KABARBURSA.COM - China mengeluarkan jurus baru pada Senin, 13 Januari 2025, untuk membendung pelemahan yuan yang tertekan hingga ke level terendah dalam 16 bulan terakhir terhadap dolar AS. Langkah terbaru ini di antaranya melonggarkan aturan agar perusahaan bisa meminjam lebih banyak dana dari luar negeri serta memberi peringatan tegas di pasar valuta asing.
Pelemahan yuan dipicu tiga faktor utama, yakni dolar AS yang makin perkasa, penurunan imbal hasil obligasi China, dan ketegangan dagang yang terus meningkat dengan berbagai negara.
Bank Sentral China atau People’s Bank of China (PBOC) mengumumkan kenaikan batas pinjaman luar negeri bagi korporasi. Dilansir dari Reuters di Jakarta, Senin, rasio penilaian makroprudensial (MPA)—yang menentukan batas maksimal pinjaman dibandingkan aset bersih perusahaan—dinaikkan dari 1,5 menjadi 1,75, efektif mulai saat ini.
Dalam pernyataannya bersama regulator valuta asing, PBOC menjelaskan kebijakan ini bertujuan “meningkatkan manajemen pembiayaan lintas batas, menambah sumber dana asing bagi perusahaan dan lembaga keuangan, serta membantu mereka mengelola aset dan kewajiban dengan lebih baik.”
Komite Valuta Asing China juga menegaskan komitmennya untuk menjaga nilai tukar yuan tetap stabil pada level yang wajar dan seimbang. Komite ini berada di bawah naungan Bank Sentral dan regulator valuta asing.
Pernyataan itu juga menyebutkan otoritas moneter akan memperkuat ketahanan pasar valas, mengelola pasar secara ketat, dan mengatasi perilaku yang memperburuk volatilitas pasar. Selain itu, risiko pelemahan nilai tukar secara berlebihan akan dicegah.
Di Hong Kong, Gubernur PBOC Pan Gongsheng menegaskan kembali keyakinannya bahwa China memiliki kepercayaan diri, kondisi, dan kemampuan untuk menjaga stabilitas pasar valuta asing. Ia menekankan komitmen untuk menjaga nilai tukar yuan tetap stabil pada level yang wajar.
“Langkah ini sinyal kuat untuk menstabilkan yuan,” kata Kepala Strategi Valas Asia di Mizuho Bank, Ken Cheung.
Namun, Cheung melihat dampaknya terhadap aliran modal dan nilai tukar kemungkinan tetap terbatas, mengingat biaya pembiayaan domestik yang masih rendah. Ia juga memperkirakan regulator akan terus mengandalkan pengaturan nilai tengah harian untuk menstabilkan mata uang dan mengarahkan ekspektasi pasar.
Hari ini, mata uang yuan di pasar China sempat diperdagangkan di posisi 7,3315 per dolar AS, tak jauh dari level terendah 16 bulan di angka 7,3328 yang tercapai pada Jumat pekan lalu. Sejak Donald Trump memenangkan pemilu pada November, yuan sudah kehilangan lebih dari 3 persen terhadap dolar AS.
Sejak pertengahan November, PBOC menetapkan nilai tengah resmi yuan di atas level kunci 7,2—lebih kuat dari proyeksi pasar. Banyak pedagang dan analis yang menilai ini sebagai tanda bahwa bank sentral mulai cemas dengan pelemahan yuan yang terus berlanjut.
PBOC pekan lalu mengumumkan akan menjual surat utang berdenominasi yuan senilai 60 miliar yuan (sekitar Rp960 triliun) di Hong Kong pada 15 Januari. Ini merupakan jumlah terbesar sejak mereka mulai menjual surat utang semacam itu di Hong Kong pada 2018. Penjualan surat utang ini bertujuan menyerap likuiditas di pasar dan mengurangi spekulasi terhadap pelemahan yuan.
Dolar Menggila, Rupiah Tertekan ke Level Rp16.291
[caption id="attachment_85807" align="alignnone" width="2165"] Pegawai menghitung uang dengan mesin hitung saat melayani pengunjung yang membeli Uang Dollar Singapura di La Tunrung Money Changer Juanda, Kamis (19/9/2024). foto: Kabar Bursa/abbas sandji[/caption]
Di Indonesia, nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar AS dan diperdagangkan di posisi Rp16.291 per USD pada siang ini. Mengutip data Investing, angka ini naik 111 poin atau 0,69 persen dibandingkan penutupan sebelumnya di Rp16.180.
Kisaran perdagangan harian menunjukkan rentang Rp16.180 hingga Rp16.317. Sementara itu, selama setahun terakhir, rupiah pernah menyentuh titik terendah Rp15.065 dan level tertinggi Rp16.489. Di awal tahun ini, data ketenagakerjaan AS menjadi ancaman nyata bagi nilai rupiah.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menilai data penggajian nonpertanian AS memicu keresahan di pasar. Pasalnya, data tersebut akan menjadi pertimbangan penting dalam proyeksi kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed).
Selain itu, beberapa pejabat The Fed mulai menyampaikan kekhawatiran perihal potensi tekanan inflasi yang muncul dari kebijakan proteksionis dan ekspansif yang diusung oleh Presiden terpilih Donald Trump. Ketidakpastian terkait rencana kebijakan Trump diperkirakan akan semakin meningkat menjelang pelantikannya pada 20 Januari 2025.
“Para pembuat kebijakan (The Fed) akan berhati-hati dalam memangkas suku bunga lebih lanjut, di tengah inflasi yang lesu dan tanda-tanda ketahanan di pasar tenaga kerja,’’ kata Ibrahim dalam risetnya, Jumat, pekan lalu.
Di sisi lain, Ibrahim mencatat inflasi China yang rendah serta ancaman kenaikan tarif dari AS justru mendorong ekspektasi adanya tambahan stimulus ekonomi. Sementara itu, dari dalam negeri, program Makan Bergizi Gratis diperkirakan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia, meskipun tantangan ke depannya tetap perlu diantisipasi.(*)