KABARBURSA.COM - Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk barang mewah yang akan berlaku mulai awal 2025 diragukan dapat meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menilai, meski tarif PPN naik, sektor barang mewah tetap tidak mampu menyumbang besar terhadap penerimaan pajak.
“Sejak 2013 hingga 2022, kontribusi PPN Barang Mewah (PPnBM) terhadap total penerimaan pajak hanya sekitar 1,3 persen, baik dari barang mewah dalam negeri maupun impor,” kata Said Abdullah, Minggu, 8 Desember 2024.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025, target penerimaan dari PPnBM Dalam Negeri dipatok sebesar Rp10,78 triliun, sedangkan PPnBM Impor diperkirakan mencapai Rp5,83 triliun. Dengan demikian, total target penerimaan PPnBM 2025 diperkirakan mencapai Rp16,61 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan capaian tahun 2024 yang mencapai Rp27,26 triliun.
Sementara itu, total target PPN dan PPnBM pada 2025 diperkirakan mencapai Rp945,12 triliun, dengan kontribusi utama berasal dari PPN Dalam Negeri yang diperkirakan sebesar Rp609,05 triliun dan PPN Impor Rp308,74 triliun.
Sebelumnya, pada 2022, setelah kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen tanpa membedakan barang mewah, pemerintah berhasil meraih tambahan penerimaan pajak sebesar Rp60 triliun.
Pendapat serupa dikatakan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adinegara. Katanya, kenaikan tarif PPN barang mewah menjadi 12 persen tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan negara.
Menurut dia, pengenaan tarif PPN yang lebih tinggi pada barang mewah akan terdampak oleh pola konsumsi masyarakat kelas atas yang lebih cenderung berbelanja barang mewah di luar negeri.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengungkapkan bahwa pihaknya belum dapat menghitung proyeksi penerimaan dari PPN 12 persen untuk barang mewah. Hal ini disebabkan karena belum ada daftar pasti mengenai jenis-jenis barang mewah yang akan dikenakan tarif tersebut.
“Rincian barang mewah harus jelas dan tertuang dalam peraturan perundang-undangan, karena kriteria barang mewah bisa berbeda antara pemerintah dan masyarakat,” ujarnya.
Dengan kebijakan ini, Indonesia akan menerapkan sistem PPN multitarif yang mengadopsi prinsip keadilan vertikal, di mana konsumen barang mewah akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi.
Prianto menjelaskan bahwa beberapa negara mengadopsi sistem PPN dengan tarif tunggal (single tariff), sementara negara lainnya, termasuk Indonesia, menerapkan tarif berbeda untuk berbagai jenis barang atau jasa.
“Pemerintah menganggap penerapan multitarif ini sebagai pilihan kedua yang lebih baik,” ungkapnya.
Kebijakan tarif PPN barang mewah 12 persen ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, kebijakan ini menuai penolakan dari banyak kalangan. Meski demikian, kebijakan ini sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR untuk mulai diterapkan pada 2025.
DPR Restui Kenaikan PPN
Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah menegaskan bahwa kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen bertujuan untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Menurut Said, negara memerlukan penerimaan yang lebih besar guna membiayai berbagai program strategis yang dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah bersama DPR sepakat menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen yang akan diberlakukan pada 2025 melalui UU HPP.
“Langkah ini bertujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, efisien, serta mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ujar Said di Jakarta, Minggu, 8 Desember 2024.
Meski ada kenaikan tarif, negara memastikan bahwa sejumlah kebutuhan pokok tetap dikecualikan dari pengenaan PPN. Barang-barang tersebut meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam (baik beryodium maupun nonyodium). Selain itu, daging segar tanpa proses pengolahan, telur, susu perah tanpa tambahan zat lain, buah-buahan segar, serta sayur-sayuran segar juga bebas dari pengenaan PPN.
Di luar daftar tersebut, seluruh barang dan jasa lainnya akan dikenakan PPN 12 persen. Tak terkecuali Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang mencakup kendaraan, properti, dan barang konsumsi kelas atas.
Menurut Said, kebijakan ini dirancang agar kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dapat memberikan kontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara. Nantinya, dana tersebut akan digunakan untuk mendanai berbagai program sosial yang bertujuan memperkecil kesenjangan sosial-ekonomi.
Untuk mengantisipasi dampaknya, Banggar DPR mendesak Pemerintah menyiapkan langkah mitigasi secara menyeluruh.
Langkah Mitigasi yang Direkomendasikan Banggar
Untuk meminimalkan dampak kebijakan tersebut, Ketua Banggar DPR merekomendasikan delapan langkah strategis kepada pemerintah, yaitu:
1. Peningkatan Anggaran Perlindungan Sosial
Menambah alokasi anggaran perlindungan sosial serta memperluas jumlah penerima bantuan dengan memastikan penyalurannya tepat sasaran
2. Subsidi Energi yang Lebih Inklusif
Mempertahankan subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan elpiji rumah tangga miskin, serta memperluas penerima subsidi hingga pengemudi ojek online (ojol).
3. Perluasan Subsidi Transportasi
Memberikan subsidi transportasi bagi moda transportasi yang digunakan masyarakat sehari-hari, guna mengurangi beban pengeluaran masyarakat
4. Subsidi Perumahan yang Tepat Sasaran
Memastikan subsidi perumahan dimanfaatkan oleh kelompok menengah ke bawah, sehingga rumah layak huni dapat terjangkau oleh masyarakat miskin
5. Dukungan Beasiswa dan Bantuan Pendidikan
Memperkuat bantuan biaya pendidikan dan beasiswa untuk mahasiswa perguruan tinggi, terutama dari kelompok masyarakat prasejahtera
6. Operasi Pasar Secara Rutin
Melakukan operasi pasar secara rutin setidaknya dua bulan sekali untuk menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok dan mengendalikan inflasi
7. Peningkatan Belanja Produk UMKM
Meningkatkan porsi belanja pemerintah terhadap produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) guna mendukung pengembangan sektor tersebut
8. Pelatihan dan Pemberdayaan Ekonomi
Menyelenggarakan program pelatihan dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat terdampak agar mereka bisa memasuki sektor usaha yang lebih kompetitif. Kebijakan ini juga dapat disinergikan dengan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Melalui kebijakan tersebut, Banggar DPR berharap pemerintah dapat meredam dampak negatif dari kenaikan tarif PPN dan sekaligus memastikan penerimaan negara tetap optimal. (*)