KABARBURSA.COM - Pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029 oleh Komisi III DPR RI memantik perdebatan publik. Metode voting yang digunakan DPR dinilai mencederai semangat awal pembentukan KPK sebagai lembaga independen yang fokus pada pemberantasan korupsi. Kritik pun muncul, salah satunya dari Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, yang menyebut komposisi baru pimpinan KPK sebagai bentuk pelemahan institusi ini.
Penetapan lima pimpinan KPK terpilih dilakukan DPR usai uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test terhadap 10 calon pimpinan yang diajukan panitia seleksi pada Senin, 18 November 2024 dan Selasa, 19 November 2024. Dari hasil voting itu, Komjen Setyo Budiyanto terpilih sebagai ketua KPK dengan mengantongi 47 suara. Nama lainnya yang mendapat suara tertinggi adalah Fitroh Rohcahyanto dan Johanis Tanak, masing-masing memperoleh 48 suara. Dua calon lainnya, Ibnu Basuki Widodo dan Agus Joko Pramono, masing-masing mengantongi 32 dan 38 suara.
Kritik terhadap hasil ini dilontarkan Hendardi, yang menilai latar belakang pimpinan terpilih mencerminkan keberpihakan DPR terhadap unsur-unsur organisasi tertentu. Para pimpinan KPK antara lain terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, hakim, dan mantan anggota BPK.
“Secara politik (ini) telah mengikis sifat independensi KPK, sebagai lembaga negara yang masuk kategori constitutional important body dan independen," kata Hendardi, Kamis, 21 November 2024.
Hendardi menduga DPR tak kebetulan dalam memilih para calon pimpinan KPK karena banyak dari mereka yang berasal dari afiliasi aparat penegak hukum. Situasi ini berisiko memengaruhi independensi dalam pengambilan keputusan dan tindakan pemberantasan korupsi.
"KPK dibentuk sebagai auxiliary state institution dan antitesis atas kinerja ordinary state institution, yakni kepolisian dan kejaksaan yang sebelumnya dianggap tidak akuntabel dalam pemberantasan korupsi," katanya.
[caption id="attachment_101303" align="alignnone" width="800"] Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri memberikan keterangan usai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Jumat, 1 Desember 2024. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin[/caption]
Unsur Masyarakat Sipil Terpinggirkan
Hendardi juga menyoroti hilangnya unsur masyarakat sipil dalam komposisi pimpinan KPK periode ini. Menurutnya, representasi masyarakat sipil sangat penting sebagai penanda dan variabel independensi KPK.
Ia pun menyebut pemilihan DPR terhadap lima pimpinan KPK yang memiliki patronase organisasi dan patronase personal hierarkial pada lembaga-lembaga pemerintahan akan makin menyempurnakan pelemahan KPK sebagaimana UU.
Ketiadaan representasi masyarakat sipil ini dinilai mempertegas penurunan kepercayaan publik terhadap KPK. Hendardi memprediksi situasi ini akan mendorong munculnya mosi tidak percaya dari masyarakat. "Sangat dimaklumi dan dihargai jika banyak muncul mosi tidak percaya dari publik terhadap KPK 2024-2029 dan juga DPR RI periode sekarang," katanya.
[caption id="attachment_100358" align="alignnone" width="680"] Irjen Kementrian Pertanian RI, Komjen Pol. Drs. Setyo Budiyanto, saat mengikuti Tes Calon KPK di Komisi III DPR RI, senin (18/11/2024). foto: Kabar Bursa/abbas sandji[/caption]
Pemilihan dengan Voting, Solusi atau Polemik Baru?
Dalam proses pemilihan, Komisi III DPR RI sepakat menggunakan metode pemungutan suara atau voting. Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menjelaskan bahwa metode ini dipilih untuk menghormati pendapat masing-masing anggota. "Kita gunakan suara terbanyak untuk menghormati masing-masing anggota, jangan sampai ada anggota yang dibatasi," kata politisi Partai Gerindra ini.
Sebanyak 44 dari 47 anggota Komisi III hadir dalam rapat pleno tersebut sehingga pemilihan dinyatakan kuorum. Pemungutan suara dilakukan dengan mencontreng surat suara yang dibagikan kepada setiap anggota yang hadir. Untuk pimpinan KPK, anggota Komisi III harus mencontreng lima nama dan menandai salah satu di antaranya sebagai Ketua KPK. Sedangkan untuk calon Dewas KPK, anggota hanya perlu mencontreng lima nama tanpa menunjuk seorang ketua.
"Jika mencontreng lebih dari lima atau kurang dari lima, maka surat suara tidak sah," tegas Habiburokhman.
Kritik yang dilontarkan terhadap hasil pemilihan ini menguatkan narasi KPK telah melemah sejak revisi UU KPK pada 2019. Komposisi pimpinan yang terpilih, menurut Hendardi, semakin menjauhkan KPK dari semangat awal pembentukannya sebagai lembaga independen yang berfungsi untuk memperbaiki akuntabilitas pemberantasan korupsi.
Di tengah kondisi KPK yang dinilai lemah di mata publik, komposisi pimpinan baru ini membawa beban berat. Apakah mereka mampu memulihkan kepercayaan masyarakat atau justru memperburuk situasi? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Pengaruh Terhadap Investor
Kritik terhadap komposisi pimpinan baru KPK yang dinilai melemahkan independensi lembaga ini bukan hanya berdampak pada kepercayaan publik, tetapi juga membawa konsekuensi luas bagi iklim investasi dan perekonomian nasional. Seiring dengan maraknya korupsi dan lemahnya penegakan hukum, Indonesia terus menghadapi tantangan besar dalam menarik aliran modal asing.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menyoroti bagaimana persoalan ini tak hanya mencoreng citra negara, tetapi juga menghambat stabilitas pasar modal dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Hal itu, kata dia, dapat dilihat dari aliran investasi asing di Indonesia yang relatif lebih kecil dibanding negara-negara ASEAN lainnya.
Rendahnya aliran modal asing terjadi tak kala persoalan korupsi yang menjamur seiring dengan birokrasi yang berbelit. Ia menilai, penegakan hukum di Indonesia seolah dipersulit.
“Aliran investasi asing yang masuk ke Indonesia itu dibandingkan negara-negara ASEAN yang lainnya Indonesia, termasuk yang paling kecil. Kenapa? Karena memang persoalan korupsi dan birokrasi kita yang berbelit-belit, kalau bisa dipersulitkan apa dipermudah, itu masih terus ada,” kata Piter kepada KabarBursa.com, Senin, 18 November 2024.
Piter menegaskan harapan pertumbuhan ekonomi delapan persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto bisa berakhir mimpi jika penanganan kasus korupsi tidak kunjung diperbaiki. Apalagi, kata dia, kasus korupsi yang terjadi selalu menyebabkan high cost economi, hal itu berdampak pada inefisiensi laju pertumbuhan ekonomi.
“Korupsi kan menyebabkan high cost ekonomi. Dan itu menyebabkan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) kita tinggi dan kita semacam sulit untuk mengejar pertumbuhan ekonomi kita,” kata Pieter.(*)