KABARBURSA.COM - Menteri Ketenagakerjaan Yassierli resmi menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024. Kebijakan ini menuai beragam pandangan, khususnya di tengah inflasi dan kenaikan harga barang yang kian membebani masyarakat.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa kenaikan ini cukup memberikan ruang nafas bagi pekerja formal di tengah tekanan ekonomi.
“Inflasi tahun ini diperkirakan sekitar 1,7-1,8 persen. Dengan kenaikan UMP sebesar 6,5 persen, daya beli pekerja formal diproyeksikan meningkat secara signifikan, bahkan melebihi kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan inflasi,” ungkap Wijayanto kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Jumat, 6 Desember 2024.
Meski demikian, pertanyaan penting lainnya adalah bagaimana dampak kenaikan UMP terhadap inflasi dan kestabilan harga barang serta jasa di pasar. Menurut Wijayanto, kekhawatiran inflasi akibat kebijakan ini kemungkinan tidak akan terlalu besar.
“Kita saat ini menghadapi permasalahan daya beli yang rendah, bahkan dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia mengalami deflasi. Kalaupun ada dampak inflasi dari kenaikan UMP, pengaruhnya sangat minimal dan masih dalam batas wajar,” tambahnya.
Dampak pada Dunia Usaha dan Lapangan Kerja
Namun, kenaikan UMP ini juga memunculkan tantangan baru, terutama bagi pelaku usaha dan sektor industri. Selain itu, kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen semakin menambah beban yang harus ditanggung pengusaha.
Wijayanto menyebut bahwa meskipun kebijakan ini menguntungkan pekerja formal dan pemerintah, dampaknya terhadap pengusaha bisa menjadi masalah baru.
“Kenaikan UMP positif bagi pekerja formal, sedangkan kenaikan PPN menguntungkan pemerintah. Namun sayangnya, keduanya membawa efek negatif bagi pengusaha. Tanpa stimulus yang tepat dari pemerintah, risiko PHK dan stagnasi penciptaan lapangan kerja dapat meningkat,” jelasnya.
Wijayanto juga mengusulkan beberapa langkah strategis untuk menjaga keseimbangan ekonomi tanpa mengorbankan pelaku usaha dan pekerja.
“Pemerintah perlu memastikan kebijakan seperti BLT, bansos, atau MBG benar-benar terealisasi, karena ini mampu mendongkrak daya beli masyarakat. Selain itu, langkah tegas diperlukan untuk menghentikan penyelundupan, memajaki bisnis bawah tanah, serta membatasi impor agar produsen lokal tetap kompetitif,” ujar Wijayanto.
Ia menekankan pentingnya insentif fiskal dan nonfiskal bagi sektor industri manufaktur dan ritel, mengingat kedua sektor ini merupakan penyerapan tenaga kerja terbesar di Indonesia.
“Insentif ini dapat berupa keringanan pajak, subsidi, atau kemudahan regulasi yang mendorong pertumbuhan dan keberlanjutan usaha. Dengan demikian, dampak kenaikan UMP dan PPN dapat diminimalkan, tanpa mengorbankan stabilitas tenaga kerja,” tutupnya.
Kebijakan kenaikan UMP dan PPN memang memerlukan penyeimbangan yang tepat agar tidak menciptakan efek domino yang merugikan. Pemerintah diharapkan segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mendukung sektor usaha sekaligus memastikan kesejahteraan buruh tetap terjaga.
Penerapan Pajak Pertambahan Nilai
Center of Economic and Law Studies (Celios) meragukan efektivitas kebijakan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen dan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada 2025.
Achmad Hanif Imaduddin, peneliti dari Celios, menyatakan bahwa pendapatan pekerja atau buruh pada 2025 diperkirakan masih belum mencukupi untuk mengimbangi lonjakan harga barang dan jasa akibat inflasi. Di sisi lain, bagi para pengusaha, peningkatan upah ini justru menambah beban operasional perusahaan.
“Meskipun kenaikan UMP dapat dilihat sebagai kabar positif, dampaknya dalam jangka panjang diperkirakan tidak akan signifikan,” ujar Hanif dalam wawancara dengan Kabarbursa.com pada Kamis, 5 Desember 2024.
Hanif menjelaskan bahwa tingginya tarif pajak akan langsung menggerus daya beli masyarakat. Konsumsi yang terhambat akibat kondisi ini diprediksi akan membuat perekonomian berjalan stagnan.
“Kenaikan upah yang ditetapkan oleh pemerintah tidak akan banyak berpengaruh. Pemasukan masyarakat tetap tidak akan cukup untuk mengimbangi pengeluaran mereka,” tambahnya.
Sebagai solusi, Hanif mengusulkan berdasarkan hasil penelitian Celios, agar pemerintah menaikkan UMP sebesar 9 persen. Angka ini dianggap diperlukan untuk mengimbangi dampak inflasi dan memberikan ruang bagi buruh untuk mempertahankan kapasitas daya beli mereka.
“Melihat tren kenaikan harga barang, penyesuaian UMP seharusnya lebih besar. Meskipun ada peningkatan 6,5 persen, hal ini tidak cukup untuk meringankan beban hidup buruh. Kenaikan UMP yang lebih signifikan diperlukan agar daya beli mereka tetap terjaga,” jelasnya.
Hanif juga menyoroti dampak kebijakan ini terhadap pengusaha. Dengan adanya peningkatan tarif PPN dan kewajiban membayar upah yang lebih tinggi, banyak pengusaha merasa tertekan.
“Untuk mengimbangi kenaikan PPN, perusahaan terpaksa harus menaikkan harga produk dan jasa mereka. Namun, langkah ini berpotensi menurunkan daya beli konsumen, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan penurunan penjualan,” ujarnya.(*)