KABARBURSA.COM - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengumpulkan para menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 8 Juli 2024 siang, untuk membahas keberlanjutan dari kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Sejumlah menteri yang hadir dalam rapat tersebut, antara lain Menko bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri ESDM Arifin Tasrif, dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
“Rapat harga gas,” kata Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjawab singkat pertanyaan media.
Sebelumnya, Koordinator Penyiapan Program Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Rizal Fajar Muttaqin mengatakan, Kementerian ESDM akan mengevaluasi kebijakan HGBT.
“Juli-Agustus ini kami evaluasi secara keseluruhan untuk disampaikan ke Presiden. Nanti akan diputuskan oleh Presiden,” kata Rizal Fajar Muttaqin.
Evaluasi tersebut terutama menyangkut sisi penerimaan negara. Menurut Rizal, manfaat yang diperoleh industri dari penyesuaian HGBT tidak sebanding dengan anggaran yang telah dialokasikan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Kementerian ESDM mencatat penerapan kebijakan harga gas tertentu telah mengakibatkan pengurangan penerimaan negara sebesar Rp29,39 triliun selama periode 2021-2022.
Kebijakan HGBT sebesar USD6 per MMBTU khusus diberlakukan pemerintah sejak 2020 untuk tujuh kelompok industri, yaitu industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Penggunaan Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri, HGBT akan berakhir pada 31 Desember 2024.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan pada Mei lalu bahwa kebijakan HGBT untuk harga gas di bawah USD6 per MMBTU bagi tujuh kelompok industri akan diteruskan.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita berpendapat bahwa perluasan HGBT untuk seluruh sektor industri tidak akan memberatkan APBN dan mengurangi penerimaan negara karena kebutuhan gas untuk industri hanya mencakup 30 persen dari total suplai gas nasional. Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung perluasan Program HGBT untuk seluruh 24 subsektor industri manufaktur.
Agus menekankan bahwa Program HGBT yang dimulai sejak 2020 memiliki dampak yang sangat positif bagi industri dengan meningkatkan investasi, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja secara signifikan.
IPGI Minta Pemerintah Evaluasi Program HGBT
Sementara itu, Ikatan Perusahaan Gas Indonesia (IPGI) meminta kepada pemerintah untuk mengevaluasi program harga gas bumi tertentu (HGBT).
Ketua Umum IPGI, Eddy Asmanto mengatakan program HGBT hanya menguntungkan industri hilir saja.
“Tidak memberikan keuntungan bagi yang di hulunya,” kata Eddy Asmanto dalam konferensi pers di kawasan Otista, Jakarta Timur, Jumat, 28 Juni 2024.
Bahkan, lanjut Eddy, HGBT juga memberatkan keuangan negara. Negara mengalami penurunan pendapatan akibat ketentuan HGBT ini sebesar Rp.29,39 Triliun di tahun 2021 dan 2022. Selain itu, tidak terjadi kenaikan penyerapan tenaga kerja dan daya saing industri akibat penerapan kebijakan HGBT.
Eddy mengaku pihaknya sudah memberikan masukan agar dilakukan evaluasi terhadap program HGBT sebelum pemerintah, dalam hal ini melalui Kementerian ESDM, benar-benar melanjutkan program ini.
“HGBT ini mulai dilaksanakan tahun 2020 dan akan berakhir pada akhir Desember 2024.
Eddy pun mengungkapkan kenapa pihaknya mendukung pemberian HGBT saat dicetuskan, semata-mata sebagai bentuk dukungan agar industri Tanah Air maju, khususnya pada tujuh sektor. Namun pada pelaksanaannya melenceng dan tidak tepat sasaran.
“Jadi, program HGBT ini harus dievaluasi,” tegasnya kembali.
Mengenai wacana pembentukan panitia kerja (panja) HGBT oleh Komisi VII DPR RI, Eddy mengatakan, pihaknya sudah bertemu dengan Komisi VII, namun hingga kini belum ada realisasinya.
Sekjen IPGI, Andi Rahman menambahkan, program HGBT selama ini juga tidak memberikan manfaat. Ia mencontohkan, harga pupuk mahal dan tarif listrik tidak turun, padahal kedua sektor yang termasuk mendapat manfaat dari HGBT.
