Logo
>

Kebijakan Baru Gas Regasifikasi Cekik Industri Keramik

Ditulis oleh Yunila Wati
Kebijakan Baru Gas Regasifikasi Cekik Industri Keramik

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Awal tahun 2025 menjadi masa yang penuh tantangan bagi industri keramik nasional. Tantangan tersebut muncul akibat kombinasi kebijakan baru terkait harga gas regasifikasi, rendahnya daya saing, serta terbatasnya alokasi pemanfaatan gas. Kebijakan ini mengancam keberlanjutan salah satu sektor manufaktur yang selama ini menjadi unggulan ekspor Indonesia.

    Kebijakan kontroversial itu datang dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN), yang menetapkan harga gas regasifikasi sebesar USD16,77 per MMBTU untuk periode 1 Januari hingga 31 Maret 2025. Kebijakan ini mengatur tentang pemakaian gas di atas alokasi gas industri tertentu (AGIT). Di sini, industri diwajibkan membayar sekitar 2,5 kali lipat lebih mahal dibandingkan HGBT.

    Keputusan ini menuai kritik tajam dari Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki). Asosiasi menyebut kebijakan tersebut sangat merugikan para pelaku industri.

    Harga yang jauh lebih tinggi dari harga gas bumi tertentu (HGBT), yang sebesar USD6,5 per MMBTU, menciptakan disparitas biaya yang tidak wajar. Ketua Umum Asaki Edy Suyanto, menyatakan bahwa dengan kebijakan baru ini, harga gas untuk industri keramik menjadi yang termahal di Asia Tenggara, mengakibatkan biaya produksi meningkat tajam.

    Kebijakan ini dianggap sangat mendadak dan tanpa adanya solusi yang jelas bagi industri. Asosiasi menilai kebijakan itu mencerminkan minimnya kepastian hukum dan keadilan bagi para pelaku usaha. Padahal, industri keramik sangat bergantung pada gas sebagai sumber energi utama dalam proses produksinya.

    Asaki telah melayangkan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto, memohon perhatian serius atas situasi genting ini. Mereka berharap pemerintah segera turun tangan untuk menyelesaikan masalah, baik dengan memperbaiki mekanisme pengalokasian gas maupun mengurangi tarif yang dinilai tidak masuk akal.

    Jika situasi ini dibiarkan, potensi kerugian yang diderita pelaku usaha dalam negeri tidak hanya membahayakan kelangsungan usaha, tetapi juga berdampak pada perekonomian secara keseluruhan.

    Dampak kebijakan ini tidak hanya dirasakan pelaku usaha domestik, tetapi juga oleh investor asing yang bergerak di sektor sanitary ware. Beberapa perusahaan multinasional yang menjadi anggota Asaki mulai mempertimbangkan untuk menghentikan ekspansi mereka di Indonesia dan beralih ke negara lain yang menawarkan biaya energi lebih kompetitif. Langkah ini tentu akan menjadi pukulan besar bagi iklim investasi nasional, yang selama ini tengah berupaya menarik lebih banyak penanaman modal asing.

    Jika tidak ada solusi konkret dalam waktu dekat, ancaman serius terhadap industri keramik nasional tak terelakkan. Dengan rendahnya tingkat utilisasi produksi yang kini hanya mencapai sekitar 60 persen dan pembatasan pasokan gas yang kian mahal, harapan pertumbuhan sektor ini semakin pudar.

    Kebijakan harga gas regasifikasi, bila tidak segera dievaluasi, bisa menjadi titik kritis yang memperlemah daya saing Indonesia di tengah kompetisi regional yang semakin ketat.

    Pengusaha Berharap HGBT Diperpanjang

    Beberapa bulan lalu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap adanya keterbatasan gas bumi yang menjadi bahan pokok beberapa industri dalam negeri seperti keramik, kaca, hingga semen.

    Ketua Tim Kerja Pembinaan Indusri Keramik dan Kaca Kemenperin Ashady Hanafie, mengatakan meski pemerintah telah memperpanjang kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan harga USD6 per MMBTU, tidak dapat memenuhi kebutuhan gas industri.

    “Karena ada keterbatasan. Ibaratnya paling banyak 80 persen atau 70 persen, bahkan ada yang kurang sebenarnya,” kata Ashady dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Senior Institute For Develompment of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta, Selasa, 16 Juli 2024.

    Menurut Ashady, hal itu terjadi karena ada pembatasan penggunaan gas bumi yang telah dialokasikan khusus untuk pemerintah. Karenaya, keterbatasan alokasi gas bumi tidak bagi industri tidak bisa memenuhi setiap kebutuh produksi.

    Sebagaimana diketahui, kebijakan HGBT yang resmi diperpanjang pemerintah khusus diperuntukan bagi tujuh sektor industri, yakni pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

    “Alokasi segini, dibagilah untuk seluruh perusahaan itu. Jadi masing-masing dapatnya nggak sama, dan jumlahnya nggak 100 persen yang mereka dapatkan, yang mereka butuhkan,” jelasnya.

    Ashady menuturkan, kebijakan harga gas bumi murah sudah menjadi langkah yang luar biasa. Karena, presentase penggunaan gas bumi cukup meringankan biaya produksi keramik dan semen.

    Ashady juga berharap perpanjangan HGBT segera diberlakukan, sebab kebijakan harga HGBT ditutup pada Desember 2024. Dia juga berharap, HGBT bisa dibagikan secara menyeluruh bagi industri.

    “Kalau dari Pak Menteri (Agus Gumiwang) kan menyebut no one left behind, jadi semuanya kalau bisa diberikan. Itu kan salah satu cara untuk menghndari persaingan yang tidak sehat dalam industri,” jelasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79