KABARBURSA.COM – Bank Indonesia (BI) sedang berdiri di persimpangan. Antara menjaga daya tahan rupiah dari gempuran risiko global, atau memberi napas panjang pada ekonomi yang mulai ngos-ngosan. Keputusan penting itu akan diumumkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar pada Selasa dan Rabu, 20–21 Mei 2025. Seperti biasa, penetapan suku bunga acuan dijadwalkan pada hari kedua.
Saat ini, suku bunga acuan BI7DRRR masih bertengger di angka 5,75 persen. Tapi menurut riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, hari-hari ini bisa jadi titik belok kebijakan moneter yang lebih ramah terhadap pertumbuhan. Kepala Riset Kiwoom, Liza Camelia Suryanata, menyebut peluang pemangkasan 25 basis poin bukan lagi sekadar wacana.
“BI memiliki kesempatan memberikan sinyal dovish lebih awal, mendukung pertumbuhan domestik tanpa terlalu mengorbankan stabilitas eksternal,” ujarnya dalam laporan tertulis yang diterima KabarBursa.com, Senin, 19 Mei 2025.
Menurut Liza, ada dua jalur yang bisa ditempuh BI, yakni mempertahankan suku bunga demi stabilitas rupiah atau menurunkannya untuk menyegarkan sektor riil yang mulai lesu.
Jika memilih tetap di tempat, alasannya bisa ditebak, The Fed belum juga memangkas suku bunga. Menurut Liza, selisih suku bunga (interest rate differential) harus dijaga agar investor asing tak buru-buru angkat kaki dari pasar keuangan Indonesia. Apalagi, kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih membawa aroma tarif dan tensi dagang yang bikin pasar tak bisa tidur nyenyak.
Namun, ada pula argumen kuat untuk mulai melonggarkan. Nilai tukar rupiah yang cukup stabil di kisaran Rp16.435 per USD dianggap cukup memberi ruang untuk “turun pangkat” suku bunga. Dalam catatan Kiwoom Sekuritas, BI pernah mengambil langkah pre-emptive serupa pada September 2024—memangkas bunga meski kondisi global belum sepenuhnya bersahabat.
Faktor Eksternal Ikut Main Peran
Bukan cuma domestik yang memberi sinyal. Dunia pun sedang menunjukkan gejala serupa. Liza mengatakan pemangkasan rating utang AS oleh Moody’s dari AAA ke Aa1 membuat banyak investor global mulai melepas aset dolar. Efeknya, dolar bisa makin lesu, dan mata uang negara berkembang—termasuk rupiah—pun bisa mencuat.
Belum lagi keputusan Bank Sentral China (PBOC) yang telah memangkas Loan Prime Rate (LPR) sebesar 10 basis poin. Menurut Liza, dampaknya adalah tren pelonggaran regional bakal makin kuat dan Indonesia bisa ikut dalam gelombang.
“Indonesia juga punya ruang untuk mulai menurunkan suku bunga,” kata Liza.
Berdasarkan hitung-hitungan Kiwoom, skenario paling realistis—dan strategis—adalah BI memangkas suku bunga ke level 5,50 persen. Momentum saat ini dianggap pas. Sinyal The Fed makin lunak, tekanan dari sisi nilai tukar relatif reda, dan kebutuhan domestik akan pelonggaran makin besar.
Jika BI melakukannya, itu bisa menjadi langkah simbolis sekaligus praktis, yakni mengembalikan semangat pasar tanpa bikin panik investor asing.
“Probabilitas pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps ini bisa terus terbuka apabila penguatan rupiah stabil dan ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed menguat secara konsisten dalam beberapa hari ke depan,” kata Liza.
Dampaknya ke Sektor Pasar Modal
Penurunan suku bunga acuan oleh BI dapat berdampak ganda pada sektor perbankan. Di satu sisi, margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) bank bisa tertekan karena penurunan suku bunga pinjaman. Namun, di sisi lain, biaya dana (cost of fund) juga menurun yang dapat meningkatkan permintaan kredit.
Meski pemangkasan suku bunga bisa menekan NIM perbankan, perbaikan likuiditas dan potensi arus modal masuk justru bisa memberi napas baru bagi sektor ini. Dalam tren pelonggaran moneter, saham-saham bank besar seperti BBCA, BMRI, BBRI, hingga bank digital seperti ARTO kerap jadi sorotan pelaku pasar karena dinilai tangguh menghadapi rotasi sektor. Likuiditas pasar yang membaik bisa mendorong permintaan kredit, sementara biaya dana yang menurun membuat bank lebih leluasa mengatur ulang strategi pembiayaan.
Selain perbankan, sektor properti sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga. Penurunan suku bunga dapat meningkatkan minat masyarakat untuk mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) sehingga mendorong permintaan properti.
Contohnya, setelah BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen pada 15 Januari 2025, pasar langsung memberi respons manis. Indeks saham properti di Bursa Efek Indonesia menguat 2,63 persen atau naik 19,64 poin ke level 767,45 pada penutupan perdagangan hari itu. Saham PT Ciputra Development Tbk (CTRA) menanjak 7,87 persen ke harga Rp960, sementara PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) ikut terkerek 5,03 persen ke Rp940.
Yang paling mencolok, PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK) melonjak nyaris 20 persen ke Rp7.275 per saham. Data ini menegaskan bahwa pelonggaran suku bunga bukan sekadar sinyal—ia bisa jadi pemantik langsung untuk sektor properti yang selama ini bergantung pada sentimen bunga murah.
Penurunan suku bunga juga berdampak positif pada sektor konsumer. Biaya pinjaman yang lebih rendah dapat meningkatkan daya beli masyarakat, mendorong konsumsi, dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan perusahaan di sektor ini.
Dengan penurunan suku bunga, investor cenderung melakukan rotasi sektor dari saham-saham komoditas ke sektor yang lebih sensitif terhadap suku bunga, seperti properti dan konsumer. Hal ini karena sektor-sektor tersebut diperkirakan akan mendapatkan manfaat langsung dari biaya pinjaman yang lebih rendah dan peningkatan permintaan.(*)