parameter, agar lebih implementatif perhitungannya dan menarik di lapangan.
“Poin yang keempat adalah, ini bukan semata-mata untuk mendorong gross split yang baru ini, tetapi di sini kita berikan pilihan fleksibilitas, mau pakai gross split atau cost recovery silakan, mau berpindah juga silakan. Sesuai dengan selera kontraktor,” sambungnya.
Adapun poin perubahan pada Permen Kontrak Bagi Hasil antara lain adalah simplifikasi jumlah komponen. Dari 13 komponen tambahan bagi hasil disederhanakan hanya menjadi 5 yaitu jumlah cadangan, lokasi lapangan, ketersediaan infrasruktur, harga minyak bumi, dan harga gas bumi.
Poin yang kedua adalah parameter sesuai data lapangan. Nilai parameter komponen ditentukan dari studi statistik data 5 tahun terakhir, yaitu jumlah cadangan POD seluruh lapangan, rata-rata lokasi dan kedalaman lapangan, serta harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), LNG platts, dan gas domestik.
“Jadi setelah evaluasi 5 tahun, nanti Bapak dan Ibu akan melihat cadangan dan PODnya itu sudah ada bukti empiris bahwa data 5 tahun terakhir terkait penemuan cadangan itu yang membentuk angka yang ada di Kepmen kita ini. Begitu pula dengan lokasi kedalaman, Harga ICP, kenapa harga yang diambil titik tengahnya, itu semua berdasarkan data realisasi 5 tahun terakhir,” jelas Ariana.
Selain itu, diatur pula total bagi hasil yang kompetitif. Di mana nilai bagi hasil (sebelum pajak) KKKS migas konvensional pada rentang 75 persen sampai dengan 95 persen, Berdasarkan studi effective royalty rate, access to gross revenue, dan incentives. Lalu terdapat pula aturan mengenai Eksklusivitas MNK yakni nilai bagi hasil (sebelum pajak) KKKS MNK menggunakan fixed split 93 persen untuk minyak dan 95 persen untuk gas, berdasarkan studi perbandingan keekonomian dengan lapangan di Eagleford.
Yang terakhir, mengenai tata cara, persyaratan perubahan bentuk kontrak dan fleksiblitas. Aturan ini memberikan pengaturan terkait perubahan bentuk kontrak bagi hasil dari PSC cost recovery ke gross split ataupun sebaliknya. Dengan ketentuan peralihan untuk kontrak yang telah ditandatangani sebelumnya.(*)