KABARBURSA.COM - Setelah sempat mengalami tekanan tajam pada awal tahun, Kementerian Keuangan mengklaim penerimaan pajak nasional mulai menunjukkan pemulihan signifikan pada Maret 2025. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu menyebutkan bahwa tren penerimaan pajak pada bulan tersebut sudah kembali mencatat pertumbuhan positif secara tahunan (year on year/YoY).
"Kita melihat di bulan Maret-nya, penerimaan pajak itu sudah positif year on year-nya. Nanti kita akan detailkan lagi," ujar Febrio usai menghadiri rapat koordinasi di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, kemarin. Selasa 8 April 2025.
Febrio belum merinci nilai pastinya, namun mengisyaratkan bahwa titik balik sudah tercapai, setelah sebelumnya penerimaan negara sempat tertekan akibat restitusi besar-besaran dan dampak dari kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) untuk PPh 21. Kebijakan tersebut sempat membuat kelebihan bayar pajak meningkat, sehingga penerimaan dua bulan pertama tahun ini tercatat lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu.
Sebagai informasi, per Februari 2025, penerimaan pajak baru mencapai Rp187,8 triliun atau anjlok 30,2 persen dari capaian Februari 2024 yang sebesar Rp269,02 triliun. Jika dibandingkan dengan Maret 2024 yang mencatat penerimaan hingga Rp393,91 triliun, maka untuk mendukung klaim pemulihan tersebut, penerimaan pada Maret 2025 perlu tembus lebih dari Rp207 triliun.
Menurut Febrio, tekanan dari sisi restitusi dan kelebihan bayar kini mulai mereda. Situasi ini memberi ruang bagi pemulihan penerimaan secara struktural. Ia juga menegaskan komitmen Kemenkeu untuk menjaga posisi fiskal tetap kredibel, terutama melalui penguatan sisi pendapatan negara.
"Kami terus menjaga postur fiskal tetap sehat," tegasnya.
Pajak Anjlok Fiskal dalam Tekanan
Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak menilai kondisi keuangan negara saat ini mengkhawatirkan. Hal itu merespons data Kementerian Keuangan terkait defisit APBN yang mencapai Rp 31,3 triliun per Februari 2025.
Defisit di awal tahun ini merupakan yang pertama dalam empat tahun terakhir, terutama disebabkan oleh merosotnya penerimaan pajak hingga 41,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
"Kami sangat prihatin dengan tren fiskal ini. Turunnya penerimaan pajak secara drastis bukan hanya mengancam keberlanjutan anggaran negara. Tetapi juga bisa berdampak luas pada perekonomian nasional, stabilitas nilai tukar, dan kepercayaan investor," ujar Amin kepada awak media di Jakarta, Jumat, 14 Maret 2025.
Menteri Keuangan mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama penurunan pajak adalah gangguan teknis pada sistem Coretax, yang menghambat proses administrasi perpajakan.
Amin menegaskan bahwa permasalahan ini tidak boleh dipandang sebelah mata dan harus segera diselesaikan dengan tindakan nyata.
"Kalau sistem perpajakan baru justru menyebabkan penerimaan negara terjun bebas, ini tanda bahwa ada kesalahan serius dalam perencanaannya. Pemerintah harus segera memastikan Coretax bisa berjalan optimal. Kalo tidak, pemerintah harus menyiapkan mekanisme darurat agar pengumpulan pajak tidak terus terganggu," tegasnya.
Di sisi lain, lemahnya penerimaan pajak juga mencerminkan perlambatan ekonomi yang berdampak pada pajak korporasi dan PPN. Jika kondisi ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan defisit APBN akan melebihi target Rp 612,2 triliun (2,53 persen dari PDB) tahun ini.
Selain itu, keterlambatan publikasi laporan APBN KiTa untuk Januari-Februari 2025 turut menimbulkan kekhawatiran terkait transparansi dalam pengelolaan fiskal.
Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR menegaskan bahwa keterbukaan data keuangan negara sangat krusial untuk menjaga kepercayaan publik dan investor.
"Kita tidak ingin ada spekulasi negatif akibat keterlambatan informasi. Menteri Keuangan harus lebih transparan dan responsif dalam menyampaikan kondisi fiskal negara agar pasar dan dunia usaha dapat mengantisipasi risiko dengan baik," katanya.
BAKN DPR RI berkomitmen untuk mengawal kebijakan ekonomi nasional agar tetap berada di jalur yang sehat dan berkelanjutan.
"Kami akan terus mengawasi dan memberikan masukan kepada pemerintah agar kebijakan fiskal kita tidak hanya sekadar memenuhi target angka. Tetapi benar-benar memperkuat ekonomi nasional secara menyeluruh," pungkasnya.
Kontribusi Penurunan Penerimaan Pajak
Defisit fiskal yang kian melebar telah mendorong pemerintah untuk mengambil langkah agresif dalam meningkatkan penerimaan pajak. Salah satu kebijakan yang diambil adalah mengejar 2.000 wajib pajak yang dianggap berkontribusi pada penurunan penerimaan pajak.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai kebijakan ini hanya menargetkan kuantitasnya saja, sementara masalah penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi bawah tanah (underground economy) jauh lebih kompleks dan melibatkan ribuan bahkan jutaan pelaku ekonomi informal. Dengan fokus yang terlalu sempit, kebijakan ini mengabaikan pelaku usaha mikro dan kecil yang juga berkontribusi pada kebocoran pajak.
“Padahal, sektor informal ini justru menjadi salah satu penyebab utama rendahnya basis penerimaan pajak,” ujar Achmad kepada Kabarbursa.com, Senin 17 Maret 2025.
Di samping itu, menurutnya dengan pemerintah yang hanya berfokus pada 2.000 wajib pajak. Seakan-akan mereka mengabaikan realitas bahwa penerimaan pajak sangat dipengaruhi oleh faktor struktural, seperti sistem perpajakan yang tidak adaptif, integrasi data yang lemah, dan birokrasi yang rumit.
Masalah seperti integrasi data yang lemah, birokrasi yang rumit, dan tarif pajak yang tidak kompetitif turut berkontribusi pada rendahnya kepatuhan pajak.
“Kebijakan mengejar 2.000 wajib pajak tidak menyentuh masalah-masalah struktural ini, sehingga hanya menjadi solusi jangka pendek yang tidak berkelanjutan,” jelas dia.
Oleh karena itu menurutnya kebijakan ini berisiko menekan kelas menengah yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi. Jika kelompok ini dibebani pajak yang lebih tinggi, daya beli mereka bisa semakin tergerus, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
“Alih-alih menargetkan kelas menengah, pemerintah seharusnya fokus pada kelompok oligarki atau sektor-sektor yang selama ini kurang berkontribusi secara proporsional,” terangnya.(*)