KABARBURSA.COM - Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan tetap memberikan fasilitas bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang dan jasa yang bersifat strategis. Barang dan jasa tersebut berupa makanan, transportasi, pendidikan, kesehatan, listrik air dan jasa keuangan atau asuransi.
Fasilitas bebas PPN ini diberikan seiring dengan pemberlakuan PPN 12 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP.
Insentif ini diberikan agar kenaikan PPN dari 11 ke 12 persen tidak menyebabkan kenaikan harga barang tidak terlalu signifikan di tingkat konsumen.
Selain dengan barang dan jasa yang sifatnya strategis, Kemenperin juga mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk masyarakat dengan kategori, rumah tangga miskin, kelas menengah, pelaku usaha yang meliputi UMKM, industri dan wirausaha.
Sektor lain yang juga mendapat insentif adalah manufaktur. Pemberian insentif dilakukan untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas serta menjaga daya beli masyarakat.
Di sektor otomotif, pemerintah juga memberi insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) dan bebas biaya masuk untuk otomotif. Insentif ini diklaim mampu menjaga daya beli masyarakat, terutama di kelas menengah serta meningkatkan ekosistem kendaraan listrik.
“Pemerintah memberikan perhatian besar terhadap sektor manufaktur, termasuk stimulus otomotif yang diketahui sedang mengalami tekanan dari sisi penjualan,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangannya, dikutip Minggu, 22 Desember 2024.
Di sektor industri padat karya, pemerintah memberikan skema khusus untuk membantu pelaku industri memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam revitalisasi mesin dan meningkatkan produktivitas.
“Skema ini ditujukan untuk kredit investasi dengan mengakomodasi kebutuhan Kredit Modal Kerja. Dengan kisaran plafon kredit tertentu, pemerintah memberikan subsidi bunga sebesar 5 persen,” papar Agus Gumiwang.
Menperin juga menyatakan akan memberikan insentif PPN 1 persen DTP untuk produk manufaktur yang menjadi kebutuhan dasar seperti halnya tepung terigu, gula industri.
Kemenperin memprakirakan kebutuhan minyak goreng pada tahun 2025 mencapai 175.000 ton per bulan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp15.700 per liter. Sementara kebutuhan terigu dan diproyeksikan sebesar 6,6 juta ton dengan harga rata-rata Rp13.139 per kg.
Industri gula industri juga bakal mendapat insentif PPN 1 persen. Selain membantu industri makanan dan minuman, insentif ini juga diberikan sebagai bentuk mendorong kontribusi sektor gula industri dapat mencapai 36,3 persen.
PPN 12 Persen Tingkatkan Pengangguran
Diberitakan sebelumnya, ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengingatkan bahwa kenaikan PPN 12 persen yang diberlakukan pemerintah berpotensi meningkatkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), khususnya di sektor industri padat karya yang tengah tertekan.
Menurut Faisal, meskipun pemerintah memberikan sejumlah insentif untuk sektor ini, kondisi industri padat karya sudah sangat tertekan dengan penurunan permintaan.
Salah satu dampaknya adalah penurunan daya beli kelas menengah yang merupakan konsumen utama bagi produk industri padat karya, termasuk pakaian, alas kaki, dan produk tekstil lainnya.
Faisal menekankan bahwa permintaan yang terus menurun telah menyebabkan perlambatan penjualan yang signifikan, dari pertumbuhan 3,2 persen menjadi hanya 2 persen saja.
“Industri padat karya saat ini berada dalam kondisi yang sangat terjepit. Dengan kenaikan PPN 12 persen dan adanya kebijakan lain seperti kenaikan upah minimum 6,5 persen, sektor ini berisiko mengalami lebih banyak PHK,” ujar Faisal beberapa waktu lalu.
Faisal menilai bahwa meskipun insentif yang diberikan pemerintah untuk sektor ini penting, tetapi hal itu belum cukup untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan dari penurunan daya beli masyarakat, terutama di kelas menengah.
Tanpa adanya langkah yang lebih efektif dan penanganan masalah permintaan, dia khawatir sektor padat karya akan semakin terpuruk.
Di sisi lain, Faisal juga menyoroti bahwa kebijakan PPN 12 persen harus diperhatikan dengan cermat agar tidak semakin memperburuk kondisi industri-industri yang sudah ‘in injury’ atau tertekan. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah dalam upaya mendukung pemulihan ekonomi yang lebih merata.
“Jika kebijakan tidak hati-hati, kita bisa melihat dampak yang lebih buruk lagi bagi lapangan pekerjaan di sektor ini. Perusahaan-perusahaan yang berorientasi pada produksi barang konsumsi kelas menengah akan sangat terpengaruh,” jelasnya.
Faisal mengingatkan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan kondisi pasar dan dampak dari kebijakan tersebut secara menyeluruh, agar tidak hanya berfokus pada aspek fiskal, tetapi juga pada kelangsungan industri dan lapangan pekerjaan di sektor padat karya. (*)