KABARBURSA.COM - Konsumsi batu bara China diperkirakan akan tumbuh moderat pada 2025, sedikit lebih tinggi dibandingkan tingkat konsumsi tahun 2024. Menurut Asosiasi Batu Bara Nasional China (CNCA), pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan kebutuhan listrik dan stabilisasi di sektor-sektor industri utama.
Dilansir dari China Daily di Jakarta, Senin, 23 Desember 2024, Wakil Sekretaris Jenderal CNCA, Zhang Hong, mengatakan pembangkit listrik tenaga batu bara diperkirakan meningkat 4,5 persen pada 2025 atau menambah sekitar 290 miliar kilowatt-jam. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah China memperluas investasi efektif dan menstabilkan pasar properti melalui kebijakan yang proaktif.
Di sektor industri, stabilisasi dan pemulihan diproyeksikan terjadi pada industri metalurgi dan bahan bangunan. Produksi nasional untuk komoditas utama yang menggunakan batu bara, seperti baja mentah dan semen, diperkirakan akan tetap berada pada tingkat produksi yang stabil.
Produksi Terkonsentrasi di Wilayah Kaya Batu Bara
Produksi batu bara China diperkirakan akan tumbuh secara moderat. Peningkatan produksi terutama terkonsentrasi di wilayah kaya batu bara seperti Shanxi, Shaanxi, Mongolia Dalam, dan Daerah Otonomi Xinjiang Uygur. Daerah Xinjiang diprediksi menjadi kontributor utama peningkatan produksi batu bara pada 2025.
Zhang mengatakan pasar batu bara secara keseluruhan diperkirakan tetap seimbang dari sisi pasokan dan permintaan sepanjang 2025, meskipun akan ada fluktuasi musiman antara kondisi surplus dan kekurangan.
Para ahli industri percaya peningkatan produksi batu bara ini sesuai dengan fokus pemerintah untuk menjaga keamanan energi, terutama di tengah kekhawatiran tentang gangguan pasokan dan meningkatnya kebutuhan energi.
Kepala Institut Kebijakan Energi China di Universitas Xiamen, Lin Boqiang, menegaskan batu bara akan tetap menjadi komponen utama dalam menjaga pasokan energi domestik, seiring dengan upaya China untuk menstabilkan dan memulihkan ekonominya.
Pemerintah telah memperkuat fokus pada stabilitas pasokan batu bara melalui perubahan hukum, seperti pengesahan undang-undang energi pertama di China yang akan berlaku penuh mulai 1 Januari 2025.
Undang-undang ini mendorong kontrak batu bara jangka panjang untuk memperkuat ketahanan pasar. Kontrak-kontrak ini dianggap penting untuk mendukung pengembangan berkualitas tinggi sekaligus menjaga keamanan energi dalam lanskap energi China yang terus berkembang.
Transformasi Teknologi dan Pengurangan Emisi
China terus memprioritaskan produksi dan pasokan batu bara yang stabil sepanjang 2024. Administrasi Energi Nasional China melaporkan kapasitas batu bara Negeri Tirai Bambu itu kini telah melampaui 50 persen dari total kapasitas nasional. Hal ini dicapai melalui peningkatan pada unit pembangkit sebesar 180 juta kilowatt serta penghapusan 8 juta kilowatt kapasitas usang.
Lebih dari 95 persen unit pembangkit listrik tenaga batu bara di China kini telah memenuhi standar emisi ultra-rendah. Sementara itu, banyak perusahaan batu bara domestik mulai mengintegrasikan teknologi batu bara bersih dengan teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCUS) untuk mengimbangi emisi karbon dan mencapai produksi nol karbon.
Menurut Biro Statistik Nasional China, tingkat pertumbuhan kumulatif pembangkit listrik tenaga batu bara nasional turun dari 9,7 persen di awal tahun menjadi 0,5 persen pada Juli. Dibandingkan dengan 2023, konsumsi batu bara tahunan untuk pembangkit listrik diperkirakan turun sekitar 100 juta ton metrik secara tahunan.
Dari perspektif sektor pengguna utama, industri metalurgi dan bahan bangunan—yang menyumbang hampir seperempat konsumsi batu bara nasional—mengalami penurunan produksi yang terus-menerus sehingga mengurangi penggunaan batu bara secara keseluruhan.
Menurut China Petroleum and Chemical Corp, total konsumsi batu bara China mendekati puncak. Pada 2024, konsumsi batu bara diperkirakan mencapai 4,85 miliar ton yang menyumbang 54 persen dari total konsumsi energi nasional.
Ekspor Batu Bara RI ke China
Permintaan batu bara dari China diprediksi akan melandai pada 2025 seiring evaluasi negara tersebut terhadap kelebihan pasokan batu bara. China, sebagai pelanggan utama batu bara Indonesia, tengah bergulat dengan stok yang berlimpah di tengah pemulihan ekonomi yang masih lemah.
