KABARBURSA.COM - Eskalasi militer antara Amerika Serikat, Israel, dan Iran mengguncang stabilitas kawasan Timur Tengah sekaligus menyeret dampak besar pada perekonomian global, termasuk Indonesia.
Ekonom senior Didin S. Damanhuri menilai bahwa konflik yang melibatkan serangan terhadap instalasi nuklir Iran bukan hanya melanggar kedaulatan, tetapi juga memicu rentetan ketidakpastian ekonomi yang semakin sulit dikendalikan.
Didin menilai, respons Iran melalui serangan rudal ke infrastruktur militer dan sipil Israel telah memperburuk situasi geopolitik, memicu lonjakan harga komoditas energi, serta mengacaukan ekspektasi pasar global.
“Dengan dua kali serangan AS terhadap Iran, disusul serangan balasan Iran ke pangkalan militer AS di Qatar, harga minyak Brent melonjak hingga 81,40 USD per barel,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Minggu, 29 Juni 2025.
Didin juga menyoroti potensi dampak dari ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Jalur ini merupakan titik strategis distribusi 20 persen perdagangan minyak dunia. Jika jalur ini ditutup, harga minyak diperkirakan bisa meroket hingga lebih dari 130 USD per barel.
“Kenaikan tajam ini tentu akan mendorong inflasi global, termasuk di AS yang bisa naik menjadi 6 persen, dan di Indonesia bisa melonjak hingga 8 persen,” katanya.
Kenaikan inflasi tersebut, kata dia, akan menekan daya beli masyarakat Indonesia yang sudah melemah sejak awal tahun. Padahal, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB sangat signifikan, yakni sekitar 57 persen. Dengan turunnya daya beli dan minimnya pertumbuhan investasi serta belanja pemerintah, Didin memperkirakan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional 2025 bisa turun hingga 4,6 persen atau bahkan lebih rendah.
“Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2025 yang hanya 4,87 persen secara tahunan adalah sinyal awal. Jika tidak diantisipasi dengan baik, tren perlambatan bisa berlanjut hingga akhir tahun,” jelasnya.
Selain tekanan inflasi dan pelemahan konsumsi, pelemahan nilai tukar rupiah menjadi risiko tambahan. Didin memperkirakan nilai tukar rupiah bisa menembus Rp17.000 per USD jika investor global beralih ke aset lindung nilai seperti dolar AS dan emas.
“Di saat volatilitas meningkat, investor akan menghindari risiko dan mencari instrumen yang lebih aman,” ujarnya.
Kondisi ini juga berimbas pada pembengkakan belanja negara, terutama untuk subsidi energi dan bantuan sosial. Akibatnya, pemerintah diprediksi akan menambah porsi utang luar negeri. Data terakhir menunjukkan, utang pemerintah per Januari 2025 telah mencapai Rp8.909 triliun atau sekitar 40 persen dari PDB.
Namun Didin menegaskan bahwa beban utang tak hanya berasal dari pemerintah pusat.
“Utang BUMN hingga 2022 tercatat sebesar Rp8.350 triliun, sementara utang swasta pada kuartal I-2025 mencapai Rp3.226 triliun. Total utang luar negeri Indonesia, jika dijumlahkan, sudah melebihi Rp20.000 triliun,” jelasnya.
Dengan demikian, rasio total utang luar negeri terhadap PDB yang sebesar Rp22.139 triliun telah menembus 80 persen.
Di tengah ancaman krisis yang kian nyata, Didin melihat sinyal positif dari desakan internasional terhadap gencatan senjata yang akhirnya disepakati Iran. “Untuk sementara, ada deeskalasi. Harga minyak yang sempat naik ke 90 USD per barel kini turun kembali, dan tekanan terhadap kurs rupiah maupun inflasi dapat dikendalikan,” tuturnya.
Namun, ia menekankan bahwa stabilitas ini rentan. Bila konflik kembali memanas, seperti ketika Israel kembali menyerang Gaza dan Iran membalas dengan menutup Selat Hormuz, maka risiko geopolitik akan kembali melonjak.
Menghadapi skenario ini, Didin menilai pemerintah Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan instrumen ekonomi.
“Kebijakan mitigasi harus dibarengi peran aktif di panggung diplomatik global. Indonesia perlu berperan nyata sebagai negara pencinta damai yang mendorong penyelesaian damai konflik internasional,” ujarnya. (*)