KABARBURSA.COM - Kepala Desa Batu Lintang, Kalimantan Barat, Ray Mundus, menyatakan pihaknya telah menerima Sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) untuk ‘Tanah Ulayat’ dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Kata Ray, Desa Baru Lintang dihuni oleh 184 Kepala Keluarga (KK) dengan total 578 jiwa.
“Sertifikat tanah ini sangat penting bagi keberlangsungan kami masyarakat hukum adat. Dengan memiliki sertifikat, maka dasar hukumnya jelas, ada kekuatan hukum yang bisa kita pegang,” kata Ray Mundus Kepala Desa Batu Lintang, Minggu, 8 September 2024.
Dengan sertifikat ini, Ray menyebutkan, maka masyarakat Desa Batu Lintang maka bisa digunakan untuk hunian dan aktivitas perekonomian.
“Pengelolaannya nanti akan kita atur bersama. Karena ini Tanah Ulayat, jadi tidak boleh diklaim milik individu. Ini milik komunal,” jelas Ray Mundus.
Untuk diketahui, ‘Tanah Ulayat’ adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Ray menjelaskan, sebelum mendaftarkan Tanah Ulayat, seluruh masyarakat adat di wilayahnya telah bersepakat untuk menjadi tanah tersebut sebagai ruang edukasi bagi generasi mendatang.
“Supaya generasi selanjutnya tetap bisa tahu dan pelajari ragam kayu-kayu, jenis tanaman. Tanah Ulayat ini ditumbuhi tempat bermacam-macam tumbuhan langka. Sangat penting buat kita, tidak hanya sepakat menjaga tumbuhannya, tapi juga memperkaya ragam tanaman dan memberi edukasi kepada masyarakat,” ucap Ray.
Penyerahan sertifikat Tanah Ulayat ini diserahkan langsung oleh Menteri ATR/Kepala BPN Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), termasuk bagi Masyarakat Hukum Adat Menua Kulan dan Iban Menua Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Bakal Bagikan 978.108 Hektar Tanah ke Rakyat
Beberapa waktu lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan pemerintah berencana akan melakukan redistribusi 978.108 hektar tanah kepada rakyat.
Tanah ini berasal dari kawasan hutan negara yang sudah dikonversi dan tidak lagi produktif. Kesepakatan ini dihasilkan dalam rapat koordinasi reforma agraria yang berlangsung di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Selasa, 7 Mei 2019.
Siti Nurbaya menyatakan bahwa 978.108 hektar lahan tersebut tersebar di 20 provinsi di Indonesia.
“Tadi dibahas tentang bagaimana mekanisme untuk melakukan redistribusinya,” ungkap Siti Nurbaya.
Sebelum melaksanakan redistribusi, pemerintah ingin memastikan adanya mekanisme yang jelas. Oleh karena itu, pemerintah daerah akan diminta untuk menyusun proposal yang berisi program-program serta rincian redistribusi lahan kawasan hutan tersebut.
Proposal tersebut harus mencakup siapa saja dan berapa jumlah kepala keluarga (KK) yang berhak menerima tanah tersebut.
“Yang dicadangkan ini bagaimana dia untuk redistribusinya kepada masyarakat kan harus jelas programnya, harus ada proposalnya dari pemerintah daerah,” ujar Siti.
Program-program yang akan diusulkan dapat mencakup berbagai sektor seperti pertanian terpadu, fasilitas umum, fasilitas sosial, perikanan, peternakan, wisata alam, dan lain-lain.
Sementara itu, petugas Kementerian Agraria dan Tata Ruang di tingkat daerah bersama pemerintah daerah akan mendata jumlah kepala keluarga (KK) di sekitar kawasan hutan tersebut. Mereka akan menghitung berapa KK yang akan mendapatkan tanah, termasuk jumlah luas tanah yang akan diberikan, dengan mempertimbangkan kondisi di masing-masing daerah.
Dengan adanya redistribusi tanah ini, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan lahan tersebut untuk berbagai kegiatan produktif yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian lokal.
Pemerintah juga berharap langkah ini dapat mengurangi ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia serta mendukung program reforma agraria yang berkeadilan.
Redistribusi tanah ini juga dapat mendukung berbagai program pembangunan yang berkelanjutan di daerah, termasuk pengembangan sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan pariwisata alam.
Selain itu, pemerintah juga akan menyediakan fasilitas umum dan sosial yang diperlukan untuk mendukung kehidupan masyarakat di daerah tersebut.
Dengan mekanisme yang jelas dan perencanaan yang matang, pemerintah berharap redistribusi tanah ini dapat berjalan lancar dan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat.
15,12 Persen Keluarga tak Punya Rumah
Banyak keluarga di Indonesia yang masih belum memiliki rumah sendiri, karena masih ada yang tinggal di rumah dengan status kontrak, bebas sewa, dan lainnya.
Data ini diungkapkan dalam publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) yang berjudul Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2023.
Pada tahun 2023, sekitar 84,79 persen rumah tangga menempati rumah milik sendiri, sementara 15,21 persen lainnya belum memiliki rumah sendiri.
Dari 15,21 persen tersebut, sebagian besar keluarga tinggal di hunian dengan status bebas sewa, mencapai 9,37 persen dari total rumah tangga.
Dalam tiga tahun terakhir, persentase keluarga yang menempati rumah milik sendiri di Indonesia mengalami peningkatan meski tidak signifikan.
Pada tahun 2021, jumlah rumah tangga yang memiliki rumah sendiri sekitar 81,08 persen. Angka ini naik menjadi 83,99 persen pada tahun 2022, dan pada tahun 2023 mencapai 84,79 persen. Dengan demikian, peningkatan hanya sekitar 3 persen dari tahun 2021 hingga 2023.
Sementara itu, berdasarkan data dari Housing and Real Estate Information System (2022) menunjukkan bahwa ada sekitar 12.715.297 orang yang masih belum memiliki rumah atau mengalami backlog kepemilikan rumah pada tahun 2021.
Lebih dari 84 persen dari jumlah backlog tersebut ditemukan pada golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa sekitar 10.741.689 golongan MBR tidak memiliki rumah, sementara sisanya, sekitar 1.973.608, termasuk dalam golongan Non-MBR. (*)