“Padahal harga gas sudah murah, tapi tarif listrik tidak pernah turun. Begitu juga pupuk langka dan mahal bagi petani,” imbuhnya.
Harga Gas Bumi Indonesia Termurah di Asia
Pemerintah Indonesia sejak tahun 2016 telah berkomitmen untuk meringankan beban industri dengan menurunkan harga gas bumi.
Upaya ini pertama kali diwujudkan pada tahun 2020 melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM nomor 89 dan 91, di masa pandemi COVID-19. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu industri yang tengah menghadapi kesulitan.
Sekjen Ikatan Pengusaha Gas Bumi Indonesia (IPGI), Andi Rahman, menjelaskan bahwa untuk menurunkan harga gas bumi, pemerintah melakukan pengaturan harga dari sektor hulu hingga hilir. Namun, dampak terbesar dirasakan di sektor hilir.
“Konsepnya pemerintah tidak akan mengurangi penerimaan di sektor hulu kecuali penerimaan negara. Di hulu ini, yang dikurangin hanya penerimaan negara, perusahaan kontraktor tidak dikurangi,” jelas Andi di acara konferensi pers di kawasan Jakarta Timur, Jumat, 28 Juni 2024.
Pengurangan biaya di sektor hilir cukup signifikan, dengan harga gas yang sebelumnya berada di kisaran USD9-10 dapat diturunkan menjadi USD6. Penurunan harga ini mencapai 30-40 persen, sebuah langkah yang belum pernah terjadi di belahan bumi manapun.
“Ini belum pernah terjadi di belahan bumi manapun, harga gas bisa turun sebanyak 30-40 persen,” ujar Andi.
Adapun dia mengatakan harga gas untuk industri di Indonesia kini menjadi yang paling murah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya.
Berdasarkan data yang dia paparkan pada tahun 2023-2024, harga rata-rata regional gas bumi di Asia mencapai USD10,7-11,6 per barel. Sedangkan di Indonesia harganya hanya USD6,3 per barel.
“Kita bandingkan dengan tetangga terdekat kita saja, Malaysia, harga di sana USD10 dan USD9,4 (per barel), sangat jauh dibandingkan dengan harga di Indonesia,” kata dia.
Dia pun mengklaim, gas bumi di Indonesia adalah yang paling murah di Asia. Karena itu menurutnya, kebijakan HGBT sudah tidak diperlukan.
“Harusnya kalau kita tidak pakai HGBT (USD6/barel), tapi pakai harga khusus, misal USD8-9, sebenernya itu sudah cukup murah,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum IPGI, Eddy Asmanto, menyoroti tantangan lain yang dihadapi industri gas bumi, yakni fluktuasi nilai tukar rupiah. Eddy menjelaskan bahwa meskipun ada peraturan Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan transaksi di dalam negeri menggunakan rupiah, pembelian gas dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) tetap menggunakan dolar AS, sementara penjualan ke konsumen dilakukan dengan rupiah.
“Khusus untuk gas, kita membeli gas dari K3S tetap menggunakan mata uang dolar AS. Tapi kita harus menjual kepada konsumen dengan rupiah,” kata Eddy.
Menurut Eddy, pembelian dengan dolar AS dan penjualan dengan rupiah menyebabkan kerugian akibat fluktuasi nilai tukar. Ia mencontohkan, ketika nilai tukar rupiah berada di level Rp16.000 per dolar AS dan kemudian turun menjadi Rp15.000, pihaknya mengalami kerugian.
“Sehingga ketika nilai tukar rupiah berfluktuasi, kita selalu mendapatkan kerugian dari selisih dalam kurs. Jadi ya itu (nilai tukar rupiah) sangat berpengaruh,” ucapnya.
Eddy juga menilai pemerintah memiliki sikap standar ganda terkait transaksi dalam industri gas bumi.
“Ada selisih kurs, kita beli menggunakan dolar AS, tapi jual harus dengan rupiah. Menurut kami ini kan standar,” pungkasnya.
Pada Jumat, 28 Juni 2024, nilai tukar dolar berada di posisi Rp16.366-an, menguat 0,76 persen secara bulanan dan 6,32 persen sejak awal tahun. Fluktuasi ini menambah beban bagi industri gas bumi yang harus terus beradaptasi dengan perubahan ekonomi global. (*)