KABARBURSA.COM – Jepang menyatakan kesiapannya membantu Amerika Serikat mencapai target ekonomi, namun dengan pendekatan yang saling menguntungkan. Menjelang pembicaraan perdagangan bilateral dengan pemerintahan Trump, Menteri Ekonomi Jepang Ryosei Akazawa menegaskan negaranya ingin berkontribusi lewat investasi, bukan tarif.
“Perdana Menteri Shigeru Ishiba sangat ingin membantu AS meraih tujuannya secara win-win, melalui investasi, bukan beban tarif. Dan saya sepenuhnya sependapat dengan hal itu,” ujar Akazawa dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Selasa, 15 April 2025. Akazawa akan memimpin delegasi Jepang dalam kunjungannya ke Washington pada Rabu hingga Jumat pekan ini.
Ia dijadwalkan bertemu dengan Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan U.S. Trade Representative Jamieson Greer. Tokyo sendiri telah berulang kali mendesak AS untuk mengevaluasi kembali kebijakan tarifnya. Jepang menilai selama ini sudah banyak berinvestasi di Negeri Paman Sam, menciptakan lapangan kerja, dan berkontribusi pada ekonomi lokal.
Meskipun Presiden Trump sempat mengumumkan jeda 90 hari untuk kebijakan tarif timbal balik, Jepang tetap waspada. Tarif dasar 10 persen masih diterapkan pada semua negara, sementara bea masuk 25 persen untuk mobil buatan luar negeri belum dicabut.
Belum ada kejelasan soal hambatan perdagangan mana saja yang akan tetap diberlakukan. Trump pada awal pekan ini menyebut dirinya sedang mempertimbangkan pengecualian jangka pendek untuk industri otomotif agar mereka memiliki waktu tambahan memindahkan produksi ke dalam negeri. Ini menyusul pelonggaran serupa untuk sejumlah barang elektronik.
PM Ishiba menegaskan, Jepang akan menyampaikan respons terhadap permintaan AS dalam bentuk paket kebijakan. Namun ia tidak akan mengambil keputusan tergesa-gesa hanya demi menuntaskan kesepakatan.
Di hadapan parlemen pada Senin kemarin, Ishiba mengatakan Jepang akan menjajaki kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara dan sekutu lama AS seperti Inggris yang juga terdampak oleh ancaman tarif Trump.
Akazawa menambahkan, gesekan dagang antara AS dan China jelas berimbas langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian Jepang. Karena itu, pihaknya akan terus memantau perkembangan sembari menganalisis data ekonomi dari dalam dan luar negeri.
Sejumlah ekonom menilai Jepang tidak memiliki banyak instrumen negosiasi dalam menghadapi pemerintahan Trump. Namun mereka memperkirakan Jepang akan mengusulkan solusi jangka pendek, misalnya dengan meningkatkan impor produk pertanian, alat pertahanan, dan energi dari AS untuk menyeimbangkan neraca perdagangan.
Akazawa pun menyatakan siap mendengar permintaan dari pihak AS, termasuk yang di luar kewenangannya sebagai Menteri Ekonomi. Ia akan menyampaikan hal tersebut kepada Perdana Menteri Ishiba setibanya kembali dari Washington.
Indonesia Jadi Negara Pertama yang Diundang AS Bahas Tarif
Di tengah derasnya tekanan tarif dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Indonesia mengambil langkah diplomasi yang lebih cepat dari negara lain. Indonesia bahkan menjadi negara pertama yang secara resmi diundang oleh Washington untuk duduk semeja dengan otoritas perdagangan dan keuangan AS. Mereka akan membahas potensi kerugian dari kebijakan tarif resiprokal Trump.
Delegasi tingkat tinggi Indonesia yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Luar Negeri Sugiono, akan berada di Washington DC pada 16 hingga 23 April 2025. Dalam pertemuan itu, Indonesia membawa satu pesan, yakni hubungan dagang yang adil tidak bisa dibangun dengan tarif 32 persen yang memberatkan ekspor nasional.
Langkah Indonesia ini datang setelah Trump mengumumkan tarif dasar 10 persen untuk semua negara, serta tambahan 25 persen untuk kendaraan impor dan hingga 145 persen untuk produk-produk China. Dalam suasana seperti ini, Indonesia tak menunggu sikap negara lain. Pemerintah bahkan telah menyiapkan proposal peningkatan impor barang AS—mulai dari kapas, gandum, hingga minyak dan gas—senilai USD18 miliar hingga USD19 miliar, sebagai bagian dari strategi negosiasi.
Tidak hanya itu, Indonesia juga membuka ruang investasi di sektor energi dan teknologi informasi di AS. Pendekatannya bukan pembalasan tarif, melainkan diplomasi berbasis resiprositas dan kerja sama jangka panjang.
Sementara itu, negara-negara ASEAN lain tampak memilih langkah yang lebih hati-hati. Para Menteri Perdagangan ASEAN sepakat menggelar rapat daring pekan lalu, membahas respons terhadap tarif resiprokal Trump. Tidak ada keputusan retaliasi. Mereka sepakat menggunakan jalur diplomasi dalam kerangka US-ASEAN Trade and Investment Framework Agreement (TIFA).
Tarif yang dikenakan terhadap negara ASEAN memang bervariasi, antara lain Indonesia sebesar 32 persen, Malaysia 24 persen, dan Kamboja bahkan hingga 49 persen. Namun hingga kini, belum ada negara selain Indonesia yang secara fisik hadir di Washington untuk bernegosiasi.
Dalam suasana global yang makin rapuh akibat konflik dagang, langkah cepat Indonesia bisa menjadi kartu diplomasi penting. Tidak hanya untuk melindungi ekspor, tetapi juga untuk memperlihatkan bahwa posisi tawar negara berkembang bisa dibangun lewat kesiapan data, strategi, dan kemauan politik.(*)