KABARBURSA.COM - Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, mempertanyakan lonjakan impor beras yang dilakukan oleh Bulog pada tahun 2024 dalam rapat dengar pendapat bersama Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, 4 September 2024. Sudin menyoroti keputusan pemerintah untuk meningkatkan impor beras hingga 3,6 juta ton, sementara penyerapan produksi dalam negeri masih minim.
Sudin memulai dengan mempertanyakan stok beras yang dimiliki Bulog. “Saya bertanya, 2023 input berapa banyak?” tanya Sudin kepada Arief Prasetyo.
Arief menjawab bahwa penyerapan Bulog tahun lalu mencapai sekitar 1 juta ton. “Input dan penyelapan lokal untuk Bulog sekitar 1 juta ton, Pak,” ujar Arief. Sudin langsung menyela, “Apakah itu lokal?”
Arief membenarkan sebagian besar berasal dari dalam negeri (DN), tetapi ada juga pengadaan luar negeri (LN). "Sisanya adalah pengadaan luar negeri, sekitar 2 juta ton tahun lalu, dan tahun ini 3,6 juta ton,” ungkap Arief.
Sudin kemudian mengecam minimnya penyerapan beras lokal pada tahun 2024, yang hanya mencapai 833 ribu ton. “Pengadaan luar negeri ini 3,6 juta?” tanya Sudin lagi, menekankan jumlah impor yang membengkak.
“Iya, 3,6 juta,” jawab Arief. Menurutnya, Bapanas juga telah memberikan penugasan kepada Bulog untuk menambah penyerapan beras dalam negeri sebanyak 600 ribu ton. Namun, Sudin merespons dengan skeptis, “Tapi belum ada realisasi itu?”
Arief menjelaskan proses tersebut masih berlangsung dan produksi beras nasional diperkirakan akan meningkat pada periode Agustus hingga Oktober 2024. "Kami memperkirakan bahwa produksi pada Agustus, September, dan Oktober 2024 berada di atas konsumsi, yaitu sekitar 2,5 hingga 2,6 juta ton," jelas Arief sambil menunjukkan grafik produksi dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Namun, Arief juga mengingatkan cadangan pangan pemerintah, khususnya beras, perlu segera dipersiapkan menghadapi periode kritis menjelang Pemilu 2024. Sudin pun menekan lagi mengenai strategi Bulog untuk menjaga cadangan beras, apakah akan diambil dari dalam atau luar negeri.
Arief menegaskan prioritas utama tetap pada pengadaan dalam negeri. Namun, jika kondisi tidak memungkinkan, impor terpaksa dilakukan. "Nomor satu, pengadaan pasti dari dalam negeri, Pak. Tapi kalau dalam negeri tidak bisa diserap karena dapat mendorong kenaikan harga, kami terpaksa mengimpor," jawab Arief.
Dialog kemudian berlanjut mengenai kemampuan Bulog menyerap beras dari dalam negeri dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ada. Sudin bertanya apakah HPP tersebut cukup untuk Cadangan Beras Pemerintah atau CBP. “Kalau CBP atau HPP terjangkau kira-kira? Bisa nggak Bulog menyerap dengan HPP yang sekarang?” tanya Sudin.
Arief menjawab bahwa HPP untuk CBP memang sulit dicapai, mengingat harga pasar lebih tinggi dari harga HPP yang ditetapkan. "HPP untuk CBP memang agak tough (sukar), Pak. Tapi untuk skema komersial, masih bisa dijalankan,” ungkap Arief.
Namun, Sudin terus menekan dengan nada tegas. "Bos, kalau komersial saya nggak perlu tanya. Yang saya tanyakan untuk CBP. Jangan sampai nanti di Oktober, ketika pergantian kepala negara yang baru, Bulog tidak mampu menyerap CBP karena harga pasar dan HPP Bulog beda jauh. Saya ingin perkiraan saja, supaya Pak Kepala Bulog nanti bisa memperkirakannya."
Arief mengakui tantangan tersebut, terutama dengan HPP yang ditetapkan sebesar Rp11.000 per kilogram. "Dengan harga Rp11.000 yang ditetapkan Badan Pangan Nasional ke Bulog, memang tidak mungkin menyerap banyak pada saat produksi rendah," ujar Arief.
Arief melanjutkan, kunci dari keberhasilan penyerapan beras sebenarnya ada pada produksi. Jika produksi nasional tidak mencukupi, bahkan kenaikan harga pembelian oleh Bulog sekalipun tidak akan berdampak signifikan. "Jangan sampai kita menaikkan harga Bulog misalnya Rp12.500, tapi produksinya di bawah itu. Artinya, akan mengangkat harga saja, tapi tidak ada yang bisa diserap," jelasnya.
Ia juga menjelaskan proyeksi produksi beras nasional pada 2024 menunjukkan defisit sekitar 1,6 juta ton. Jika kondisi ini terus berlanjut, pemerintah akan defisit 1 juta ton setiap bulannya hingga akhir tahun. "Tahun lalu kita mengimpor 2 juta ton, tahun ini 3,6 juta ton. Ini angka yang mendekati proyeksi karena semua pihak sepakat menggunakan sistem peringatan dini (early warning system)," kata Arief.
“Cadangan pangan pemerintah utamanya di Bulog menjadi penting dan ini tidak boleh terlambat, pimpinan. Saya rasa bulog juga mempersiapkan dengan baik,” imbuh Arief.
Sisa Impor 1,2 Juta Ton Lagi
Perum Bulog sebelumnya berencana mengimpor tambahan 1,2 juta ton beras pada tahun ini untuk mengantisipasi penurunan produksi beras domestik serta menjaga stabilitas stok dan harga di dalam negeri. Direktur Utama Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi, mengatakan pihaknya berharap impor tersebut dapat direalisasikan sepenuhnya dan tiba sebelum Desember 2024.
Bulog sebelumnya telah memperoleh persetujuan pemerintah untuk mengimpor total 3,6 juta ton beras sepanjang 2024. Hingga Juli 2024, Bulog telah merealisasikan impor sebanyak 2,4 juta ton. Dengan demikian, masih tersisa kuota sebesar 1,2 juta ton yang belum terealisasi.
"Saat ini, kami sedang menyelesaikan kontrak untuk impor sekitar 300.000 ton beras. Sisanya, sekitar 900.000 ton, masih belum terkontrak dari target total 3,6 juta ton. Kami berharap semua bisa masuk sebelum Desember,” kata Bayu dalam diskusi dengan wartawan di Jakarta, Jumat, 30 Agustus 2024, dikutip dari Antara.
Beras impor tersebut akan dimasukkan ke dalam cadangan beras pemerintah atau CBP dan sebagian akan digunakan untuk program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP), yang dijual seharga Rp12.500 per kilogram. Lebih lanjut, Bayu menyebut ketersediaan beras nasional saat ini masih dalam kondisi aman. Bulog memiliki stok sekitar 1,5 juta ton, termasuk hasil serapan pengadaan beras domestik yang telah mencapai 900.000 ton.
“Kami melihat adanya peluang untuk meningkatkan pengadaan beras dalam negeri dalam satu hingga dua bulan mendatang, khususnya pada bulan September nanti,” katanya.(*)