KABARBURSA.COM – Setelah sempat jadi primadona pasar, kini giliran ETF Bitcoin spot yang terkena hantaman. Di kuartal pertama 2025, sejumlah manajer aset kelas kakap memangkas kepemilikan mereka di produk ETF kripto tersebut. Langkah ini terjadi bersamaan dengan penurunan harga Bitcoin sebesar 12 persen yang kemudian membuat investor mulai meraba ulang strategi mereka.
Padahal pada kuartal-kuartal sebelumnya, tren justru menunjukkan peningkatan alokasi ke ETF Bitcoin spot. Namun laporan formulir 13-F dari Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (SEC) terbaru menunjukkan arah angin mulai berubah.
ETF alias exchange-traded fund adalah produk investasi yang diperdagangkan di bursa layaknya saham, namun isinya bisa mencerminkan harga aset tertentu—dalam hal ini, Bitcoin. ETF Bitcoin spot secara khusus mencerminkan harga riil Bitcoin di pasar saat itu (bukan kontrak berjangka), sehingga memudahkan investor institusional untuk berinvestasi di aset kripto tanpa harus memegang Bitcoin secara langsung.
ETF Bitcoin spot yang melantai sejak Januari 2024 kini menghadapi dinamika baru. Beberapa hedge fund besar seperti Millennium Management LLC memilih melakukan pemangkasan drastis. Mereka mengurangi 41 persen sahamnya di iShares Bitcoin Trust ETF (IBIT.O) dan sekaligus keluar dari Invesco Galaxy Bitcoin ETF (BTCO.Z). Sebaliknya, hanya dua ETF yang mereka tambahi, yakni ARK 21 Shares Bitcoin ETF (ARKB.Z) dan Grayscale Bitcoin Mini Trust (BTC.P).
Menurut Chief Investment Officer Bitwise Asset Manager, Matt Hougan, ini semua terjadi karena premi menggiurkan dari perdagangan basis (basis trade) antara spot dan futures Bitcoin tiba-tiba ambruk. Padahal sebelumnya, strategi itu bisa memberikan hasil hingga 15 persen per tahun.
“Premi itu runtuh dan mencapai titik terendah sekitar akhir Maret,” kata Hougan, dikutip dari Reuters di Jakarta, Jumat, 16 Mei 2025. “Jadi saya tak heran melihat hedge fund mulai memangkas posisi mereka di ETF Bitcoin spot.”
Langkah serupa juga dilakukan oleh Brevan Howard, hedge fund asal Jersey, yang memotong porsi iShares mereka sebesar 15,6 persen.
Namun tak semua pihak keluar. Beberapa malah baru mulai masuk. Dana investasi negara bagian Wisconsin yang awalnya mencetak sejarah sebagai investor institusional pertama di ETF Bitcoin spot pada awal 2024, justru menjual seluruh 6 juta saham IBIT miliknya pada kuartal ini.
Sementara itu, Brown University, salah satu kampus bergengsi di AS, justru melakukan debut investasi kripto mereka dengan membeli saham IBIT senilai USD4,9 juta hingga akhir Maret. Lebih menarik lagi, Mubadala, dana kekayaan negara asal Abu Dhabi, menambah kepemilikannya atas IBIT hingga mencapai 8,7 juta saham—senilai USD408,5 juta.
Meski berbagai manajer aset besar mulai mengatur ulang posisi, Hougan melihat arah tren jangka panjang masih terbuka. “Yang paling menarik buat saya nanti adalah apakah lebih banyak firma penasihat investasi mulai ikut masuk. Itu seperti kereta lambat, tapi tetap bergerak maju,” ujarnya.
ETF Bitcoin Spot Ditinggal Institusi, Apa Dampaknya ke RI?
Fenomena keluarnya sejumlah manajer aset global dari ETF Bitcoin spot rupanya tak bisa dilepaskan dari cara kerja psikologis pasar—terutama bagi investor ritel di negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu pendekatan paling relevan untuk membaca respons pasar terhadap kejadian ini adalah melalui teori herd behavior, atau perilaku ikut-ikutan.
Penjelasan komprehensif soal ini bisa ditemukan dalam artikel ilmiah berjudul Examining Herding Behavior in the Cryptocurrency Market karya Stefan Cristian Gherghina dan Cristina Andreea Constantinescu, yang terbit dalam jurnal Equilibrium tahun 2024.
Dalam riset itu, keduanya menunjukkan bahwa perilaku herding dalam pasar kripto—khususnya Bitcoin—menguat secara signifikan ketika harga mengalami pergerakan ekstrem, baik saat melonjak tinggi maupun anjlok tajam. Mereka menemukan bahwa pasca-2019, investor justru lebih rentan berkerumun saat pasar naik, tapi tetap menunjukkan efek ikut-ikutan saat pasar terkoreksi. Dengan kata lain, investor tidak lagi rasional menilai nilai intrinsik aset, tetapi hanya melihat apa yang dilakukan mayoritas pelaku pasar.
Dalam konteks Indonesia, pola semacam ini mudah dikenali. Ketika nama-nama besar seperti Millennium Management dan dana pensiun Wisconsin menarik diri dari ETF Bitcoin spot, banyak investor lokal yang bisa saja menafsirkan langkah itu sebagai sinyal keluar kolektif—meski tidak semua memiliki data atau pemahaman menyeluruh.
Reaksi semacam ini berpotensi memicu aksi jual massal atau sikap wait and see yang membuat volume perdagangan kripto di platform lokal ikut melandai.
Gherghina dan Constantinescu juga menggunakan pendekatan CSAD dan quantile regression untuk membuktikan bahwa efek herding ini paling kuat saat sentimen pasar ekstrem dan volatilitas tinggi—dua hal yang sedang terjadi sejak Bitcoin ambles 12 persen di kuartal pertama 2025.
Dengan kata lain, walau keputusan investor institusi di AS tidak secara langsung berdampak pada kepemilikan investor Indonesia, sinyal psikologisnya tetap terasa. Di pasar yang belum sepenuhnya efisien dan masih didominasi emosi, satu langkah investor besar bisa menciptakan gelombang kecil yang menjalar jauh, bahkan sampai ke bursa kripto lokal.(*)