KABARBURSA.COM - Di tengah melemahnya permintaan global terhadap minyak sawit (CPO) dan turunannya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indonesia sedang mempertimbangkan penyesuaian besaran bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE). Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Isy Karim, mengungkapkan bahwa pemerintah sedang mengevaluasi usulan penyesuaian tersebut, yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing minyak sawit di pasar internasional.
"Proses pengkajian sedang berlangsung di kementerian dan lembaga terkait untuk menentukan penyesuaian besaran BK dan penurunan tarif PE," jelas Isy Karim, seperti dikutip pada Minggu, 25 Agustus 2024.
Penyesuaian ini diharapkan dapat memastikan program replanting sawit rakyat serta pencapaian target B35 berjalan dengan baik.
Isy juga menambahkan bahwa Kemendag mendukung penetapan BK dan PE yang lebih dinamis, menyesuaikan dengan harga CPO dan minyak nabati di pasar global.
"Ketika harga CPO lebih tinggi daripada minyak nabati lain, kita akan menurunkan BK dan PE. Sebaliknya, jika harga CPO lebih rendah, penyesuaian tarif akan diperlukan," katanya.
Selain itu, penaikan harga eceran tertinggi (HET) untuk Minyakita dari Rp14.000 menjadi Rp15.700 per liter dalam Permendag No.18/2024 diharapkan dapat mengurangi biaya ekspor.
"Penyesuaian HET ini dapat membantu meringankan biaya ekspor, karena setiap ekspor memerlukan DMO Minyakita," imbuh Isy.
Namun, situasi global yang belum stabil telah mempengaruhi permintaan minyak sawit, seperti diungkapkan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono. Eddy mengakui bahwa persaingan harga yang semakin ketat dengan minyak nabati lainnya, seperti minyak biji bunga matahari yang kini lebih murah, telah menekan harga CPO Indonesia.
"Kondisi ini membuat beberapa konsumen, yang sebelumnya menjadi importir terbesar CPO Indonesia, beralih ke minyak nabati lain," kata Eddy.
Untuk mengatasi tantangan ini, Eddy mengusulkan beberapa strategi kepada pemerintah, termasuk penyesuaian PE, BK, dan DMO.
"Dengan penyesuaian ini, harga minyak sawit Indonesia akan lebih kompetitif di pasar global," ujarnya.
Saat ini, pemerintah menetapkan harga referensi CPO pada Agustus 2024 sebesar USD820,11 per ton, dengan besaran PE USD85 per ton dan BK USD33 per ton. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai ekspor CPO pada Juli 2024 mengalami penurunan, baik secara bulanan maupun tahunan.
Nilai ekspor turun 36,37 persen dari Juni 2024 dan 39,22 persen dibandingkan Juli 2023. Total volume ekspor CPO dan turunannya juga menurun menjadi 1,62 juta ton dari 2,67 juta ton pada bulan sebelumnya. Sementara itu, harga CPO global pada Juli 2024 mengalami sedikit peningkatan menjadi USD856,66 per ton dari USD814,93 per ton pada bulan sebelumnya.
Harga CPO Terus Turun
Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) kembali mengalami penurunan pada Selasa, 13 Agustus 2024, menunjukkan bahwa tren negatif yang melanda komoditas ini belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Pada hari tersebut, harga CPO untuk kontrak pengiriman bulan Oktober di Bursa Malaysia tercatat sebesar MYR 3.689 per ton. Angka ini mengalami penurunan sebesar 0,51 persen dibandingkan dengan harga pada hari sebelumnya, dan merupakan level terendah yang tercatat sejak 5 Januari 2024, yaitu lebih dari tujuh bulan terakhir.
Selama sepekan terakhir, harga CPO menunjukkan penurunan sebesar 0,49 persen secara point-to-point. Jika dibandingkan dengan sebulan yang lalu, penurunan harga mencapai 5,31 persen, mencerminkan tren penurunan yang konsisten dan berkelanjutan. Koreksi harga ini terutama disebabkan oleh ekspektasi terhadap penurunan permintaan global yang mempengaruhi pasar CPO.
Menurut laporan dari Societe Generale de Surveillance (SGS), ekspor CPO Malaysia untuk periode 1-10 Agustus 2024 diperkirakan mencapai 489.898 ton, yang menunjukkan penurunan sebesar 13,2 persen dibandingkan dengan periode yang sama bulan sebelumnya. Penurunan ini mencerminkan berkurangnya permintaan global, yang berdampak langsung pada harga CPO.
Faktor lain yang turut mempengaruhi harga CPO adalah pergerakan harga minyak nabati lainnya. Pada hari yang sama, harga minyak kedelai mengalami penurunan signifikan di bursa Dalian (China) dan Chicago Board of Trade (Amerika Serikat) masing-masing sebesar 2,44 persen dan 1,53 persen. Penurunan ini menunjukkan tekanan serupa pada pasar minyak nabati secara umum, yang turut mempengaruhi daya tarik CPO.
Harga minyak rapeseed juga mengalami penurunan sebesar 1,68 persen. Ketika harga minyak nabati pesaing mengalami penurunan, daya tarik CPO sebagai alternatif bahan baku juga cenderung menurun. Hal ini mengurangi keuntungan yang bisa diperoleh dari penggunaan CPO, menambah tekanan pada harga komoditas ini.
Dengan berbagai faktor yang mempengaruhi harga, termasuk ekspektasi penurunan permintaan dan pergerakan harga minyak nabati pesaing, tampaknya harga CPO akan terus berada di bawah tekanan dalam waktu dekat. Para pelaku pasar perlu memantau perkembangan ini secara cermat untuk memahami dampaknya terhadap pasar minyak sawit global.
Pada perdagangan sebelumnya, yaitu Senin, 12 Agustus 2024, harga CPO mengalami penurunan signifikan. Di Bursa Malaysia, harga CPO untuk kontrak pengiriman Oktober ditutup di MYR 3.709 per ton, anjlok 1,01 persen dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan sebelumnya. Penurunan ini menambah tren negatif yang telah menghinggapi pasar CPO dalam beberapa waktu terakhir. Dalam sepekan terakhir, harga CPO mengalami penurunan sebesar 2,09 persen secara point-to-point, dan selama sebulan terakhir, harga telah jatuh sebesar 4,8 persen. Tren penurunan harga ini mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap penurunan permintaan global serta melimpahnya pasokan.
Ekspektasi penurunan permintaan menjadi faktor utama yang menekan harga CPO. AmSpec Agri Malaysia memperkirakan ekspor CPO Malaysia pada periode 1-10 Agustus mengalami penurunan sebesar 17,7 persen dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya. Sementara itu, Intertek Testing Services memperkirakan penurunan ekspor sebesar 12,2 persen. Penurunan permintaan ini berkontribusi signifikan terhadap koreksi harga CPO yang terlihat.
Di sisi lain, pasokan CPO juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Produksi CPO Malaysia pada bulan Juni melonjak 13,97 persen dibandingkan bulan sebelumnya, menambah tekanan pada harga komoditas ini. Melimpahnya pasokan di tengah penurunan permintaan global menyebabkan ketidakstabilan harga dan menciptakan ketidakseimbangan dalam pasar.(*)