KABARBURSA.COM - Analis Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng sempat mengkritik soal ambisi Pertamina yang tak realistis soal produksi Pertamina sebanyak 1 Juta Barel tahun 2024.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menegaskan tren produksi Pertamina justru menunjukkan peningkatan, meskipun perusahaan hanya menguasai 25 persen wilayah kerja blok migas di Indonesia.
"Secara tren, produksi Pertamina meningkat. Dan Pertamina hanya menguasai 25 persen wilayah kerja blok migas di Indonesia, namun berkontribusi 69 persen secara nasional. Ini menunjukkan Pertamina lebih produktif," ujar Fadjar saat dikonfirmasi KabarBursa, Ahad, 11 Agustus 2024.
Mengutip laman Pertamina, hingga akhir 2023, PT Pertamina Hulu Energi, yang merupakan bagian dari subholding hulu Pertamina, berhasil mencapai produksi minyak dalam negeri hingga 415 ribu barel per hari, setara dengan 69 persen dari total produksi minyak nasional. Sementara itu, kontribusi produksi gas dari subholding hulu mencapai 34 persen dari total produksi nasional, atau sekitar 2.766 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Menurut Fadjar, Pertamina Group menjadi kontributor terbesar dalam produksi minyak nasional. Berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), mayoritas dari 10 perusahaan produsen minyak terbesar di Indonesia adalah anak usaha atau afiliasi dari Pertamina. “Pertamina memegang peranan penting dalam menjaga ketahanan energi nasional,” kata Fadjar.
Pertamina EP, Pertamina ONWJ, Pertamina Hulu Mahakam, dan Pertamina Hulu Rokan menjadi penyumbang terbesar dalam produksi migas, dengan Blok Rokan yang dioperasikan oleh Pertamina sejak Agustus 2021 menyumbang produksi minyak tertinggi, yakni mencapai 161.623 barel per hari.
Mengenai tudingan Salamudin bahwa kilang-kilang yang dibangun melalui proyek RDMP tidak menghasilkan minyak dan hanya digunakan sebagai penampungan minyak impor, Fadjar membantah keras. Menurutnya, justru dengan adanya proyek RDMP, Pertamina mampu meningkatkan produksi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor.
"Justru dengan RDMP kita bisa tingkatkan produksi BBM dalam negeri dan mengurangi impor," tegas Fadjar.
Ia juga menjelaskan proyek RDMP sebagian besar masih dalam proses pengembangan. Fadjar optimistir seiring dengan peningkatan produksi minyak, kapasitas kilang Pertamina akan semakin besar, sehingga dapat menampung lebih banyak produksi minyak domestik.
"RDMP sebagian besar masih dalam proses, sehingga nanti seiring meningkatnya produksi, kapasitas kilang juga semakin besar," jelasnya.
Produksi minyak Pertamina pada tahun 2023 mengalami peningkatan sebesar 10 persen dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya. Pada tahun 2022, produksi minyak Pertamina mencapai 514.000 barel per hari (BOPD), dan meningkat menjadi 566.000 BOPD pada tahun 2023.
Produksi Meningkat 10 Persen
Wakil Direktur Utama PT Pertamina, Wiko Migantoro, mengatakan produksi minyak Pertamina pada 2023 tercatat mengalami peningkatan sebesar 10 persen dibanding produksi minyak 2022. Dia menjelaskan peningkatan produksi minyak ini didukung oleh produksi domestik sebesar 415 MBOPD dan produksi internasional sebesar 151 MBOPD. Meskipun produksi minyak domestik sempat berfluktuasi dari 417 MBOPD menjadi 415 MBOPD, blok-blok yang dikelola langsung oleh Pertamina mencatat kenaikan dari 337 MBOPD menjadi 339 MBOPD.
Pertamina juga berhasil mengendalikan laju penurunan produksi (decline rate) dari 19 persen menjadi 2 persen melalui berbagai program kerja yang efektif. "Produksi gas domestik juga naik 3 persen, dari 2.241 MMSCFD pada 2022 menjadi 2.388 MMSCFD pada 2023," ujar Wiko dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI pada Kamis, 6 Juni 2024 lalu.
Wiko menuturkan, sepanjang 2023, Pertamina melakukan pemboran sumur secara masif dengan total 799 sumur, naik 16 persen dibandingkan tahun 2022. Selain itu, Pertamina juga melakukan kerja ulang (workover) sebanyak 835 pekerjaan, naik 31 persen, serta perawatan sumur sebanyak 32.589 pekerjaan, meningkat 11 persen dibanding tahun sebelumnya.
