KABARBURSA.COM - Pemerintah mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, tetapi hanya berlaku untuk barang mewah. Sementara itu, barang non-mewah tetap dikenakan tarif PPN sebesar 11 persen.
Kebijakan ini menuai tanggapan beragam dari berbagai pihak, terutama terkait implikasinya terhadap aturan perpajakan yang berlaku saat ini.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai penerapan tarif PPN yang berbeda disesuaikan jenis barang merupakan pertama kalinya dalam sejarah perpajakan Indonesia dan berpotensi membuat bingung masyarakat dan pelaku usaha.
“Selama ini, Indonesia mengenal skema PPN satu tarif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Perbedaan tarif ini membuat proses administrasi lebih kompleks, terutama bagi pelaku usaha ritel yang menjual barang kena PPN dan PPnBM sekaligus,” ujar Bhima, Jumat, 6 Desember 2024.
Bhima juga menggarisbawahi perlunya pemerintah merinci definisi barang mewah yang akan dikenakan PPN 12 persen dalam aturan teknis, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Sementara, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, menekankan bahwa penerapan PPN multitarif memerlukan revisi UU HPP. Saat ini, UU tersebut hanya mengenal tarif tunggal sebesar 12 persen, yang berlaku untuk semua jenis transaksi barang terutang PPN.
“Jika pemerintah ingin menerapkan tarif multitarif, diperlukan revisi pasal-pasal terkait dalam UU HPP, terutama Pasal 4 dan Pasal 7. Proses ini dapat dilakukan melalui Perppu atau mekanisme legislasi normal,” jelas Prianto.
Pengamat dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menegaskan, tanpa revisi UU maka penerapan tarif multitarif PPN berisiko melanggar aturan hukum yang berlaku.
“Proses revisi undang-undang membutuhkan waktu, sementara kebijakan ini direncanakan berlaku dalam waktu kurang dari sebulan,” ujar Fajry.
Sebelumnya, Ketua Komisi XI DPR Misbakhun menyampaikan bahwa kebijakan ini merupakan hasil diskusi dengan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, tarif PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif, baik pada barang mewah dalam negeri maupun impor, sehingga beban pajak hanya ditujukan kepada konsumen kelas atas.
“Pemerintah sedang mengkaji penerapan multitarif ini lebih mendalam untuk memastikan keadilan,” ujar Misbakhun di Istana Negara, Kamis, 5 Desember 2024.
Pekan Depan Kenaikan PPN Diumumkan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa pemerintah akan mengumumkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Kenaikan tersebut direncanakan akan diumumkan pada pekan depan.
Airlangga menjelaskan bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN ini sesuai dengan amanah yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Meskipun demikian, ia menegaskan, pengumuman mengenai hal ini akan dilakukan setelah dilakukan simulasi terlebih dahulu.
“Akan diumumkan pekan depan, dan akan disimulasikan lebih dulu,” kata Airlangga saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa, 3 Desember 2024.
Terkait siapa yang akan mengumumkan kenaikan tarif PPN tersebut, Airlangga menyebutkan bahwa dirinya belum dapat memastikan apakah pengumuman itu akan dilakukan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, pengumuman tersebut akan dilakukan setelah laporan disampaikan kepada Presiden.
“Kita akan laporkan ke beliau (Prabowo Subianto),” ujar Airlangga.
Selain kenaikan tarif PPN, Airlangga juga menyebutkan bahwa pekan depan akan ada pengumuman terkait kebijakan fiskal lainnya. Beberapa di antaranya adalah insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan dan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP).
Menurut Airlangga, sejumlah kebijakan fiskal ini sedang dimatangkan untuk diputuskan apakah akan dilanjutkan pada tahun depan. Sebagai contoh, ia menyebutkan kebijakan PPnBM untuk otomotif dan PPN untuk sektor perumahan.
“Contohnya, tahun ini ada PPnBM untuk otomotif dan PPN untuk perumahan. Ini masih dimatangkan, dan minggu depan akan diumumkan untuk kebijakan tahun depan,” terangnya.
Selain itu, Airlangga juga membocorkan adanya insentif baru yang akan diumumkan pekan depan. Salah satunya adalah insentif untuk industri padat karya, yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing sektor industri tersebut.
“Kita juga membahas insentif untuk industri padat karya, serta revitalisasi permesinan. Kami meminta perhitungan kembali mengenai skema insentif ini. Tujuannya agar industri padat karya memiliki daya saing. Jika tidak berdaya saing, tentu akan kalah dengan industri yang baru berinvestasi,” jelas Airlangga.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Parjiono mengatakan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen tetap diberlakukan pada Januari 2024.
Menurut Parjiono, kebijakan ini dirancang dengan sejumlah pengecualian untuk melindungi daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan seperti masyarakat miskin, sektor kesehatan, dan pendidikan.
“Jadi, kita masih dalam proses ke sana, artinya akan berlanjut. Tapi kalau kita lihat dari sisi menjaga daya beli masyarakat, pengecualiannya sudah jelas, masyarakat miskin, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya,” kata Parjiono di Jakarta, Selasa, 3 Desember 2024.
Tak hanya itu, lanjut Parjiono, pemerintah juga akan memperkuat subsidi sebagai langkah antisipasi dampak kebijakan ini. Ia menyebut insentif perpajakan saat ini cenderung lebih dinikmati oleh kelas menengah atas.
“Daya beli masyarakat adalah salah satu prioritas, sehingga subsidi akan diperkuat sebagai jaring pengaman. Kalau kita lihat insentif perpajakan, yang lebih banyak menikmati justru kelas menengah atas,” jelasnya. (*)