KABARBURSA.COM - Deputi III Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Bidang Perekonomian, Edy Priyono, menepis anggapan bahwa angka kemiskinan di Indonesia meningkat selama 10 tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, data resmi justru menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Edy menegaskan, baik kemiskinan umum maupun kemiskinan ekstrem mengalami penurunan.
“Data menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di negara kita turun, tidak hanya kemiskinan umum, tetapi juga kemiskinan ekstrem,” kata Edy dalam Seminar Nasional ‘Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi’ di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024.
Edy juga menyinggung isu ketimpangan pendapatan. Menurut dia, berdasarkan rasio gini, tren ketimpangan juga menunjukkan penurunan.
“Artinya, kemiskinan dan distribusi pendapatan membaik, serta ketimpangan semakin menurun,” tuturnya.
Meski demikian, Edy mengakui adanya penurunan angka di kalangan kelas menengah. Namun, ia menekankan, penurunan ini tidak mengindikasikan bahwa kelas menengah jatuh ke dalam kemiskinan.
“Jika kelas menengah jatuh miskin, maka seharusnya angka kemiskinan meningkat. Namun faktanya, angka kemiskinan dan ketimpangan justru menurun,” pungkasnya.
Jokowi Gagal Tumpas Kemiskinan
Sebelumnya, Ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky, menilai pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah gagal mengatasi kemiskinan dan utang negara di Indonesia.
Menurut Awalil, bukti kegagalan Jokowi mengatasi kemiskinan dan mengurangi jumlah utang Indonesia yaitu tidak tercapainya target yang ditetapkan selama dua periode dia memimpin Indonesia.
Awalil membeberkan data, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan sebesar 7,5 persen pada 2019, namun realisasinya hanya mencapai 9,41 persen.
“Ditargetkan kemiskinan sebesar 7,5 persen pada 2019. Namun, realisasinya di atas itu, sebesar 9,4 persen,” kata Awalil dalam diskusi secara daring bertema ‘Kegagalan Jokowi Mengatasi Kemiskinan dan Kemiskinan Ekstrem’, Selasa, 24 September 2024.
Kondisi itu berlanjut pada periode kedua Jokowi berkuasa. Dalam RPJMN 2020-2024, di mana target kemiskinan yang ditetapkan turun menjadi 6,5 persen pada 2024, namun karena faktor pandemi COVID-19, angka kemiskinan tetap tinggi, yaitu di angka 9,03 persen.
Awalil menegaskan, Jokowi tidak bisa mengelak telah gagal menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Pasalnya, dalam Nota Keuangan dan APBN 2024 menargetkan angka sebesar 6,5-7,5 persen sedangkan realisasinya hanya 9,03 persen.
“Target yang ditetapkan tiap tahun melalui Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tidak tercapai,” ujar Awalil.
Meski Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan tingkat kemiskinan sebesar 0,38 poin, Awalil menekankan, bahwa penurunan tersebut sangat lambat dibandingkan dengan era sebelumnya.
Ironisnya, pada periode kedua pemerintahan Jokowi, jumlah absolut (ekstrem) penduduk miskin justru meningkat sebanyak 80.000 orang, meskipun persentasenya sedikit berkurang. “Jauh lebih lambat dibanding era sebelumnya,” ungkapnya.
Dalam persoalan penduduk miskin ini, lanjut Awali, pemerintahan Jokowi beretorika dengan menempatkan pengurangan kemiskinan ekstrem sebagai agenda prioritas. Bahkan, Jokowi pernah menyatakan dalam rapat terbatas pada 4 Maret 2020 bahwa target kemiskinan ekstrem di Indonesia adalah sebesar nol persen pada 2024.
Menurut dia, penanganan yang dilakukan pemerintahan Jokowi terhadp permasalahan kemiskinan, khususnya kemiskinab ekstrem mencerminkan kegagalannya dalam mencapai target.
“Penanganan kemiskinan ekstrem yang di kedepankan di masa pemerintahnya. Faktanya, dia gagal mencapai target
Lalu, Awalil mengkritisi RPJMN 2020-2024 yang tidak mencantumkan target pengentasan kemiskinan ekstrem. Katanya, penetapan RPJMN dilakukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) pada bulan Januari 2020, sementara Jokowi memberikan arahan soal penanganan kemiskinan ekstrem beberapa waktu setelahnya. Nota Keuangan dan APBN pun baru mencantumkan target ini untuk tahun 2024 dan 2025.
“Di APBN 2024, pemerintah menargetkan kemiskinan ekstrem turun sebesar 0-1 persen, tetapi realisasinya hanya mencapai 0,83 persen,” paparnya.
