KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG ditutup di zona merah usai turun sebesar 0,49 persen ke level 6.881 pada perdagangan Rabu, 2 Juli 2025.
Pelemahan indeks ini tidak lepas dari perhatian investor terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2026.
Investor dinilai tengah menyoroti target pemerintah yang mencanangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5,2 - 5,8 persen secara Year on Year (YoY) pada 2026.
Rencana pertumbuhan tersebut disampaikan langsung Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam merespon ketidakpastian global yang masih terjadi.
Analis pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan, investor kini mulai mencerna lebih serius proyeksi pemerintah terhadap perekonomian 2026. Menurutnya, kondisi ini cukup mempengaruhi pasar saham Indonesia.
"Ketidakpastian ini menahan minat beli jangka pendek di pasar saham, khususnya pada sektor-sektor yang sensitif terhadap gejolak global seperti manufaktur, perdagangan, dan perbankan," ujar dia kepada KabarBursa.com, Kamis, 3 Juli 2025.
Selain dari dalam negeri, pelemahan IHSG juga datang dari sentimen mancanegara. Hendra menilai investor saat ini tengah berhati-hati jelang tenggat berakhirnya penundaan tarif impor Amerika Serikat 9 Juli 2025 mendatang.
"Tekanan ini bukan semata karena teknikal, melainkan juga disebabkan oleh meningkatnya ketidakpastian kebijakan dagang global yang tercermin dalam lonjakan Trade Policy Uncertainty Index ke kisaran 8.000, serta menguatnya Volatility Index (VIX) di pasar global," jelasnya.
Hendra menyampaikan, pasar Asia secara umum juga melemah, sejalan dengan kekhawatiran atas arah kebijakan fiskal AS dan kemungkinan pelemahan ekonomi global.
"Sehingga arus modal cenderung berpindah ke aset yang lebih aman. Kondisi ini diperburuk dengan menguatnya dolar AS, yang turut menekan nilai tukar rupiah dan membuat investor domestik lebih berhati-hati," katanya.
IHSG Uji Support Kuat
Secara teknikal, Hendra melihat IHSG kini menguji support kuat di area 6.840–6.820, dan bila bertahan di atas level ini, potensi rebound jangka pendek ke area 6.950–7.000 masih terbuka.
"Namun, jika tekanan global terus berlanjut dan rupiah tak kunjung stabil, penurunan bisa berlanjut ke kisaran 6.750–6.700," ungkapnya.
Meski demikian, Hendra menyatakan masih terdapat peluang untuk strategi akumulasi selektif, terutama pada saham-saham yang memiliki katalis domestik kuat dan tahan terhadap volatilitas global.
Menurutnya, saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) masih direkomendasikan beli dengan target harga 5.150, mengingat fundamental kuat, eksposur besar pada sektor produktif.
Ada pula, lanjut dia, saham PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) yang dinilai juga menarik dikoleksi pada pelemahan ini, dengan target harga 530 seiring meningkatnya perhatian global terhadap transisi energi dan bahan baku kendaraan listrik.
"Sementara itu, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) juga patut diperhatikan dengan target harga 525, karena permintaan infrastruktur digital dan jaringan 5G tetap tumbuh stabil meski dalam kondisi ekonomi yang penuh tekanan," pungkasnya.(*)