KABARBURSA.COM - Menteri Perdagangan Budi Santoso melepas ekspor produk kerajinan dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berasal dari Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan total nilai mencapai USD127.070 atau sekitar Rp2 miliar. Produk-produk kerajinan ini diekspor melalui PT Outof Asia, dengan tujuan ekspor mencakup negara-negara di Amerika, Eropa, dan Timur Tengah.
“Produk-produk yang diekspor berupa keranjang dari eceng gondok dan produk dari marmer yang mencakup peralatan makan, cermin, serta dekorasi rumah lainnya. Pelepasan ekspor produk kerajinan Indonesia tersebut mencerminkan besarnya potensi produk Indonesia dalam merambah pasar global,” ungkap Mendag Budi.
Mendag Budi menekankan bahwa Kementerian Perdagangan terus berkomitmen untuk meningkatkan ekspor produk Indonesia agar semakin banyak tersebar di pasar dunia. “Upaya ini ditempuh melalui sinergi pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha,” tambahnya.
PT Out of Asia adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor kerajinan tangan dan dikenal sebagai eksportir yang aktif. Perusahaan ini bertindak sebagai penghubung antara perajin di berbagai daerah di Indonesia dengan pasar internasional. Pada periode Januari hingga Oktober 2024, perusahaan ini telah mencatatkan ekspor senilai USD 8 juta. Mendag Budi berharap pencapaian ekspor ini dapat memotivasi lebih banyak pelaku usaha kerajinan untuk memasuki pasar ekspor.
Untuk memperkuat kinerja perdagangan Indonesia, khususnya dalam meningkatkan ekspor, Kemendag telah merancang tiga program utama. Ketiga program tersebut meliputi Pengamanan Pasar Dalam Negeri, Perluasan Pasar Ekspor, dan Peningkatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berani Inovasi, Siap Adaptasi Ekspor (UMKM BISA Ekspor). Mendag Budi menjelaskan bahwa pengamanan pasar dalam negeri dilakukan dengan memanfaatkan potensi pasar domestik agar Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Perluasan pasar ekspor menjadi salah satu fokus utama yang dapat dicapai dengan membuka pasar baru melalui perjanjian perdagangan.
Mengenai program UMKM BISA Ekspor, program ini difokuskan pada peningkatan kapasitas ekspor UMKM dengan pendekatan berbasis sumber daya serta berbasis pasar. Mendag Budi menjelaskan bahwa kapasitas ekspor UMKM dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan Indonesia Design Development Center (IDDC), melatih eksportir UMKM baru, dan menyinergikan lembaga yang membina UMKM.
“Kami juga memiliki program pendampingan desain. Desain-desain yang telah didampingi nantinya akan ditampilkan di pameran ekspor terbesar di Indonesia, yaitu Trade Expo Indonesia,” tambah Mendag Budi.
Mendag Budi juga mengajak semua pihak untuk berkontribusi dalam meningkatkan ekspor Indonesia. “Salah satu kontribusi yang bisa kita lakukan untuk menyongsong Indonesia maju 2045 adalah meningkatkan ekspor kita,” pungkas Mendag Budi.
PPN 12 Persen terhadap UMKM
Pemerintah berencana menaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen pada awal 2025. Kebijakan ini menuai kritik dari pelaku usaha UMKM. Mereka khawatir regulasi tersebut akan mempengaruhi suplai dan permintaan barang penjualan.
Jika kebijakan ini tetap diberlakukan, pemerintah membuat kebijakan yang berpihak pada pelaku UMKM. Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak, mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan tarif khusus pada UMKM.
“(Kasih) tarif PPN lebih rendah untuk UMKM. Pemerintah dapat mempertimbangkan tarif PPN khusus bagi UMKM, misalnya 6 persen hingga 10 persen sehingga beban tidak terlalu berat dibandingkan perusahaan besar,” kata Amin kepada Kabarbursa.com, Senin, 25 November 2024.
Selain tarif rendah, pemerintah juga perlu memberikan insentif seperti pengurangan pajak penghasilan (PPh) serta subsidi biaya produksi yang dapat membantu UMKM tetap kompetitif. Hal lain yang perlu diberikan adalah edukasi, pelatihan, administrasi, hingga manajemen pajak bagi pelaku UMKM untuk mampu beradaptasi dengan kenaikan PPN.
Tak hanya itu, Amin menyarankan pemerintah memberikan subsidi digitalisasi. Langkah digitalisasi perlu dilakukan untuk mendorong pemanfaatan teknologi dalam pencatatan UMKM. “UMKM dapat didorong untuk menggunakan teknologi dalam pencatatan transaksi dan manajemen pajak, misalnya melalui subsidi perangkat lunak akuntansi,” katanya.
Terakhir, Amin menilai pemerintah perlu memberi akses pembiayaan murah. Hal itu dinilai perlu untuk mempermudah akses kredit dengan bunga rendah yang dapat membantu UMKM mengatasi dampak kenaikan biaya operasional akibat tingginya ketetapan PPN.
Selain UMKM, Sektor Lain Juga Bakal Terdampak
Sejumlah sektor diperkirakan bakal terkena dampak negatif akibat Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang direncanakan mulai berlaku pada Januari 2025. Head of Research NH Korindo Sekuritas, Liza Camelia mengatakan kenaikan PPN kemungkinan akan mengganggu kinerja barang-barang mewah di sektor otomotif maupun properti.
“Yang kena (imbas PPN 12 persen) itu barang-barang mahal seperti mobil dan properti,” ujarnya kepada Kabarbursa.com dikutip, Jumat, 22 November 2024.
Liza menjelaskan PPN sebesar 12 persen bisa membuat daya beli masyarakat tergerus. Sebab, barang-barang yang terdampak kenaikan tersebut bisa lebih mahal. Apalagi untuk properti, kata dia, sektor ini masih memiliki kinerja yang lemah dan diperkirakan masih akan terjadi hingga pertengahan atau akhir 2025 mendatang.
Padahal, sektor properti baru saja tersengat sentimen positif setelah adanya wacana program tiga juta rumah hingga turunnya suku bunga acuan atau BI Rate. “Properti memang kita lihat so far masih agak lemah, mungkin sampai 2025. I’m not sure pertengahan atau akhir, menunggu suku bunga lebih banyak turun lagi dan insentif diperpanjang oleh pemerintah,” jelas Liza.
Di sisi lain, Liza beranggapan jika kenaikan PPN tahun depan sebuah delima bagi pemerintah. Di samping ancaman turunnya daya beli masyarakat, kenaikan PPN bisa untuk menalangi defisit anggaran yang mungkin akan terjadi akibat salah satunya kebijakan makan siang gratis. (*)