Awalil pun mempertanyakan ukuran atau standar kemiskinan ekstrem yang digunakan Jokowi.
Kajian dari Bright Institute menunjukkan adanya perbedaan dan perubahan ukuran dalam publikasi BPS, dengan data terbaru disajikan saat rapat dengan DPR pada 28 Agustus 2024.
Terdapat indikasi bahwa standar kemiskinan ekstrem yang diterapkan tidak konsisten, seolah memaksakan agar target-target Jokowi terpenuhi.
“Pada dasarnya, BPS dan pemerintah tidak tahu persis siapa, di mana, dan kondisi sebenarnya dari penduduk miskin dan miskin ekstrem,” tegas Awalil.
Jumlah Penduduk Miskin Bertambah 9,48 Juta
Jumlah kelas ekonomi bawah alias penduduk miskin di masa 10 tahun pemerintahan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengalami peningkatan. Artinya, terjadi penurunan kelas ekonomi menengah.
Berdasarkan kriteria BPS yang mengacu pada Bank Dunia, jumlah masyarakat kelas menengah menyusut sebanyak 9,48 juta orang, dari 57,33 juta orang pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024. Ini berarti penurunan persentase sebesar 4,13 persen dari total populasi.
Padahal, sebelumnya, pada periode 2002-2016, Bank Dunia mengapresiasi perkembangan kelas menengah di Indonesia melalui laporan berjudul ‘Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class’ yang menyebutkan bertumbuh pesatnya kelas menengah.
Pada periode tersebut, masyarakat kelas menengah Indonesia tumbuh dari 7 persen menjadi 20 persen dari total penduduk, mencapai 50 juta orang pada 2016. Selain itu, sekitar 115 juta orang atau 45 persen dari total populasi berada di jalur menuju kelas menengah.
Menurut Bright Institute kelas menengah memainkan peran krusial dalam perekonomian suatu negara. Di sisi permintaan, pertumbuhan kelas menengah yang pesat dapat meningkatkan konsumsi, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi ketimpangan, dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
“Dari sisi penawaran, kelas menengah berkontribusi pada penciptaan lapangan pekerjaan, kondisi pekerja yang lebih baik, dan investasi dalam pendidikan, yang semuanya dapat memperluas jumlah kelas menengah di masa depan,” tulis Bright Institute dalam rilisnya, Selasa, 17 September 2024.
Berbanding terbalik dengan masa pemerintahan Jokowi yang mengindikasikan kinerja ekonominya yang kurang memuaskan. Hal ini diperparah dengan bertambahnya jumlah kelompok yang menuju kelas menengah dan kelompok rentan miskin, serta stagnasi jumlah penduduk miskin antara 2019-2024.
Fenomena ini menambah risiko bagi perekonomian Indonesia di tahun-tahun mendatang. Jika terjadi guncangan eksternal atau kondisi global memburuk, Indonesia mungkin tidak memiliki daya tahan yang cukup. Ambisi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen menjadi hampir mustahil, karena penurunan kelas menengah menghambat pertumbuhan konsumsi dan dapat mempengaruhi investasi kecil dan menengah.
“Impian untuk tumbuh 8 persen nyaris mustahil terwujud. Berkurangnya kelas menengah akan menyulitkan pertumbuhan konsumsi. Bahkan sebagian investasi yang berskala kecil dan menengah pun akan tergerus,” terangnya.
Masalah ini tidak hanya terbatas pada kelas menengah, tetapi juga mencakup mereka yang rentan miskin dan miskin, yang menghadapi situasi lebih serius. Banyak dari mereka yang berada di sekitar garis kemiskinan dan sangat rentan jatuh miskin, sebagian besar hanya tergantung pada program bantuan sosial.
“Sebenarnya bukan hanya kelas menengah, melainkan mereka yang rentan miskin dan yang miskin memiliki masalah lebih serius. Banyak dari mereka yang tidak tergolong miskin namun berada di sekitar Garis kemiskinan, dan sangat rentan untuk jatuh miskin,” jelas dia.
Karena itu, Bright Institute menyimpulkan bahwa penurunan kelas menengah dan peningkatan ketidakstabilan sosial berpotensi memperburuk kesenjangan sosial dan ketidakstabilan politik, serta melemahkan ketahanan ekonomi nasional di tengah guncangan eksternal di masa depan.
“Bahkan, kesenjangan sosial akan cenderung meningkat dan bisa berdampak pada ketidakstabilan sosial dan politik. Ditambah melemahnya daya tahan perekonomian nasional jika terjadi guncangan eksternal pada tahun-tahun mendatang,” pungkasnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.