"Saat ini, Pertamina berkontribusi sebesar 69 persen untuk lifting minyak nasional dan 34 persen untuk gas," ungkap Wiko.
Ia menambahkan, kegiatan hulu migas Pertamina memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara, baik di tingkat nasional maupun daerah, dengan total kontribusi sebesar USD3 miliar dari pajak dan USD4,2 miliar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Janji Sejuta Barel per Hari
Sebelumnya Salamuddin Daeng melontarkan kritik tajam terhadap penurunan drastis dalam produksi minyak mentah (crude oil) Indonesia. Fenomena ini, menurutnya, semakin memperberat beban anggaran negara.
Ia menyebut bahwa ia ragu dengan ambisi satu juta barel Pertamina, menurutnya, janji untuk mencapai satu juta barel produksi minyak per hari terus bergema dalam benak publik nasional. "Janji ini seolah menjadi hasil akhir dari berbagai reformasi sektor migas—mulai dari reformasi kelembagaan dan birokrasi hingga transformasi Pertamina dan pembentukan holding sub-holding migas. Semua ini diyakini sebagai usaha untuk mengembalikan kejayaan migas dan Pertamina," katanya dalam keterangan tertulis, Minggu 11 Agustus 2024.
Janji satu juta barel per hari, kata Salamuddin, seolah diletakkan di balik alasan belanja capex yang sangat besar di Pertamina. Belanja besar-besaran ini mencakup pengembangan hulu migas, pembangunan kilang melalui RDMP, dan pembelian kapal tanker untuk mengangkut minyak ke pasar domestik serta ekspor. "Semua belanja ini didukung oleh utang yang dijamin pemerintah," kata dia.
Meskipun ribuan sumur telah digali oleh Pertamina, lanjut Salamuddin, produksi minyak tidak mengalami peningkatan. Padahal, Refinery Development Master Plan (RDMP) telah membangun kilang dengan kapasitas 1,1 juta barel per hari, namun minyaknya tidak ada. Kapal tanker juga sudah dibeli untuk mendukung ambisi ini. "Apakah perlu dipertimbangkan untuk mengalihkan kapal-kapal tersebut untuk mengangkut minyak sawit?," tanyanya.
Padahal, seharusnya Pertamina dapat memenuhi kebutuhan satu juta barel minyak nasional per hari sendiri, mengingat kapasitas kilang yang sudah ada melebihi angka tersebut untuk memenuhi kebutuhan nasional 1,5-1,6 juta barel per hari. "Sisanya dari produksi swasta dapat diekspor untuk mengurangi defisit perdagangan akibat impor migas yang kini sangat besar," kata Salamuddin.
Salamuddin menyebutkan Kilang-kilang yang telah dibangun tentu akan kehilangan nilai jika hanya digunakan untuk menampung minyak impor. Faktanya, kilang-kilang ini, yang didanai dengan utang, ternyata hanya untuk minyak impor. Diperlukan terobosan besar di sektor hulu migas untuk mengatasi penurunan produksi yang drastis tanpa ada penahan. Situasi ini merupakan pemandangan memilukan dalam satu dekade terakhir.
Salamuddin menggambarkan berdasarkan laporan yang paling kredibel, produksi migas kita saat ini hanya mencapai 600 ribu barel per hari, sementara kebutuhan nasional sebesar 1,6 juta barel per hari. "Defisit neraca migas sangat lebar, tanpa usaha yang berarti untuk mengatasinya. Pada tahun 2001, produksi migas nasional Indonesia mencapai 1,4 juta barel, namun setelah itu mengalami penurunan tajam," beber dia.
Salamuddin menyebut, pendapatan negara dari sektor migas juga terus merosot, meskipun subsidi migas meningkat dan semakin tidak rasional. Pada tahun 2006, kontribusi sektor migas terhadap APBN mencapai 24,8 persen, namun kini tinggal 4,6 persen dari total penerimaan negara. Sektor migas malah menjadi parasit bagi APBN, membebani neraca transaksi berjalan dan pendapatan primer. "Apakah Direktur Utama satu juta barel akan menjadi harapan baru di pemerintahan mendatang? Semoga saja, kita berharap demikian," pungkasnya. (*)