KABARBURSA.COM - Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa tren tabungan masyarakat, khususnya untuk simpanan di bawah Rp100 juta, berpotensi sulit mengalami peningkatan signifikan. Hal ini dinilai sebagai dampak dari rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025.
“Daya beli masyarakat kemungkinan menurun. Kebijakan kenaikan pajak ini mungkin tidak sepenuhnya tepat. Namun, mungkin pemerintah membutuhkan dana tambahan untuk menyeimbangkan anggaran. Jika dana tersebut digunakan untuk program yang bermanfaat bagi masyarakat, dampaknya bisa positif,” kata Purbaya, Kamis, 19 Desember 2024.
Purbaya menjelaskan bahwa ketika dana masyarakat disalurkan ke pemerintah, diperlukan waktu untuk kembali masuk ke dalam sistem ekonomi melalui pembelanjaan.
Ia mencontohkan, jika dana tersebut baru digunakan setelah empat bulan, dampaknya terhadap ekonomi akan tertunda.
“Misalnya, dana tersebut baru dibelanjakan dalam waktu empat bulan. Dampaknya terhadap ekonomi otomatis akan tertunda selama empat bulan atau lebih. Dalam jangka panjang, hal ini akan memengaruhi tren tabungan. Bahkan saat ini, tanpa adanya kebijakan tersebut, tren tabungan sudah menunjukkan kecenderungan menurun,” katanya.
Meski demikian, Purbaya menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan langsung menyebabkan penurunan drastis pada tren tabungan. Namun, ia mengakui bahwa potensi peningkatan signifikan menjadi lebih sulit dicapai.
“Tren tabungan tidak akan langsung anjlok, tetapi sulit untuk mengalami peningkatan yang pesat,” ujarnya.
Sementara itu, terkait Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan, Purbaya memperkirakan pertumbuhannya masih berada di kisaran 6 persen sampai 7 persen. Hingga saat ini, LPS belum melihat dampak signifikan dari kebijakan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi maupun DPK.
“Kami memprediksi pertumbuhan DPK di angka 6 persen sampai dengan 7 persen, dan sejauh ini belum ada revisi. Namun, tentu saja prediksi ini bersifat adaptif dan akan disesuaikan dengan perkembangan situasi,” jelas Purbaya.
Lanjut Purbaya, dampak negatif kebijakan pajak terhadap tabungan maupun DPK kemungkinan tidak akan terasa dalam jangka pendek, selama dana pemerintah digunakan dengan efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Kalaupun ada dampak, mungkin baru terasa dalam jangka pendek hingga satu tahun. Namun, jika dana tersebut dibelanjakan dengan baik, ada peluang untuk mengembalikan arah pertumbuhan ekonomi,” pungkas Purbaya.
Pengaruhi Kredit Perbankan
Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 diprediksi juga akan memberikan dampak signifikan terhadap sektor perbankan, terutama dalam hal pertumbuhan kredit.
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro mengungkapkan bahwa perubahan tarif PPN ini dapat memperlambat laju kredit perbankan di Indonesia, karena adanya potensi penurunan daya beli masyarakat yang mengarah pada penurunan permintaan kredit, khususnya di segmen konsumer, mikro, dan UMKM.
“Apabila daya beli masyarakat menurun akibat kenaikan tarif PPN, maka dampaknya akan terasa pada terbatasnya pertumbuhan kredit yang disalurkan oleh perbankan,” kata Andry Asmoro beberapa waktu lalu.
Menurutnya, bila pengeluaran konsumen berkurang, maka bank akan menghadapi tantangan dalam mempertahankan atau meningkatkan jumlah kredit yang diberikan.
Andry Asmoro juga menjelaskan bahwa sektor-sektor seperti kredit konsumsi, mikro, dan UMKM akan sangat terpengaruh oleh kebijakan kenaikan PPN.
Masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah, yang sebagian besar mengalokasikan anggaran mereka untuk kebutuhan sehari-hari, akan cenderung mengurangi pengeluaran untuk barang-barang sekunder atau non-prioritas. Hal ini tentunya dapat mengurangi potensi pertumbuhan kredit di sektor-sektor tersebut, yang selama ini menjadi salah satu pendorong utama sektor perbankan.
Selain itu, Asmoro memperingatkan bahwa dampak kenaikan tarif PPN ini juga dapat mempengaruhi kualitas aset perbankan.
Ketika daya beli masyarakat tertekan, ada kemungkinan peningkatan risiko kredit macet, terutama di segmen-segmen konsumer dan UMKM yang lebih rentan terhadap fluktuasi ekonomi.
“Kualitas aset bank akan menghadapi tantangan besar, karena semakin banyak nasabah yang kesulitan membayar cicilan pinjaman mereka,” ujar Asmoro.
Terkait dengan hal ini, Bank Mandiri melalui riset internalnya, yakni Mandiri Spending Index, mengungkapkan temuan menarik terkait perilaku belanja masyarakat.
Kelompok masyarakat menengah ke bawah cenderung mengutamakan pengeluaran untuk kebutuhan pokok, sedangkan pengeluaran untuk barang-barang sekunder menjadi semakin terbatas.
Artinya, masyarakat akan lebih berhati-hati dalam menggunakan pendapatan yang mereka miliki, yang dapat memengaruhi daya beli secara keseluruhan. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.