Ekspor batu bara Indonesia ke China menunjukkan tren peningkatan yang cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir, baik dari segi volume maupun nilai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pengiriman batu bara Indonesia ke China naik dari 62,49 juta ton pada 2020 menjadi 81,68 juta ton pada 2023.
Pada 2020, total volume batu bara yang diekspor ke China tercatat sebesar 62,49 juta ton. Angka ini melonjak drastis pada 2021 menjadi 108,48 juta ton. Hal ini menunjukkan tingginya permintaan China di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi. Namun, angka ini kembali mengalami penurunan pada 2022 menjadi 69,68 juta ton, sebelum akhirnya naik lagi ke 81,68 juta ton pada 2023.
[caption id="attachment_107054" align="alignnone" width="1580"] Tren produksi batu bara China.[/caption]
Dari sisi nilai ekspor, peningkatan ini juga terlihat besar. Pada 2020, nilai ekspor batu bara ke China tercatat sebesar USD2,65 miliar (Rp42,4 triliun). Seiring melonjaknya volume pada 2021, nilai ekspor turut melesat menjadi USD9,14 miliar (Rp146,24 triliun). Meski volume sempat turun pada 2022, nilai ekspor tetap kuat di angka USD7,79 miliar (Rp124,64 triliun). Tren menurun berlanjut hingga 2023, di mana nilai ekspor tercatat sebesar USD6,97 miliar (Rp111,52 triliun).
Di sisi lain, tren produksi batu bara China terus mencetak rekor tertinggi sejak 2021. Berdasarkan data CEIC–perusahaan penyedia data ekonomi global yang berbasis di Hongkong–pada tahun tersebut, produksi mencapai 4,12 miliar ton sebelum melonjak drastis menjadi 4,56 miliar ton pada 2022 dan kembali mencetak rekor 4,71 miliar ton pada 2023. Tren peningkatan produksi ini mencerminkan strategi China dalam memperkuat ketahanan energi domestik di tengah permintaan yang tinggi.
Meski produksi batu bara domestik China terus meningkat, impor tetap tumbuh, terutama untuk memenuhi kebutuhan energi tambahan. Menurut Biro Statistik Nasional China, produksi batu bara pada Agustus 2024 tercatat sebesar 400 juta ton, naik 2,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Rata-rata produksi harian mencapai 12,79 juta ton. Di sisi lain, impor batu bara pada bulan yang sama mencapai 45,84 juta ton, tumbuh 3,4 persen secara tahunan atau year-on-year.
Secara kumulatif, periode Januari-Agustus 2024 mencatat produksi batu bara China sebesar 3,05 miliar ton, turun tipis 0,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, angka impor justru mengalami lonjakan signifikan, mencapai 340 juta ton atau naik 11,8 persen. Kenaikan ini menjadi indikasi bahwa meskipun produksi dalam negeri meningkat, China masih membutuhkan batu bara impor untuk menjaga stabilitas pasokan energi, khususnya batu bara spesifik seperti yang dipasok dari Indonesia.
Sebagai pasar terbesar, China menyerap sekitar 21,5 persen dari total ekspor batu bara Indonesia pada 2023. Jika permintaan dari China melandai hingga 50 persen, Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan ekspor hingga Rp78,4 triliun, bergantung pada harga batu bara global.
Analis Pasar Modal dari Mikirduit.com, Surya Rianto, menilai potensi turunnya serapan batu bara Indonesia oleh China dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan, mulai dari kelebihan stok batu bara domestik hingga pemulihan ekonomi China yang belum sepenuhnya stabil.
Produksi batu bara dalam negeri yang terus mencetak rekor tertinggi dalam tiga tahun terakhir membuat China lebih selektif dalam mengatur impor, terutama di tengah tekanan ekonomi domestik dan upaya menyeimbangkan permintaan energi dengan kapasitas produksi yang ada.
Ia juga menyoroti lonjakan impor China belakangan ini lebih bersifat temporer, sebagai langkah untuk mengamankan pasokan jangka pendek di tengah ketidakpastian global.
“Bukan dikurangi. Karena China ini supply batu baranya lebih sedangkan ekonomi dia (China) belum terlalu pulih untuk menyerap batu bara yang sudah ada sekarang,” kata Surya Rianto, kepada KabarBursa.com, Senin, 16 Desember 2024.
Dengan melandainya permintaan, Indonesia sebagai salah satu pemasok utama batu bara global, harus bersiap menghadapi dampak penurunan ini pada pendapatan ekspor. Surya menjelaskan, pengurangan ekspor batu bara bukan hanya masalah bagi Indonesia, melainkan tantangan global. Ia menyebut ekspektasi harga batu bara saat ini masih belum membaik dan berkisar di level USD120-130 per ton.
“Sebenarnya itu jadi tekanan tersendiri untuk industri batu bara di seluruh dunia, bukan Indonesia saja,” kata Surya.(*)