KABARBURSA.COM - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang diwacanakan terjadi pada Januari 2025, dianggap sebagai hal yang sangat tidak menguntungkan, salah satunya bagi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Pengamat pasar modal Wahyu Laksono, mengatakan bahwa kenaikan PPN tahun depan akan berefek pada kinerja sejumlah emiten. Contohnya saja emiten consumer goods, otomotif, ritel, dan transportasi (khususnya airline).
"Dampak yang dihasilkan (dari kenaikan PPN) memang belum bisa dipastikan secara detil, namun ini akan sangat bervariasi terhadap setiap emiten," kata Wahyu kepada Kabarbursa.com, Selasa, 19 November 2024.
Dijelaskan dia, pergerakan IHSG tidak hanya diukur oleh kenaikan PPN, tetapi lebih kepada kondisi ekonomi domestik. Misalnya, ancaman PHK dan turunnya kelas menengah serta bertambahnya angka penduduk miskin.
Selain itu, kondisi global ikut mempengaruhi. Yang terdekat saja adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
"Kepemimpinan Trump di periode kedua kali ini memicu ketidakpastian ekonomi global, karena cenderung menantang perdagangan China, yang diketahui terbesar kedua di dunia. Segala kebijakan yang merugikan AS, misalnya terkait energi dan komoditas, bisa terancam," ujar Wahyu.
Dua Emiten Ritel Terdampak
Seperti disebutkan di atas, kenaikan PPN 12 persen ini akan membawa dampak yang luar biasa besar. Salah satunya adalah mempengaruhi pergerakan pasar sejumlah emiten, terutama ritel seperti Matahari Departement Store Tbk (LPPF) dan Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI).
Analis Kiwoon Sekuritas Indonesia Abdul Azis Setyo Wibowo, mengatakan, kenaikan PPN 12 persen sejatinya bisa mengganggu daya beli masyarakat. Sehingga, ada baiknya jika kenaikan tersebut dibarengi dengan sejumlah solusi, salah satunya pemberian insentif kepada sektor-sektor vital.
"Atau, adanya peningkatan pendapatan masyarakat agar daya beli bisa terjaga," kata Abdul kepada KabarBursa.com, Sabtu, 16 November kemarin.
Daya Beli Masyarakat Berpotensi Anjlok
Kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dapat memberikan dampak yang signifikan, baik terhadap daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.
Kenaikan harga barang dan jasa sudah dipastikan terjadi, sebagai implikasi dari naiknya PPN. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang memang lebih sensitif terhadap perubahan harga, hal ini akan menyebabkan penurunan daya beli. Masyarakat akan lebih berfokus pada kebutuhan pokok, seperti sembako dan transportasi. Sedangkan konsumsi lainnya, harus berpikir ulang untuk mengeluarkannya.
Atau dapat dikatakan, masyarakat cenderung akan menyesuaikan pola belanja mereka ketika harga barang-barang pokok naik. Mereka bisa saja memilih untuk mengurangi konsumsi barang non-pokok atau beralih ke produk yang lebih murah. Inilah yang nantinya menyebabkan penurunan permintaan terhadap barang tertentu.
Dengan kata lain, konsumsi domestik akan turun. Padahal, konsumsi domestik menjadi salah satu motor utama perekonomian Indonesia. Penurunan konsumsi ini dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih lambat.
Inflasi 2025 di Depan Mata
Kenaikan tarif PPN tentu saja dapat memicu inflasi, baik dalam jangka pendek maupun menengah.
Ketika biaya barang-barang dasar meningkat, ini dapat meningkatkan pula peluang tingginya inflasi. Dengan demikian, harga pangan, energi, maupun transportasi bisa melambung tinggi.
Jika seperti ini, akan muncul efek domino. Produsen dan distributor akan berusaha menutupi biaya tambahan akibat PPN yang lebih tinggi, sementara daya beli masyarakat yang lemah tidak mendukung upaya mereka untuk menutupinya.
Hal lainnya adalah tidak terserapnya stok atau akan terjadi over supplay. Ketika konsumen mengurangi pengeluaran, maka stok barang yang telah diproduksi akan tertahan di gudang, karena tidak ada permintaah yang cukup untuk menyerapnya.
Inventaris yang tidak terserap ini dapat menjadi masalah bagi perusahaan, barang akan tertumpuk di gudang dan terjadi over supplay. Stok yang menumpuk ini dapat mempengaruhi laporan keuangan perusahaan dan potensi terjadinya kerugian dalam jangka panjang.
Di sinilah kemudian investor akan lebih berhati-hati dalam berinvestasi, khususnya pada emiten-emiten yang terpengaruh oleh konsumsi domestik. Kenyataan ini bisa mempengaruhi sentimen pasar dan valuasi saham emiten.
Langkah Mitigasi yang Dapat Diambil Pemerintah
Sebenarnya, pemerintah dapat mengimbangi dampak kenaikan PPN dengan memberikan bantuan sosial atau subsidi bagi masyarakat berpendapatan rendah, agar daya beli mereka tetap terjaga. Atau, membuat ebijakan yang berfokus pada peningkatan daya beli serta penurunan biaya produksi.
Bagi emiten, sepertinya perlu menyesuaikan strategi bisnis dengan mempertimbangkan perubahan perilaku konsumsi masyarakat. Misalnya, dengan diversifikasi produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin selektif.
Atau, efisiensi operasional, seperti pengurangan biaya distribusi dan penyimpanan barang, untuk mengurangi dampak terhambatnya perputaran barang. Bisa juga dengan penyesuaian harga yang lebih hati-hati, agar tidak menurunkan permintaan secara drastis.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kenaikan tarif PPN berpotensi mempengaruhi daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah, yang berimbas pada peningkatan inflasi.
Pada gilirannya, hal tersebut akan berdampak pada emiten. Di mana stok barang yang tidak terserap bisa menambah biaya bagi perusahaan, mengurangi keuntungan, dan memperburuk kinerja pasar saham.
Oleh karena itu, kebijakan ini baiknya diimbangi dengan langkah-langkan mitigasi yang memadai, baik dari sisi pemerintah maupun sektor swasta, untuk menjaga stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat.(*)