Logo
>

Iuran Dana Pensiun Tak Masuk Akal saat Ekonomi Labil

Ditulis oleh KabarBursa.com
Iuran Dana Pensiun Tak Masuk Akal saat Ekonomi Labil

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendesak pemerintah untuk menunda keputusan mengenai pengenaan iuran dana pensiun tambahan. Bob Azam, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, menilai saat ini bukan waktu yang ideal untuk menerapkan kebijakan tersebut, mengingat ketidakstabilan ekonomi yang masih menghinggapi.

    "Kami meminta agar pemerintah menunda iuran tambahan untuk saat ini. Perusahaan-perusahaan sedang menghadapi tekanan dari penurunan permintaan, melemahnya ekonomi, serta daya beli yang menurun, tercermin dari deflasi beberapa bulan terakhir. PMI juga telah mengalami kontraksi di bawah angka 50. Semua indikator ekonomi menunjukkan situasi yang tidak menguntungkan," ujar Bob dalam wawancaranya, yang dikutip pada Senin 9 September 2024

    Bob juga menyarankan agar pemerintah lebih memfokuskan upayanya pada pemulihan ekonomi, terutama setelah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan pembentukan kabinet baru pada bulan Oktober.

    "Kami berharap pemulihan ekonomi dapat segera terjadi, terutama setelah pilkada dan dengan adanya kepastian baru setelah kabinet terbentuk pada Oktober. Kami berharap ini membawa optimisme baru. Mungkin setelah itu kita bisa melanjutkan pembicaraan, tetapi saat ini menurut kami bukanlah waktu yang tepat," tambahnya.

    Sementara itu, wacana pemotongan gaji untuk mendanai program pensiun baru telah menuai kontroversi di kalangan pekerja Indonesia. Banyak yang merasa bahwa rencana ini justru akan membebani masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi yang ada.

    Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan bahwa UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) mengatur harmonisasi program pensiun. Pasal 189 dalam undang-undang tersebut mengamanatkan penguatan dan penyelarasan program pensiun untuk meningkatkan perlindungan hari tua dan kesejahteraan umum.

    “Manfaat pensiun saat ini, baik bagi ASN, TNI/Polri, maupun pekerja formal, relatif kecil, sekitar 10 persen-15 persen dari penghasilan terakhir. Standar ideal menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) adalah 40 persen dari penghasilan terakhir. UU PPSK mengatur bagaimana program pensiun wajib, seperti Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun, dilaksanakan oleh BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen, dan Asabri,” kata Ogi dalam keterangan tertulisnya.

    Namun, Pasal 189 ayat 4 UU PPSK juga memberikan opsi untuk adanya program pensiun tambahan dengan kriteria tertentu yang akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP). Kriteria spesifik mengenai siapa yang wajib membayar iuran dana pensiun tambahan ini belum ditetapkan karena PP belum diterbitkan.

    “OJK saat ini berperan sebagai pengawas pelaksanaan program tersebut. Kami masih menunggu penerbitan PP dari pemerintah untuk menetapkan kebijakan terkait program pensiun tambahan,” tambahnya.

    BPJS-TK Belum Beres Iuran Pensiun Tambah Beban

    Pemerintah tengah merancang peraturan baru mengenai iuran dana pensiun tambahan yang berpotensi memotong upah pekerja. Namun, rencana ini menghadapi kritik tajam dan penolakan dari berbagai kalangan yang khawatir beban ekonomi mereka akan semakin meningkat.

    Para ekonom, ahli jaminan sosial, serta pakar hukum ketenagakerjaan sepakat bahwa penerapan iuran tambahan ini tidak tepat waktu. Tekanan ekonomi yang sudah berat saat ini membuat kebijakan ini menjadi kurang relevan.

    Masyarakat kelas menengah, yang diperkirakan akan terdampak oleh kebijakan ini, tengah menghadapi krisis. Selama lima tahun terakhir, sekitar 9,5 juta orang mengalami penurunan kelas sosial.

    “Andaikan ada tambahan beban iuran yang harus dipikul pekerja, pemerintah tampaknya mengabaikan laju pertumbuhan upah. Akibatnya, upah riil pekerja akan tergerus dan daya beli pun menurun,” ungkap Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC), Andriko Otang, dikutip Senin 9 September 2024

    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa peraturan pemerintah tentang iuran pensiun ini masih dalam tahap perancangan. Dana pensiun tambahan ini direncanakan akan dikelola oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), bukan oleh BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK).

    Menurut Timboel Siregar, pengamat jaminan sosial, langkah ini mengabaikan fakta bahwa BPJS-TK masih belum optimal. “Kita sudah memiliki jaminan pensiun melalui BPJS-TK yang belum sepenuhnya efektif, namun pemerintah malah menghadirkan program baru yang bersifat wajib,” tegas Timboel.

    Bagi beberapa pekerja, penambahan iuran dana pensiun bukanlah prioritas saat ini. Mereka lebih fokus pada masalah yang lebih mendesak seperti kenaikan upah yang tidak sesuai dengan inflasi, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), serta permasalahan jaminan sosial yang ada.

    “Potongan-potongan ini semakin menekan kenaikan gaji saya,” keluh Abi, seorang pekerja kelas menengah di Jakarta, yang lebih memilih menyisihkan uangnya untuk dana darurat ketimbang tabungan pensiun.

    Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengingatkan pemerintah agar lebih memperhatikan nasib pekerja.

    Kebijakan ini, menurut Esther, mungkin hanya akan memicu spekulasi bahwa pemerintah mencoba meningkatkan pendapatan dengan membebani masyarakat di tengah ruang fiskal yang semakin sempit.

    OJK menjelaskan bahwa rencana ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

    Namun, batas pendapatan yang dikenakan iuran wajib belum ditentukan karena Peraturan Pemerintah (PP) terkait masih dalam proses penyusunan.

    Menurut Ogi Prastomiyono dari OJK, manfaat dari dana pensiun tambahan ini akan serupa dengan Jaminan Pensiun (JP) BPJS-TK, yang disalurkan secara rutin setiap bulan setelah pensiun. Ini berbeda dengan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS-TK yang dapat dicairkan secara tunai sekaligus.

    Namun, kritikus seperti Andriko Otang dan Timboel Siregar mencatat bahwa jika dana pensiun tambahan dikelola oleh DPPK, maka pekerja mungkin harus membayar iuran ke dua lembaga pengelola yang berbeda. Hal ini bisa menambah beban pekerja dan menimbulkan ketidakpastian dalam pengelolaan dana pensiun.

    Timboel juga menggarisbawahi bahwa DPPK lebih berorientasi pada profit, berbeda dengan BPJS yang bertanggung jawab langsung di bawah presiden. Kegagalan investasi di DPPK bisa mengancam kestabilan dana pensiun.

    Menurut Andriko Otang, reaksi yang muncul dari kalangan pekerja adalah hal yang wajar mengingat prioritas mereka saat ini adalah kebutuhan jangka pendek. Penerapan iuran tambahan harus mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kemampuan masyarakat.

    Secara prinsip, perbaikan dalam iuran pensiun memang diperlukan, namun Andriko dan Timboel sepakat bahwa integrasi dengan sistem yang sudah ada di BPJS-TK mungkin merupakan solusi yang lebih tepat daripada menciptakan program baru yang terpisah. (*)

     

     

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi