KABARBURSA.COM - Setelah ramai dipertanyakan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akhirnya angkat bicara terkait keterlambatan rilis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) KiTa. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kemenkeu mengungkapkan bahwa data APBN KiTa Januari 2025 akan dirilis pekan depan.
Padahal kinerja APBN 2025 untuk bulan Januari, seharusnya telah dirilis pada pertengahan atau akhir Februari dalam laporan APBN KiTa edisi Februari. Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menilai keterlambatan ini sebagai indikasi melemahnya transparansi dalam pengelolaan keuangan negara, yang dapat berdampak pada kepercayaan investor dan stabilitas ekonomi.
Awalil menjelaskan bahwa selama beberapa tahun terakhir, laporan APBN Kita dirilis setiap bulan melalui konferensi pers yang disiarkan di kanal YouTube Kemenkeu. Beberapa hari setelahnya, dokumen lengkap APBN KiTa diunggah di laman resmi Kemenkeu, yang berisi rincian lebih mendalam dibandingkan paparan verbal dalam rilis bulanan. Namun, sejak awal 2025, pola ini terhenti tanpa penjelasan resmi.
"Rilis APBN KiTa Januari 2025 yang memuat realisasi sementara APBN 2024 sudah dilakukan pada 6 Januari. Biasanya, beberapa hari setelahnya, dokumen lengkapnya diunggah. Namun, hingga kini, dua bulan berlalu, dokumen tersebut belum juga tersedia," ujar Awalil kepada Kabarbursa.com, Jumat 7 Maret 2025.
Menurutnya, akibat keterlambatan ini, informasi penting terkait realisasi APBN 2024 belum dapat diakses publik. Ia menyoroti bahwa rilis verbal pada 6 Januari hanya bersifat umum, tanpa memberikan rincian belanja tiap kementerian/lembaga serta jenis belanja yang dilakukan pemerintah. Selain itu, data penerimaan perpajakan juga belum tersedia.
"Belum ada informasi mengenai realisasi pembiayaan investasi APBN 2024, pembiayaan utang, serta posisi utang pemerintah per akhir 2024. Ini menyulitkan kami para ekonom dalam melakukan analisis terhadap realisasi anggaran tahun lalu," jelasnya.
Keterlambatan ini dinilai semakin mengkhawatirkan mengingat belum adanya rilis APBN KiTa edisi Februari 2025, yang seharusnya mengungkap realisasi APBN hingga akhir Januari. Padahal, beberapa kebijakan fiskal baru, seperti Instruksi Presiden (Inpres) 22 Januari dan Surat Edaran Menteri Keuangan (SE Menkeu) 24 Januari, telah diterbitkan, tetapi belum ditindaklanjuti dengan publikasi dokumen resmi yang mencerminkan perubahan dalam postur APBN.
"Realisasi bulan Januari semestinya belum mengikuti keputusan efisiensi baru karena dokumen resminya belum ada. Padahal, data ini bisa membantu publik memahami kondisi fiskal sebelum adanya perubahan lebih lanjut," tutur Awalil.
Ia juga memperingatkan bahwa ketidakjelasan ini berpotensi merugikan berbagai pihak, termasuk pelaku pasar dan mitra kerja pemerintah, yang membutuhkan data APBN sebagai acuan dalam pengambilan keputusan bisnis. Bahkan, menurutnya, birokrasi pemerintahan sendiri bisa mengalami kebingungan dalam menjalankan kebijakan fiskal.
"Tentu saja, langkah pemerintah untuk tidak mengumumkan kinerja APBN Januari dan Februari ini dapat berdampak buruk pada kepercayaan investor. Ini menimbulkan kesan bahwa ada upaya untuk mengolah lebih lanjut atau bahkan menyembunyikan data yang sensitif bagi publik dan investor," tegasnya.
Ia mencontohkan, tanpa data terbaru, sulit untuk mengetahui posisi utang pemerintah per akhir 2024 serta rasio utang terhadap PDB dibandingkan tahun sebelumnya. Begitu pula dengan besaran pembayaran bunga utang, yang berpengaruh pada debt service ratio atau rasio pembayaran utang terhadap pendapatan negara.
Lebih jauh, Awalil menilai bahwa keterlambatan ini mencerminkan kemunduran dalam transparansi pengelolaan keuangan negara. Ia menegaskan bahwa seharusnya DPR turut mempertanyakan hal ini kepada pemerintah.
"Ketidakjelasan ini membuat pemerintah seolah mundur jauh ke belakang dalam transparansi fiskal. DPR seharusnya mengambil peran dalam mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban atas lambatnya publikasi laporan APBN," pungkasnya.
Ketidakjelasan APBN KiTa Bikin Investor Ragu
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai, keterlambatan ini bisa menjadi sinyal buruk bagi transparansi fiskal pemerintah.
“Seharusnya APBNKita dirilis sesuai jadwal untuk memastikan keterbukaan pengelolaan keuangan negara. Keterlambatan ini bisa menimbulkan spekulasi negatif di pasar keuangan dan mengurangi kepercayaan investor,” ujar Ahmad dalam keterangannya, Jumat, 7 Maret 2025.
Menurutnya, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan keterlambatan rilis laporan tersebut. Salah satunya adalah penerimaan negara yang tidak mencapai target akibat perlambatan ekonomi global dan melemahnya harga komoditas utama Indonesia, seperti batu bara dan minyak sawit.
“Jika penerimaan negara mengalami tekanan, keterlambatan ini bisa jadi strategi pemerintah untuk menghindari sentimen negatif di pasar,” jelasnya.
Achmad menyoroti dampak dari kurangnya transparansi dalam pengelolaan APBN terhadap stabilitas ekonomi. Menurutnya, investor, pelaku pasar, hingga lembaga keuangan internasional sangat bergantung pada data fiskal pemerintah.
Jika laporan tersebut terus tertunda, ia menilai kredibilitas fiskal Indonesia bisa terganggu, yang berpotensi memicu capital outflow, melemahkan nilai tukar rupiah, serta meningkatkan volatilitas pasar keuangan.
“Investor, pelaku pasar, hingga lembaga keuangan internasional sangat bergantung pada data fiskal pemerintah. Jika laporan ini terus tertunda, kredibilitas fiskal Indonesia bisa terganggu, memicu capital outflow yang melemahkan nilai tukar rupiah dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan,” tambahnya.
Dampak di Pasar Obligasi
Lebih lanjut, Achmad menjelaskan bahwa juga dapat berdampak pada pasar obligasi. Ia menilai penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sangat bergantung pada kepercayaan investor terhadap kondisi fiskal. Jika laporan APBNKita menunjukkan defisit yang lebih besar dari perkiraan, ia memperkirakan yield obligasi bisa meningkat, yang pada akhirnya menambah beban utang pemerintah.
“Pemilu baru saja usai, dan ada kemungkinan tekanan politik untuk meningkatkan belanja sosial serta infrastruktur. Jika penerimaan negara tidak sesuai ekspektasi, defisit APBN bisa melebar dan pemerintah harus mencari sumber pembiayaan tambahan, seperti utang baru,” paparnya.
Selain itu, Achmad juga menyinggung dampak keterlambatan ini terhadap kebijakan fiskal pada tahun politik. Ia menjelaskan bahwa setelah pemilu, kemungkinan adanya tekanan politik untuk meningkatkan belanja sosial serta infrastruktur cukup besar. Jika penerimaan negara tidak sesuai dengan ekspektasi, ia memperkirakan defisit APBN bisa melebar, sehingga pemerintah perlu mencari sumber pembiayaan tambahan, seperti utang baru.
Adapun ketidakpastian akibat lambatnya rilis APBNKita berpotensi menghambat perencanaan sektor swasta. Ia menjelaskan bahwa banyak perusahaan menjadikan data APBN sebagai acuan dalam menyusun strategi bisnis mereka. Jika data tersebut tidak tersedia, ia memperkirakan perusahaan cenderung bersikap lebih konservatif dalam pengambilan keputusan, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi
“Banyak perusahaan yang menjadikan data APBN sebagai acuan dalam menyusun strategi bisnis mereka. Jika data tersebut tidak tersedia, perusahaan mungkin akan bersikap lebih konservatif dalam pengambilan keputusan, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.
Dia pun mengingatkan pentingnya transparansi dalam pengelolaan fiskal. Ia menegaskan bahwa dalam kondisi ekonomi global yang penuh tantangan, transparansi menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik dan pasar. Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah harus segera merilis laporan APBN KiTa dan memastikan bahwa kebijakan fiskal tetap bisa dipertanggungjawabkan.
“Dalam kondisi ekonomi global yang penuh tantangan, transparansi adalah kunci untuk menjaga kepercayaan publik dan pasar. Pemerintah harus segera merilis laporan APBN KiTa dan memastikan bahwa kebijakan fiskal tetap bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya. (*)